Hand-out Discussion PKD

nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
1
Hand-Out Discussion
PELATIHAN KADER DASAR (PKD)
PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF,
ANALISIS WACANA MEDIA, ANALISIS SOSIAL,
TEOLOGI PEMBEBASAN ISLAM, TELAAH
KRITIS PEMIKIRAN HASSAN HANAFI
[OPERASIONALISASI PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF; ANALISIS TEORETIK
DALAM PERPEKTIF TEORI PERUBAHAN SOSIAL DAN TEORI REVOLUSI SOSIAL 
ANALISIS WACANA MEDIA (MEDIA DISCOURSE ANALYSIS)  PETA ANALISIS
SOSIAL; URAIAN TENTANG PARADIGMA SOSIOLOGI, TEORI PERUBAHAN SOSIAL,
LANGKAH PRAXIS ANALISIS SOSIAL DAN PENGORGANISASIAN MASYARAKAT 
SEJARAH TEOLOGI PEMBEBASAN AMERIKA LATIN & PEMIKIRAN TEOLOGI
PEMBEBASAN ISLAM  TELAAH KRITIS PEMIKIRAN HASSAN HANAFI]
Oleh: Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.
Disampaikan pada Acara Pelatihan Kader Dasar (PKD) Se-Nusantara
Pengurus Komisariat (PK) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) Ratu Kalinyamat INISNU Jepara, Tanggal 2-5 Maret 2013
Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A. [Penulis] lahir di Cilacap, 27 Juli 1980,
Alumnus (S.1) UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Alumnus Program Pascasarjana (S.2) Sosiologi
FISIPOL UGM, Dosen Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap, Aktivis Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) D.I. Jogjakarta Angkatan ‘99, Secara Kultural aktif pada Bidang
Kaderisasi PKC PMII Jateng, Bidang Kaderisasi PB PMII, Menjabat Sekjend DEMA UIN Sunan
Kalijaga Jogjakarta, Menjabat Ketua Himpunan Mahasiswa Cilacap di Jogjakarta (HIMACITA),
Lakpesdam NU Cilacap, Lajnah Bahsul Masail (LBM) NU Cilacap, PC GP Ansor Kabupaten Cilacap,
Direktur pada Lembaga Kajian Sosiologi Dialektis (LKSD) Cilacap-Jogjakarta/ Institute for
Philosophycal and Social Studies (INSPHISOS) Cilacap-Jogjakarta/ Komunitas Diskusi Eye on The
Revolution + Fordem Cilacap, sampai sekarang masih melakukan pendampingan intelektual kader
pada organisasi intra & ekstra kampus serta mengisi forum-forum ilmiah ideologis di jaringan inti
ideologis PMII wilayah Jabar, Jateng dan Jatim. Website: www.negaramarxis.blogspot.com
Hp. 085 647 634 312, E-mail: nuriel.ugm@gmail.com

nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
2
Daftar isi
HAND-OUT 01:  OPERASIONALISASI PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF; ANALISIS
TEORETIK DALAM PERPEKTIF TEORI PERUBAHAN SOSIAL DAN TEORI
REVOLUSI SOSIAL—3
HAND-OUT 02:  ANALISIS WACANA MEDIA (MEDIA DISCOURSE ANALYSIS)—21
HAND-OUT 03:  PETA ANALISIS SOSIAL; URAIAN TENTANG PARADIGMA SOSIOLOGI,
TEORI PERUBAHAN SOSIAL, LANGKAH PRAXIS ANALISIS SOSIAL DAN
PENGORGANISASIAN MASYARAKAT—36
HAND-OUT 04:  SEJARAH  TEOLOGI  PEMBEBASAN  AMERIKA  LATIN  &  PEMIKIRAN
TEOLOGI PEMBEBASAN ISLAM—53
HAND-OUT 05:  TELAAH KRITIS PEMIKIRAN HASSAN HANAFI—64
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
3
Hand-Out 01:
OPERASIONALISASI PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF
[ANALISIS TEORETIK DALAM PERPEKTIF
TEORI PERUBAHAN SOSIAL DAN TEORI REVOLUSI SOSIAL]
Oleh: Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta & Pascasarjana Sosiologi Fisipol UGM,
Kader Kultural PMII Daerah Istimewa Jogjakarta. 085 647 634 312/ nuriel.ugm@gmail.com
Paradigma Kritis Transformatif
Prawacana
Paradigma  merupakan  sesuatu  yang  vital  bagi  pergerakan  organisasi,  karena  paradigma
merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan
yang  akan  termanifestasikan  dalam  sikap  dan  dan  perilaku  organisasi.  Disamping  itu,  dengan
paradigma  ini  pula  sebuah  organisasi  akan  menetukan  dan  memilih  nilai-nilai  yang  universal  dan
abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi
dan gaya berpikir seseorang.
Organisasi PMII selama ini belum memiliki paradigma yang secara  definitive menjadi acuan
gerakan.  Cara  pandang  dan  bersikap  warga  pergerakan  selama  ini  mengacu  pada  nilai  dasar
pergerakan (NDP). Karena tidak mengacu pada kerangka paradigmatik yang baku, upaya merumuskan
dan  membnagun  kerangka  nilai  yang  dapat  diukur  secara  sistematis  dan  baku,  sehingga  warga
pergerakan  sering  dihadapkan  pada  berbagai  penafsiran  atas  nilai-nilai  yang  menjadi  acuan  yang
akhirnya  berujung  pada  terjadinya  keberagaman  cara pandang  dan  tafsir  atas  nilai  tersebut.  Namun
demikian,  dalam  masa  dua  periode  kepengurusan  terakhir  (sahabat  Muhaimin  Iskandar  dan  sahabat
Saiful Bachri  Anshori) secara factual dan operasional ada karakteristik tertentu  yang berlaku  dalam
warga pergerakan ketika hendak melihat, menganalisis, dan menyikapi sebuah persoalan, yaitu sikap
kritis dengan pendekatan teorti kritis. Dengan demikian secara umum telah berlaku paradigma kritis
dalam tubuh  warga pergerakan. Sikap seperti ini  muncul  ketika PMII  mengusung sejumlah  gagasan
mengenai demokratisasi, civil society, penguatan  masyarakat dihadapan negara yang otoriter, sebagai
upaya aktualisasi dan implementasi atas nilai-nilai dan ajaran kegamaan yang diyakini.
Pengertian Paradigma dalam khazanah ilmu sosial, ada beberapa pengertian paradigma yang
dibangun  oleh  oleh  para  pimikir  sosiologi.  Salah  satu  diantaranya  adalah  G.  Ritzer  yang  memberi
pengertian  paradigma  sebagai  pandangan  fundamental  tentang  apa  yang  menjadi  pokok  persoalan
dalam  ilmu.  Paradigma  membantu  apa  yang  harus  dipelajari,  pertanyaan  yang  harus  dijawab,
bagaimana  semestinya  pertanyaan-pertanyaan  itu  diajukan  dan  aturan-aturan  apa  yang  harus  diikuti
dalam  menafsirkan  jawaban yang diperoleh. Paradigma  merupakan  kesatuan consensus  yang terluas
dalam  suatu  bidang  ilmu  dan  membedakan  antara  kelompok  ilmuwan.  Menggolongkan,
mendefinisikan  dan  yang  menghubungkan  antara  eksemplar,  teori,  metode  serta  instrumen  yang
terdapat di dalamnya.
Mengingat banyaknya difinisi yang dibentuk oleh para sosiologi, maka perlu ada pemilihan
atau perumusan yang tegas mengenai definisi paradigma yang hendak dimabil oleh PMII. Hal ini perlu
dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai paradigma dalam pengertian komunitas PMII
agar  tidak  terjadi  perbedaan  persepsi  dalam  memaknai  paradigma.  Berdasarkan  pemikiran  dan
rumusan yang disusun  oleh para ahli sosiologi, maka pengertian paradigma dalam masyarakat PMII
dapat  dirumuskan  sebagai  titik  pijak  untuk  menentukan  cara  pandang,  menyusun  sebuah  teori,
menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah.
Lewat  paradigma  ini  pemikiran  seseorang  dapat  dikenali  dalam  melihat  dan  melakukan
analisis  terhadap  suatu  masalah.  Dengan  kata  lain,  paradigma  merupakan  cara  dalam
“mendekati”obyek  kajianya  (the  subject  matter  of  particular  dicipline)  yang  ada  dalam  ilmu
pengetahuan.  Orientasi  atau  pendekatan  umum  (general  orientations)  ini  didasarkan  pada  asumsiasumsi yang dibangun dalam kaitan dengan bagaimana  “realitas”  dilihat. Perbedaan paradigma yang
digunakan oleg seseorang dalam memandang suatu masalah, akan berakibat pada timbulnya perbedaan
dalam menyusun teori, membuat konstruk pemikiran, cara pandang, sampai pada aksi dan solusi yang
diambil. Pilihan Paradigma PMII disamping terdapat banyak pengertian mengenai paradigma, dalam
ilmu sosial ada berbagai macam jenis paradigma. Melihat realitas yang ada di masyarakat dan sesuai
dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII baik secara sosiologis, politis dan antropologis maka PMII
memilih paradigma kritis-transformatif sebagai pijakan gerakan organisasi.
Paradigma Kritis-Transformatif PMII
Dari  penelusuran  yang  cermat  atas  paradigma  kritis,  terlihat  bahwa  paradigma  kritis
sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia. Dengan demikian ia adalah secular. Kenyataan ini
yang  membuat  PMII  dilematis,  karena  akan  mendapat  tuduhan  secular  jika  pola  pikir  tersebut
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
4
diberlakukan.  Untuk  menghindari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan
paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya
sebatas  sebagai  kerangka  berpikir  dan  metode  analisis  dalam  memandang  persoalan.  Dengan
sendirinya ia harus diletakkan pada posisi tidak diluar dari ketentuan agama, sebaliknya justru ingi n
mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama yang sesungguhnya sebagaimana mestinya. Dalam
hal  ini  penerapan  paradigma  kritis  bukan  menyentuh  pada  hal-hal  yang  sifatnya  sacral,  tetapi  pada
pesoalan yang profan.
Lewat  paradigma  kritis  di  PMII  berupaya  menegakkan  sikap  kritis  dalam  berkehidupan
dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis. Sebagaimana dijelaskan
di  atas,  pertama,  paradigma  krirtis  berupaya  menegakkan  harkat  dan  martabat  kemanusiaan  dari
berbagai belenggu yang diakibatkan oleh proses sosial yang bersifat profan.  Kedua, paradigma kritis
melawan  segala  bentuk  dominasi  dan  penindasan.  Ketiga,  paradigma  kritis  membuka  tabir  dan
selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonic. Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh
Islam. Oleh karenanya, pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak paradigma
kritis di kalangan  warga PMII. Contoh yang paling konkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran
yang menggunakan paradigma kritis dari berbagai intelektual Islam diantaranya:
Hassan Hanafi
Penerapan  paradigma  kritis  oleh  Hasan  Hanafi  ini  terlihat  jelas  dalam  konstruksi
pemikiranya  terhadap  agama.  Dia  menyatakan  untuk  memperbaharui  masyarakat  Islam  yang
mengalami  ketertingalan  dalam  segala  hal,  pertama-tama  diperlukan  analisis  sosial.  Menurutnya
selama  ini  Islam  mengandalkan  otoritas  teks  kedalam  kenyataan.  Dia  menemukan  kelemahan
mendasar  dalam  metodologi  ini.  pada  titik  ini  dia  memberikan  kritik  tajam  terhadap  metode
trandisional  teks  yang  telah  mengalami  ideologis.  Untuk  mengembalikan  peran  agama  dalam
menjawab  problem  sosial  yang  dihadapi  masyarakat, Hasan  Hanafi  mencoba  menggunakan  metode
“kritik Islam”  yaitu  metode pendefinisian realitas secara kongkret untuk  mengetahui siapa memiliki
apa, agar realitas berbicara dengan dirinya sendiri. Sebagai realisasi dari metode ini, dia menawarkan
“desentralisasi  Ideologi”  dengan  cara  menjalankan  teologi  sebagai  antropologi.  Pikiran  ini
dimaksudkan  untuk  menyelamatkan  Islam  agar  tidak  semata-mata  menjadi  sistem  kepercayaan
(sebagai  teologi  parexellence),  melainkan  juga  sebagai  sistem  pemikiran.  Usaha  Hasan  Hanafi  ini
ditempuh  dengan  mengadakan  rekontruksi  terhadap  teologi  tradisional  yang  telah  mengalami
pembekuan dengan  memasukkan  hermeneutika  dan ilmu sosial sebagai bagian  integral  dari teologi.
Untuk  menjelaskan  teologi  menjadi  antropologi,  Hanafi  memaknai  teologi  sebagai  Ilmu  Kalam.
Kalam  merupakan  realitas  menusia  sekaligus  Ilahi.  Kalam  bersifat  manusiawi  karena  merupakan
wujud verbal dari kehendak Allah kedalam bentuk manusia dan bersifat Ilahi karena datang dari Allah.
Dalam  pemikiran  Hanafi,  kalam  lebih  besifat  “praktis”  dari  pada  “logis”,  karena  kalam
sebagi  kehendak  Allah-memiliki  daya  imperaktif  bagi  siapapun  kalam  itu  disampaikan.  Pandangan
Hanafi  tentang  teologi  ini  berbeda  dengan  teologi  Islam  yang  secara  tradisional  dimengerti  sebagai
ilmu  yang  berkenaan  dengan  pandangan  mengenai  akidah  yang  benar.  Mutakallimin  sering  disebut
sebagai “ahl al-ra’yu wa al-nadaar” yang muncul untuk menghadapi “ahl-albid’ah”  yang mengancam
kebenaran  akidah  Islam.  Dua  kelompok  ini  akhirnya  berhadapan  secara  dialektis.  Akan  tetapi
dialektika mereka bukanlah dialektika tindakana, tetapi dialektika kata-kata. Gagasan teologi sebagai
antropologi  yang disampaikan oleh Hasan Hanafi sebenarnya justru ingin  menempatkan ilmu kalam
sebagai  ilmu  tentang  dialektika  kepentingan  orang-orang  yang  beriman  dalam  masyarakat  tertentu.
Dalam  pemikiran  Hassan  Hanafi,  ungkapan  “teologi  menjadi  antropologi”  merupakan  cara  ilmiah
untuk  mengatasi  ketersinggungan  teologi  itu  sendiri.  Cara  ini  dilakukan  melalui  pembalikan
sebagaimana  pernah  dilakukan  oleh  Karl  Marx  terhadap  filasafat  Hegel.  Upaya  ini  tampak  secara
provokatif  dalam  artikelnya  “ideologi  dan  pembangunan  “lewat  sub-judul;  dari  tuhan  ke  bumi,  dari
keabadian ke waktu, dari taqdie ke hendak bebas, dan dari otoritas ke akal, dari teologi ke tindakan,
dari kharisma ke partisipasi massa, dari jiwa ke tubuh, dari eskatologi ke futurology.
Mohammad Arkoun
Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam, kecuali dalam beberapa usaha pembaharuan kritis
yang bersifat sangat jarang dan mempunyai ruang perkembangan yang sempit sekali, belum membuka
diri pada kemodernan pemikiran dan karena itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat
muslim  kontemporer.  Pemikiran  Islam  dianggapnya  “naif”  karena  mendekati  agama  atas  dasar
kepercayaan  langsung  tanpa  kritik.  Pemikiran  Islam  tidak  menyadari  jarak  antara  makna  potensial
terbuka  yang  diberikan  wahyu  Ilahi  dan  aktualisasi  makna  itu  dalam  sejumlah  makna  yang
diaktualisasikan  dan  dijelmakan  dalam  berbagai  cara  pemahaman,  penceritaan  dan  penalaran  khas
masyarakat teetentu ataupun  dalam berbagai wacana khas ajaran teologi dan fiqh tertentu. Pemikiran
Islam juga tidak menyadari bahwa dalam proses itu bukan hanya pemahaman dan penafsiran tertentu
ditetapkan dan diakui, melainkan pemahaman dan penafsiran lain justru disingkirkan. Hal-hal itu baru
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
5
didalami oleh berbagai ilmu pengetahuan modern, yang ingin dimasukkan arkoun ke dalam pemikiran
Islam.Karena krituknya terlalu krirtis ini, Arkoun sering memberikan jawaban diluar kelazimanumat
Islam  (Uncommon  Answer)  ketika  menjawab  problem-prolem  kehidupan  yang  dialami  umat  Islam.
Jawaban seperti inu terlihat jelas dalam penerapan teori pengetahuan (theory of knowledge).
Teori  pengetahuan  ini  meliputi  landasan  epistimpologi  kajian  tentang  studi–studi  agama
Islam. Dalam  hal ini Arkoun  membedakan  wacana ideologis, wacana rasional, dan  wacana profetis.
Setiap  wacana  memiliki  watak  yang  berbeda  sehingga  diperlukan  kesesuaian  dengan  wataknya.
Selama  ini  orang  dengan  mudah  menyatakan  melakukan  kajian  secara  ilmiah,  akan  tetapi  itu  tidak
hanya  dilakukan  oleh  orang-orang  muslim,  melainkan  juga  oleh  orang-orang  barat  yang
mengideologikan  sikap  mereka  dalam  memandang  Islam.  Salah  satu  corak  ideologi  adalah  unsur
kemadegan  (tidak  dinamis),  resistensi  (tidak  kritis)  dan  demi  kekuatan  (tidak  transformatif).  Untuk
merealisasikan  jawaban  tersebut  Arkoun  berusaha  meletakkan  dogma,  interpretasi  dan  teks  secara
proporsional. Upaya ini dilakukan untuk membuka dialog terus-menerus antara agama dengan realitas
untuk  menentukan  wilayah-wilayah  mana  dari  agama  yang  bisa  didialogkan  dan  diinterpretasikan
sesuai dengan konteksnya. Kedua pola pikir dari intelektaual Islam di atas merupakan sedikit contoh
yang  bisa  dijadikan  model  bagaimana  paradigma  kritis  diberlakukan  dalam  wilayah  pemikiran
keagamaan.
Disamping  kedua  pemikir  Islam  diatas  sebenarnya  masih  banyalk  pemikir  lain  yang
menerapkan pemikiran kritis  dalam  mendekati agama,  misalnya  Abdullah  Ahmed  An-naim,  Asghar
Ali  Enggineer,  Thoha  Husein,  dan  sebagainya.  Dari  kedua  contoh  diatas  terlihat  bahwa  paradigma
kritis  sebenarnya  berupaya  membebaskan  manusia  dengan  semangat  dan  ajaran  agama  yang  lebih
fungsional. Dengan  kata lain,  kalau paradigma  kritis  Barat berdasarkan pada semangat revolusioner
sekuler  dan  dorongan  kepentingan  sebagai  dasar  pijakan,  maka  paradigma  kritis  PMII  justru
menjadikan  nilai-nilai  agama  yang  terjebak  dalam  dogmatisme  itu  sebagai  pijakan  untuk
membangkitkan  sikap  kritis  melawan  belenggu  yang  kadang  disebabkan  oleh  pemahaman  yang
distortif.Jelas  ini  terlihat  ada  perbedaan  yang  mendasar  penerapan  paradigma  kritis  antara  barat
dengan  Islam  (yang  diterapkan  PMII).  Namun  demikian  harus  diakui  adanya  persamaan  antara
keduanya yaitu dalam metode analisa, bangunan teoritik dan semangat pembebasan yang terkandung
didalamnya. Jika paradigma kritis ini bisa  diterapkan dikalangan warga pergerakan, maka kehidupan
keagamaan akan berjalan  dinamis, berjalanya proses  pembentukan  kultur demokratis  dan penguatan
civil  society  akan  segera  dapat  terwujud.  Dan  kenyataan  ini  terwujud  manakala  masing-masing
anggota PMII memahami secara mendalam pengertian, kerangka paradigmatic dan konsep teoritis dari
paradigma kritis yang dibangun oleh PMII. Dalam pandangan PMII, paradigma kritis saja tidak cukup
untuk  melakukan  transformasi  sosial,  karena  paradigma  kritis  hanya  berhenti  pada  dataran
metodologis  konsepsional  untuk  mewujudkan  masyarakat  yang  komunikatif  dan  sikap  kritis  dalam
memandang  realitas.  Paradigma  kritis  hanya  mampu  menelanjangi  berbagai  tendensi  ideologi,
memberikan  perspektif  kritis  dalam  wacana  agama  dan  sosial,  namun  ia  tidak  mampu  memberikan
perspektif perubahan pasca masyarakat terbebaskan. Pasca seseorang terbebaskan  melalui perspektif
kritis,  paradigma  kritis  tidak  memberikan  tawaran  yang  praktis.  Dengan  kata  lain,  paradigma  kritis
hanya  mampu  melakukan  analisis  tetapi  tidak  mampu  melakukan  organizing,  menjembatani  dan
memberikan orientasi kepada kelompok gerakan atau rakyat. Paradigma kritis masih signifikan untuk
digunakan sebagai alat analisis social, tetapi kurang mampu untuk digunakan dalam perubahan sosial.
Karena  ia  tidak  dapat  memberikan  perspektif  dan  orientasi  sebagai  kekuatan  bersejarah  dalam
masyarakat untuk bergerak. Karenanya, paradigma kritis yang digunakan di PMII adalah kritik yang
mampu  mewujudkan  perubahan  sehingga  menjadi  paradigma  kritis  transformatif.  Paradigma  kritis
transformatif  PMII  dipilih  sebagai  upaya  menjembatani  kekurangan-kekurangan  yang  ada  dalam
paradigma  kritis  pada  wilayah-wilayah  turunan  dari  bacaan  kritisnya  terhadap  realitas.  Dengan
demikian paradigma kritis transformatif  dituntut untuk memiliki instrumen-instrumen gerak yang bisa
digunakan oleh PMII mulai dari ranah filosofis sampai praksis.
Dasar Pemikiran Paradigma Kritis Transformatif PMII.
Ada bebarapa alasan yang menyebabkan PMII harus memilih paradigma kritis sebagai dasar
untuk  bertindak  dan  mengaplikasikan  pemikiran  serta  menyusun  cara  pandang  dalam  melakukan
analisa:  Pertama,  masyarakat  Indonesia  saat  ini  sedang  terbelenggu  oleh  nilai-nilai  kapitalisme
modern. Kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa kapitalisme
dan pola pikir positivistic modernisme. Pemikiran-pemikiran seperti ini sekarang telah menjadi sebuah
berhala  yang  mengahruskan  semua  orang  untuk  mengikatkan  diri  padanya.  Siapa  yang  tidak
melakukan, dia akan ditinggalkan dan dipinggirkan. Eksistensinya-pun tidak diakui. Akibatnya jelas,
kreatifitas  dan  pola  pikir  manusia  menjadi  tidak  berkembang.  Dalam  kondisi  seperti  ini  maka
penerapan paradigma kritis menjadi suatu keniscayaan.
Kedua,  masyarakat  Indonesia  adalah  masyarakat  yang  majemuk,  baik  etnik,  tradisi,  kultur
maupun kepercayaan. Kondisi seperti ini sangat memerlukan paradigma kritis, karena paradigma ini
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
6
akan  memberikan  tempat  yang  sama  bagi  setiap  individu  maupun  kelompok  masyarakat  untuk
mengembangkan  potensi  diri  dan  kreatifitasnya  secara  maksimal  melalui  dialog  yang  terbuka  dan
jujur. Dengan demikian potensi tradisi akan bisa dikembangkan secara maksimal untuk kemanusiaan.
Ketiga,  sebagaimana  kita  ketahui  selama  pemerintahan  Orde  Baru  berjalan  sebuah  sistem
politik  yang  represif  dan  otoriter  dengan  pola  yang  hegemonic.  Akibatnya  ruang  publik  (public
sphere)  masyarakat  hilang  karena  direnggut  oleh  kekuatan  negara.  Dampak  lanjutannya  adalah
berkembangnya budaya bisu dalam masyarakat, sehingga proses demokratisasi terganggu karena sikap
kritis diberangus. Untuk mengembangkan budaya demokratis dan memperkuat civil society dihadapan
negara, maka paradigma kritis merupakan alternatif yang tepat.
Keempat, selama pemerintahan orde baru yang menggunakan paradigma keteraturan (order
paradigma)  dengan  teori-teori  modern  yang  direpresentasikan  melalui  ideologi  developmentalisme,
warga PMII mengalami proses marginalisasi secara hampir sempurna. Hal ini karena PMII dianggap
sebagai  wakil  dari  masyarakat  tardisional.  Selain  itu,  paradigma  keteraturan  memiliki  konsekuensi
logis bahwa pemerintah harus menjaga harmoni dan keseimbangan social yang meniscayakan adanya
gejolak social yang harus ditekan seecil apapun. Sementara perubahan harus berjalan secara gradual
dan  perlahan.  Dalam  suasana  demikian,  massa  PMII  secara  sosilogis  akan  sulit  berkembangkarena
tidak  memiliki  ruang  yang  memadai  untuk  mengembangkan  diri,  mengimplementasikan  kreatifitas
dan potensi dirinya.
Kelima, Selain  belenggu  sosial  politik  yang  dilakukan  oleh  negara  dan  sistem  kapitalisme
global yang terjadi sebagai akibat perkembangan situasi, factor yang secara spesifik terjadi dikalangan
PMII adalah kuatnya belenggu  dogmatisme agama dan tradisi. Dampaknya, secara tidak sadar telah
terjadi  berbagai  pemahaman  yang  distortif  mengenai  ajaran  dan  fungsi  agama.  Terjadi  dogmatisme
agama  yang  berdampak  pada  kesulitan  membedakan  mana  yang  dogma  dan  mana  yang  pemikiran
terhadap  dogma.  Agamapun  menjadi  kering  dan  beku,  bahkan  tidak  jarang  agama  justru  menjadi
penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan. Menjadi penting artinya sebuah
upaya dekonstruksi pemahaman keagamaan melalui paradigma kritis.
Apakah Paradigma itu?
Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam
bukunya  “The  Structure  Of  Scientific  Revolution”,  yang  dipopulerkan  oleh  Robert  Friederichs  (The
Sociologi  Of  Sociology;1970),  Lodhal  dan  Cardon  (1972),  Effrat  (1972),  dan  Philips  (1973).
Sementara  Khun  sendiri,  seperti  ditulis  Ritzer  (1980)  tidak  mendefinisikan  secara  jelas  pengertian
paradigma.  Bahkan  menggunakan  kata  paradigma  dalam  21  konteks  yang  berbeda.  Namun  dari  21
pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam tiga pengertian paradigma.
1.  Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan.
2.  Paradigma Sosiologi  yang  mengacu pada suatu kebiasaan sosial  masyarakat atau penemuan
teori yang diterima secara umum.
3.  Paradigma  Konstrak  sebagai  sesuatu  yang  mendasari  bangunan  konsep  dalam  lingkup
tertentu, misalnya paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dll.
Masterman  sendiri  merumuskan  paradigma  sebagai  “pandangan  mendasar  dari  suatu  ilmu
yang  menjadi  pokok  persoalan  yang  dipelajari  (a  fundamental  image  a  dicipline  has  of  its  subject
matter).  Sedangkan  George  Ritzer  mengartikan  paradigma  sebagai  apa  yang  harus  dipelajari,
persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat
aturan  tafsir  sosial  dalam  menjawab  persoalan-persoalan  tersebut.  Maka,  jika  dirumuskan  secara
sederhana  sesungguhnya  paradigma  adalah  “How  to  see  the  Word”  semacam  kaca  mata  untuk
melihat,  memaknai,  menafsirkan  masyarakat  atau  realitas  sosial.  Tafsir  sosial  ini  kemudian
menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan.
Apakah yang disebut Teori kritis ?
Apa sebenarnya makna  “Kritis”? Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah  Tajam/ tegas
dan  teliti  dalam  menanggapi  atau  memberikan  penilaian  secara  mendalam.  Sehingga  teori  kritis
adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis,
berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari Madzhab Frankfurt. Dengan kata lain, teori kritis
merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh
kalangan  neo-marxis  Jerman.  Teori  Kritis  menjadi  disputasi  publik  di  kalangan  filsafat  sosial  dan
sosiologi  pada  tahun  1961.  Konfrontasi  intelektual  yang  cukup  terkenal  adalah  perdebatan
epistemologi  sosial  antara  Adorno  (kubu  Sekolah  Frankfurt–paradigma  kritis)  dengan  Karl  Popper
(kubu  Sekolah  Wina–paradigma  neo-positivisme/  neo-kantian).  Konfrontasi  berlanjut  antara  Hans
Albert  (kubu  Popper)  dengan  Jürgen  Habermas  (kubu  Adorno).  Perdebatan  ini  memacu  debat
positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode
analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis. 
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
7
Teori  kritis  adalah  anak  cabang  pemikiran  marxis  dan  sekaligus  cabang  marxisme  yang
paling jauh  meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt
disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba
memperbaharui  dan  merekonstruksi  teori  yang  membebaskan  manusia  dari  manipulasi  teknokrasi
modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi
pemikiran  sosial  Karl  Marx,  tapi  juga  sekaligus  melampaui  bangunan  ideologis  marxisme  bahkan
meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara
baru  dan  kreatif.  Beberapa  tokoh  Teori  Kritis  angkatan  pertama  adalah  Max  Horkheimer,  Theodor
Wiesengrund  Adorno  (musikus,  ahli  sastra,  psikolog  dan  filsuf),  Friedrich  Pollock  (ekonom),  Erich
Fromm  (ahli  psikoanalisa  Freud),  Karl  Wittfogel  (sinolog),  Leo  Lowenthal  (sosiolog),  Walter
Benjamin  (kritikus  sastra),  Herbert  Marcuse  (murid  Heidegger  yang  mencoba  menggabungkan
fenomenologi  dan  marxisme,  yang  juga  selanjutnya  Marcuse  menjadi  “nabi”  gerakan  New  Left  di
Amerika).  Pada  intinya  madzhab  Frankfurt  tidak  puas  atas  teori  Negara  Marxian  yang  terlalu
bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi
apabila  masalah  ekonomi  sudah  stabil.  Jadi  basic  strurtur  (ekonomi)  sangat  menentukan  supras
truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia).
Kemudian  mereka  mengembangkan  kritik  terhadap  masyarakat  dan  berbagai  sistem
pengetahuan. Teori   kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis
juga  memberikan  perhatian  pada  kebudayaan  masyarakat  (culture  society).  Seluruh  program  teori
kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam  Zeischrift
tahun 1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori Kritik”  (Traditionelle
und KritischeTheorie)  ini, konsep  “Teori kritis”  pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini
adalah  Max  Horkheimer  (1895-1973),  Theodor  Wiesengrund  Adorno  (1903-1969)  dan  Herbert
Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen
Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya.
Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi :
1.  Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi;
2.  Positivisme  dalam  Sosiologi  yang  mencangkok  metode  sains  eksak  dalam  wilayah  sosialhumaniora katakanlah kritik epistimologi;
3.  Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo;
4.  Kritik  terhadap  masyarakat  modern  yang  terjebal  pada  irrasionalitas,  nalar  teknologis,nalar
instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi;
5.  Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan.
Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal :  
1.  Berpikir dalam totalitas (dialektis);  
2.  Berpikir empiris-historis;  
3.  Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis;  
4.  Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).
Pengertian ‘Kritik’ dalam Tradisi Teori Kritis
Mereka  mengembangkan  apa  yang  disebut  dengan  kritik  ideology  atau  kritik  dominasi.
Sasaran  kritik  ini  bukan  hanya  pada  struktur  sosial  namun  juga  pada  ideologi  dominan  dalam
masyarakat.  Teori  Kritis  berangkat  dari  4  (empat  sumber)  kritik  yang  dikonseptualisasikan  oleh
Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud.
1.  Kritik dalam pengertian Kantian.
Immanuel  Kant  melihat  teori  kritis  dari  pengambilan  suatu  ilmu  pengetahuan  secara
subyektif  sehingga  akan  membentuk  paradigma  segala  sesuatu  secara  subyektif  pula.  Kant
menumpukkan analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan “isi”
pengetahuan.  Untuk  menemukan  kebenaran,  Kant  mempertanyakan  “condition  of  possibility”  bagi
pengetahuan.  Bisa  juga  disederhanakan  bahwa  kitik  Kant  terhadap  epistemologi  tentang  (kapasitas
rasio  dalam  persoalan  pengetahuam)  bahwa  rasio  dapat  menjadi  kritis  terhadap  kemampuannya
sendiri  dan  dapat  menjadi  ‘pengadilan  tinggi’.  Kritik  ini  bersifat  transendental.  Kritik  dalam
pengertian  pemikiran  Kantian  adalah  kritik  sebagai  kegiatan  menguji  kesahihan  klaim  pengetahuan
tanpa prasangka.
2.  Kritik dalam Arti Hegelian.
Kritik dalam makna Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut
Hegel, Kant berambisi  membangun suatu  “meta-teori”  untuk  menguji  validitas suatu teori. Menurut
Hegel pengertian kritis merupakan  refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang menuju
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
8
ruh absolute. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip triangle-nya Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah  therational is real, the real is rational.  Sehingga,
berbeda  dengan  Kant,  Hegel  memandang  teori  kritis  sebagai  proses  totalitas  berfikir.   Dengan  kata
lain,  kebenaran  muncul  atau  kritisisme  bisa  tumbuh  apabila  terjadi  benturan  da n  pengingkaran  atas
sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan
dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia.
3.  Kritik dalam Arti Marxian.
Menurut  Marx,  konsep  Hegel  seperti  orang  berjalan  dengan  kepala.  Ini  adalah  terbalik.
Dialektika  Hegelian  dipandang  terlalu  idealis,  yang  memandang  bahwa,  yang  berdialektika  adalah
pikiran.  Ini  kesalahan  serius  sebab  yang  berdialektika  adalah  kekuatan-kekuatan  material  dalam
masyarakat.  Pikiran  hanya  refleksi  dari  kekuatan  material  (modal  produksi  masyarakat).  Sehingga
teori kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan
oleh  penguasa  di  dalam  masyarakat.  Kritik  dalam  pengertian  Marxian  berarti  usaha  untuk
mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam
masyarakat.
4.  Kritik dalam Arti Freudian.
Madzhab  frankfrut  menerima  Sigmun  Freud  karena  analisis  Freudian  mampu  memberikan
basis  psikologis  masyarakat  dan  mampu  membongkar  konstruk  kesadaran  dan  pemberdayaan
masyarakat.  Freud  memandang  teori  kritis  dengan  refleksi  dan   analisis  psikoanalisanya.  Artinya,
bahwa  orang  bisa  melakukan  sesuatu  karena  didorong  oleh  keinginan  untuk  hidupnya  sehingga
manusia  melakukan perubahan dalam  dirinya. Kritik  dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas
konflik  psikis  yang  menghasilkan  represi  dan  memanipulasi  kesadaran.  Adopsi  Teori  Kritis  atas
pemikiran  Freudian  yang  sangat  psikologistik  dianggap  sebagai  pengkhianatan  terhadap  ortodoksi
marxisme klasik.
Berdasarkan  empat  pengertian  kritis  di  atas,  teori  kritis  adalah  teori  yang  bukan  hanya
sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang
teori  yang  emansipatoris  harus  memenuhi  tiga  syarat  :  Pertama,  bersifat  kritis  dan  curiga  terhadap
segala  sesuatu  yang  terjadi  pada  zamannya.  Kedua,  berfikir  secara  historis,  artinya  selalu  melihat
proses  perkembangan  masyarakat.  Ketiga,  tidak  memisahka n  teori  dan  praksis.  Tidak  melepaskan
fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif.
Tiga Jenis Utama Paradigma
Paradigma  Kritis;  Sebuah  Sintesis  Perkembangan  Paradigma  Sosial:  William  Perdue,
menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma:
1.  Order Paradigm (Paradigma Keteraturan).
Inti  dari  paradigma  keteraturan  adalah  bahwa  masyarakat  dipandang  sebagai  sistem  sosial
yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan  sistemik.  Asumsi  dasarnya  adalah  bahwa:  Setiap  struktur  sosial  adalah  fungsional
terhadap  struktur  lainnya.  Kemiskinan,  peperangan,  perbudakan  misalnya,  merupakan  suatu  yang
wajar,  sebab  fungsional  terhadap  masyarakat.  Ini  yang  kemudian  melahirkan  teori  strukturalisme
fungsional.  Secara  eksternal  paradigma  ini  dituduh  a  historis,  konservatif,  pro-satus  quo  dan
karenanya,  anti-perubahan.  Paradigma  ini  mengingkari  hukum  kekuasaan  :  setiap  ada  kekuasaan
senantiasa  ada  perlawanan.  Untuk  memahami  pola  pemikiran  paradigma  keteraturan  dapat  dilihat
skema berikut:
Elemen Paradigmatik  Asumsi dasar  Type ideal
Imajinasi sifat dasar
manusia
Rasional, memiliki kepentingan
pribadi, ketidakseimbangan
personal dan berpotensi
memunculkan dis integrasi
sosial
Pandangan hobes mengenai konsep
dasar Negara
Imajinasi tentang
masyarakat
Consensus, kohesif/fungsional
struktural, ketidakseimbangan
sosial, ahistoris, konservatif,
pro-status quo, anti perubahan
Negara Republic Plato
Imajinasi ilmu
pengetahuan
Sistematic, positivistic,
kuantitatif dan prediktif.
Fungsionalisme Auguste Comte,
fungsionalisme Durkheim,
fungsionalisme struktural Talcot
Parson
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
9
2. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik)
Secara konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan
kenyataan  bahwa:  Setiap  unsur-unsur  sosial  dalam  dirinya  mengandung  kontradiksi-kontradiksi
internal  yang  menjadi  prinsip  penggerak  perubahan.  Perubahan  tidak  selalu  gradual;  namun  juga
revolusioner. Dalam jangka panjang sistem sosial harus  mengalami konflik sosial dalam lingkar setan
(vicious circle)tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi
paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin dikebiri,
apalagi  dihilangkan.  Konflik  menjadi  instrument  perubahan.  Untuk  memahami  pola  pemikiran
paradigma konflik dapat dilihat skema berikut:
Elemen paradigmatik  Asumsi dasar  Type ideal
Imajinasi sifat dasar
manusia
Rasional,kooperatif, sempurna  Konsep homo feber hegel
Im ajinasi tentang
masyarakat
Integrasi sosial terjadi karena
adanya dominasi, konflik
menjadi instrument perubahan,
utopia
Negara Republic plato
Imajinasi ilmu
pengetahuan
Filsafat materialisme, histories,
holistic, dan terapan
Materialisme historis marx
3. Plural Paradigm (Paradigma plural)
Dari  kontras  atau  perbedaan  antara  paradigma  keteraturan  dan  paradigma  konflik  tersebut
melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural
memandang  manusia  sebagai  sosok  yang  independent,  bebas  dan  memiliki  otoritas  serta  otonomi
untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya.  Untuk memahami
pola pemikiran paradigma plural dapat dilihat skema berikut:
Elemen paradigmatik  Asumsi dasar  Type ideal
Imajinasi sifat dasar
manusia
Manusia bertindak atas
kesadaran subyektif, memiliki
kebebasan menafsirkan
realitas/aktif
Konsep kesadarn diri imanuel kant
Imajinasi tentang
masyarakat
Struktur internal yang
membentuk kesadaran manusia,
kontrak sosial sebagai
mekanisme control.
Konsep kontrak sosial J.J Rousseau
Imajinasi ilmu
pengetahuan
Filsafat idealisme, tindakan
manusia tidak dapat diprediksi
Metode verstehen Weber
Terbentuknya Paradigma Kritis
Ketiga  paradigma  di  atas  merupakan  pijakan-pijakan  untuk  membangun  paradigma  baru.
Dari optic pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi antara
paradigma  pluralis  dan  paradigma  konflik.  Paradigma  pluralis  memberikan  dasar  pada  paradigma
kritis  terkait  dengan  asumsinya  bahwa  manusia  merupakan  sosok  yang  independent,  bebas  dan
memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas.  Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma
kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok
yang lain.
Apabila   disimpulkan  apa  yang  disebut  dengan  paradigma  kritis  adalah  paradigma  yang
dalam melakukan tafsir sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada:
1.  Analisis  struktural:  membaca  format  politik,  format  ekonomi  dan  politik  hukum  suatu
masyarakat,  untuk  menelusuri  nalar  dan  mekanisme  sosialnya  untuk  membongkar  pola  dan
relasi sosial yang hegeminik, dominatif, dan eksploitatif.
2.  Analisis ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik pada level nasional maupun
internasional.
3.  Analisis kritis yang membongkar “the dominant ideology”  baik itu berakar pada agama, nilainilai adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi
dan pola-pola eksklusi antar wacana.
4.  Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat.
5.  Analisis  kesejarahan  yang  menelusuri  dialektika  antar  tesis-tesis  sejarah,  ideologi,  filsafat,
actor-aktor  sejarah  baik  dalam  level  individual  maupun  sosial,  kemajuan  dan  kemunduran
suatu masyarakat.  
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
10
Kritis dan Transformatif
Namun Paradigma kritis baru menjawab pertanyaan: struktur formasi sosial seperti apa yang
sekarang  sedang  bekerja.  Ini  baru  sampai  pada  logika  dan  mekanisme  working-sistem  yang
menciptakan  relasi  tidak  adil,  hegemonik,  dominatif,  dan  eksploitatif;  namun  belum  mampu
memberikan  prespektif  tentang  jawaban  terhadap  formasi  sosial  tersebut;  strategi
mentransformasikannya;  disinilah  “Term  Transformatif”  melengkapi  teori  kritis.  Dalam  perspektif
Transformatif  dianut  epistimologi  perubahan  non-esensialis.  Perubahan  yang  tidak  hanya
menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah
kaum  miskin  kota  (KMK),  buruh  atau  petani,  tapi  perubahan  yang  serentak  yang  dilakukan  secara
bersama-sama.
Disisi  lain  makna  tranformatif  harus  mampu  mentranformasikan  gagasan  dan  gerakan
sampai  pada  wilayah  tindakan  praksis  ke  masyarakat.  Model-model  transformasi  yang  bisa
dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:
1.  Transformasi dari Elitisme ke Populisme.
Dalam  model  tranformasi  ini  digunakan  model  pendekatan,  bahwa  mahasiswa  dalam
melakukan  gerakan  sosial  harus  setia  dan  konsisten  mengangkat  isu-isu  kerakyatan,  semisal  isu
advokasi  buruh,  advokasi  petani,  pendampingan  terhadap  masyarakat  yang  digusur  akibat  adanya
proyek  pemerintah  yang  sering  berselingkuh  dengan  kekuatan  pasar  (kaum  kapitalis)  dengan
pembuatan  mal-mal,  yang  kesemuanya  itu  menyentuh  akan  kebutuhan  rakyat  secara riil.  Fenomena
yang terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan  jauh dari apa
yang  dikehendaki  oleh  rakyat,  bahkan  kadang  sifatnya  sangat  utopis.  Oleh  karena  itu,  kita  sebagai
kaum  intelektual  terdidik,  jangan  sampai  tercerabut  dari  akar  sejarah  kita  sendiri.  Karakter  gerakan
mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat horisontal.
2.  Transformasi dari Negara ke Masyarakat.
Model tranformasi  kedua adalah transformasi  dari Negara ke  masyarakat. Kalau kemudian
kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel. Hegel
memaknai  Negara  sebagai  penjelmaan  roh  absolute  yang  harus  ditaati  kebenarannya  dalam
memberikan  kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping  itu, Hegel  mengatakan bahwa Negara adalah
satu-satunya  wadah  yang  paling  efektif  untuk  meredam  terjadinya  konflik  internal  secara  nasional
dalam  satu  bangsa.  Hal  ini  dibantah  Marx.  Marx  mengatakan  bahwa  justru  masyarakatlah  yang
mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna transformasi ini akan sesuai
jika  gerakan  mahasiswa  bersama-sama  rakyat  bahu-membahu  untuk  terlibat  secara  langsung  atas
perubahan yang terjadi disetiap bangsa atau Negara.
3.  Transformasi dari Struktur ke Kultur.
Bentuk  transformasi  ketiga  adalah  transformasi  dari  struktur  ke  kultur,  yang  mana  hal  ini
akan  bisa  terwujud  jika  dalam  setiap  mengambil  keputusan  berupa  kebijakan-kebijakan  ini  tidak
sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya
kebijakan  ini  bersifat  desentralistik.  Jadi,  aspirasi  dari  bawah  harus  dijadikan  bahan  pertimbangan
pemerintah  dalam  mengambil  keputusan,  hal  ini  karena  rakyatlah  yang  paling  mengerti  akan
kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan sosial di lapangan.
4.  Transformasi dari Individu ke Massa.
Model transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin
ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang sangat membutukan kehadiran
mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing
fathers  kita  tentang  adanya  hidup  bergotong  royong.  Rasa  egoisme  dan  individualisme  haruslah
dibuang  jaung-jauh  dari  sifat  manusia.  Salah  satu  jargon  yang  pernah  dikatakan  oleh  Tan  Malaka
(Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi  massa.  Hal ini tentunya setiap perubahan  meniscayakan
adanya  power  atau kekuatan rakyat dalam menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial
dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam).
Paradigma Kritis Transformatif (PKT ) yang diterapkan di PMII?
Dari paparan diatas, terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia,
dengan  demikian  dia  adalah  sekuler.  Kenyataan  ini  yang  membuat  PMII  dilematis,  karena  akan
mendapat  tuduhan  sekuler  jika  pola  pikir  tersebut  diberlakukan.  Untuk  menghindari  dari  tudingan
tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan PKT dalam tubuh warga pergerakan. Dalam
hal  ini,  paradigma  kritis  diberlakukan  hanya  sebagai  kerangka  berpikir  dan  metode  analisis  dalam
memandang  persoalan.   Dengan  sendirinya  dia  tidak  dilepaskan  dari  ketentuan  ajaran  agama,
sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. 
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
11
PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala
bentuk  dominasi  dan  penindasan,  membuka  tabir  dan  selubung  pengetahuan  yang  munafik  dan
hegemonik.  Semua  ini  adalah  pokok-pokok  pikiran  yang  terkandung  dalam  Islam.  Oleh  karenanya
pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan warga
PMII.  Contoh  yang  paling  kongkrit  dalam  hal  ini  bisa  ditunjuk  pola  pemikiran  yang  menggunakan
paradigma kritis dari beberapa intelektual Islam, diantaranya Hassan Hanafi dan Arkoun.
Mengapa PMII memilih Paradigma Kritis Transformatif?
“Berpikir Kritis & Bertindak Tansformatif”  itulah Jargon PMII dalam setiap membaca tafsir
sosial yang sedang terjadi dalam konteks apapun. Dan ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII
harus  memiliki  Paradigma  Kritis  Transformatif  sebagai  dasar  untuk  bertindak  dan  mengaplikasikan
pemikiran  serta  menyusun  cara  pandang  dalam  melakukan  analisa  terhadap  realitas  sosial.  Alasanalasan tersebut adalah:
1.  Masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, dimana
kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa kapitalisme
dan pola berpikir positivistik modernisme.  
2.  Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk/plural, beragam, baik secara etnis, tradisi,
kultur maupun kepercayaan (adanya pluralitas society).
3.  Pemerintahan  yang  menggunakan  sistem  yang  represif  dan  otoriter  dengan  pola  yang
hegemonik  (sistem  pemerintahan  menggunakan  paradigma  keteraturan  yang  anti  perubahan
dan pro status quo).
4.  Kuatnya  belenggu  dogmatisme  agama,  akibatnya  agama  menjadi  kering  dan  beku,  bahkan
tidak  jarang  agama  justru  menjadi  penghalang  bagi  kemajuan  dan  upaya  penegakan  nilai
kemanusiaan.
Beberapa  alasan  mengenai  mengapa  PMII  memilih  Paradigma  Kritis  Tansformatif  untuk
dijadikan  pisau  analisis  dalam  menafsirkan  realitas  sosial.  Karena  pada  hakekatnya  dengan  analisis
PKT  mengidealkan  sebuah  bentuk  perubahan  dari  semua  level  dimensi  kehidupan  masyarakat
(ideologi,  politik,  ekonomi,  sosial,  budaya  dan  pendidikan  dll)  secara  bersama-sama.  Hal  ini  juga
tercermin dalam imagened community (komunitas imajiner) PMII yang mengidealkan orientasi out-put
kader PMII yang diantaranya adalah :  Intelektual Organik, Agamawan Kritis, Profesional Lobbiyer,
Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis, Politisi Tangguh, dan Praktisi Pendidikan yang Transformatif.
Proses Perubahan Sosial
1
Ada  tiga  hal  yang  berkenaan  dengan  proses  perubahan  sosial.  Pertama,  bagaimana  ideas
mempengaruhi  perubahan-perubahan  sosial.  Kedua,  bagaimana  tokoh-tokoh  besar  dalam  sejarah
menimbulkan  perubahan  besar  di  tengah-tengah  masyarakat.  Ketiga,  sejauh  mana  peranan  gerakangerakan sosial dan revolusi menimbulkan perubahan struktur sosial dan norma-norma sosial.
Dalam Marxisme, yang kita kenal sebagai materialisme sejarah (historical materialism), ada
anggapan  bahwa  yang  merubah  sejarah,  masyarakat  dan  bangsa  bukanlah  ide  atau  gagasan,  tetapi
tehnologi, struktur ekonomi, atau penggunaan alat-alat produksi. Marx membagi struktur masyarakat
ke dalam dua bagian: supratruktur dan infrastruktur.
Yang  termasuk  infrastruktur  suatu  kebudayaan  misalnya,  struktur  ekonomi  atau  tehnologi
kebudayaan  itu  sendiri;  sedangkan  suprastrukturnya  adalah  ideologi,  kepercayaan,  agama,  ideas,
belief,  dan lain-lain. Menurut Marx, suprastruktur ditentukan oleh infrastruktur. Ideologi akan sangat
ditentukan  oleh  ekonomi.  Keadaan  ekonomi  misalnya  akan  menentukan  kesadaran  kelas;  bukan
sebaliknya.  Agama  kita  sangat  ditentukan  oleh  posisi  ekonomi  kita  ditengah-tengah  masyarakat.
Versi-versi  keberagaman  kita  sangat  ditentukan  oleh  letak  kita  didalam  status  sosial  ekonomi.  Apa
yang dirumuskan Marx sebetulnya merupakan antitesis dari; ideas akan menentukan sejarah.
Kekuatan  sejarah  akan  sangat  ditentukan  oleh  ideas  (gagasan-gagasan).  Ideologilah  yang
akan  menentukan  perubahan  ekonomi,  sistem  sosial  dan  struktur  politik.  Jika  ideologi  suatu
masyarakat berubah, berubah pulalah infrastruktur masyarakat itu. Berbeda dengan pandangan Marx,
teori ini menganggap bahwa  ideas-lah yang paling menentukan prubahan sosial. Teori yang sekaligus
menjadi kritik terhadap Marx ini dikemukakan oleh Max Weber.
Suatu  masyarakat  dikatakan  mengalami  perubahan  sosial  jika  sistem  sosial  juga  berubah.
Jadi,  dalam  perkembangan  masyarakat  itu,  individu  tidak  berperan  apa-apa.  Mereka  hanyalah  pionpion  kecil  yang  digerakkan  oleh  sistem  sosial,  politik  dan  ekonomi.  Dulu,  para  sosiolog  melacak
perubahan-perubahan  masyarakat  pada  perubahan-perubahan  institusi;  individu  sama  sekali  tidak
memegang  peranan.  Sebagai  contoh  utamanya  dalam  tesis  Marx.  Namun  Weber  membalikkan
pandangan itu dengan mengatakan bahwa semua perubahan sosil  dimulai dari perubahan tingkah laku
1
Jalaluddin Rakhmat,  Rekayasa Sosial; Reformasi atau Revolusi (Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. I., 1999) h.
103-106.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
12
manusia,  perubahan  dari  human  actions,  perubahan  dari  tindakan-tindakan  manusia  yang  ada  di
masyarakat.  Karena  itu,  banyak  ahli  menganggap  Weber  sebagai  pendiri  dari  apa  yang  kita  sebut
sebagai  sosiologi  humanis,  sosiologi  yang  (kembali)  menempatkan  peranan  manusia  dalam
perubahan-perubahan  sosial.  Kalau  kita  bicara  tentang  rekayasa  sosial,  basis  teori  yang  kita
pergunakan  adalah  humanist  sociology,  yakni  bahwa  kita,  sebagai  manusia  dapat  mempengaruhi
perubahan sosial. Berbeda dengan Marx, Weber berpendapat bahwa  superstruktur, soft belief system,
ideology adalah faktor yang sangat aktif dan efektif dalam mengubah sejarah. Tesis Weber ini terbuksi
dengan munculnya kapitalisme.
Kapitalis adalah sebuah sistem sosial yang ditegakkan diatas dasar pencarian keuntungan dan
tindakan-tindakan rasional. Kata Max Weber,kapitalis adalah pengantar menuju masyarakat modern.
Bersamaan  dengan  lahirnya  kapitalisme,  lahir  pula  institusi-institusi  dan  pengusaha-pengusaha  baru
yang independen. Pandangan baru tentang pasar (market) juga mulai muncul ke permukaan. Menurut
Weber, sebagai sebuah sistem sosial, kelahiran kapitalisme di Eropa Barat dipengaruhi oleh tindakantindakan manusia. Ada perubahan dalam tingkah laku manusia (human actions)  menjelang kelahiran
kapitalisme. Ada sekelompok orang yang perilakunya berbeda dengan kebanyakan orang pada zaman
itu.  Kapitalisme  muncul  karena  sekelompok  orang—yang  disebut  Weber  sebagai  new  enterpreneur
(pengusaha-pengusaha  baru)—melakukan  serangkaian  tindakan  (human  actions).  Tindakan  itu
didasarkan pada semangat kapitalisme (spirit of capitalism). Semangat kapitalisme terdiri dari tiga hal;
motif  memperoleh  laba  (profit  motive),  hidup  zuhud  dan  sederhana  (ascetic  orientation)  semangat
misi (ideas of calling).
Masyarakat Industri
2
Masyarakat  baru  yang  didasarkan  atas  cara  berfikir  yang  rasional  dan  positif  itu  adalah
masyarakat industri. Kelahiran dan pertumbuhan industri telah menjadi gejala paling menyolok dalam
abad lampau. Industri itu dimengerti sebagai penyebab perubahan sosial yang besar sekali. Raymond
Aron,  sarjana  sosiologi  pada  Universitas  Sorbone  di  Paris,  dalam  bukunya  Main  Currens  in
Sociological Thought (1965) meyebut enam ciri proses industrialisasi, yang disaksikan dalam abad ke-18 dan ke-19, yaitu:
Pertama,  industri  merupakan  rasionalisasi  proses  kerja.  Cara  kerja  ditinjau  dan  diatur
kembali menurut prinsip-prinsip ilmu pengetahuan positif dengan tujuan untuk menghasilkan  out-put
semaksimal mungkin.
Kedua,  penemuan-penemuan  dibidang  ilmu  alam,  yang  diterapkan  dalam  proses  kerja,
menghasilkan kemungkian dan kemampuan tiba-tiba untuk mengolah dan menguasai sumber-seumber
kekayaan alam demi suatu kemakmuran yang tak ada bandingnya dalam sejarah.
Ketiga, berkembangnya industri mengakibatkan konsentrasi kaum buruh di dekat pabrik dan
tambang, serta urbanisasi. Suatu kelas sosial baru lahir, yaitu kelas buruh, yang hidup dan nasibnya
tergantung dari orang lain.
Keempat,  konsentrasi  kaum  buruh  itu  di  kawasan-kawasan  industri  mengakibatkan
antagonisme  (pertentangan)—yang  entah  masih  terpendam  atau  sudah  terbuka—antara  dua  kelas
sosial, yaitu kaum proletar dan kaum bermodal.
Kelima, rasionalisasi metoda kerja tadi membawa rejeki besar bagi sebagian kecil manusia,
tetapi  kemikinan  yang  mencemaskan  bagi  banyak  orang  lain.  Kemiskinan  itu  disebabkan  oleh
produksi  yang  terlalu  banyak  (overproduction).  Kemiskinan  yang  meluas  itu  mengecutkan  semua
pihak, dan oleh pendukung zaman baru dilihat sebagai tantangan dan ujian bagi akal-budi manusia.
Keenam,  akhirnya  muncul  liberalisme  dibidang  ekonomi  dengan  slogannya  laissez  faire,
laissez  aller  (biarlah  orang  berbuat  sendiri,  biarlah  orang  mencari  jalan  sendiri).  Setiap  intervensi
pemerintah dalam proses produksi ditolak dengan berdalih bahwa dunia ekonomi adalah dunia otonom
yang  mempunyai  hukumnya  sendiri  dan  sendiri  mencari  keseimbangan.  Persaingan  bebas  harus
diizinkan.
3
Raymond  Aron  mencatat  bahwa  optimisme  Comte  dan  kepercayaannya  akan  masa  depan
membuat dia agak meremehkan hal-hal negatif seperti antagonisme kelas dan kemiskinan kaum buruh.
Ia menilai itu sebagai akibat sampingan yang disebabkan oleh kekurangan-kekurangan teknis. Mereka
semantara  saja!  Masalah  transisi!  Ibarat  penyakit  kanak-kanak  yang  dengan  sendirinya  akan  dapat
diatasi  kelak  pada  waktunya.  Inti  hakikat  masyarakat  industri  ialah  rasionalisasi  metoda  kerja,
konsentrasi kaum buruh secara besar-besaran, dan bertumpuknya modal besar dalam tangan segelintir
kecil orang. Comte membenarkan hak milik perseorangan atas sarana-saran produksi, juga hak untuk
megumpulkan kekayaan besar.
2
Veeger,  Realitas  Sosial;  Refleksi  Filsafat  Sosial  atas  Hubungan  Individu  dalam  Cakrawala  Sejarah  Sosiologi
(Jakarta: Gramedia, Cet. IV., 1993) h. 26-27.
3
Raymond Aron, Main Currens in Sociological Thought, 2 Jilid-1965  (Anchor Book Edition 1968) h. 83-84. dalam
Veeger,  Realitas  Sosial;  Refleksi  Filsafat  Sosial  atas  Hubungan  Individu  dalam  Cakrawala  Sejarah  Sosiologi  (Jakarta:
Gramedia, Cet. IV., 1993) h. 26-27.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
13
Hal-hal yang oleh Comte dianggap pada dasarnya sehat dan progresif, kemudian akan dicela
dan ditolak  oleh Karl Marx dan pengikutnya. Bagi  mereka justru pertentangan  kelas  dan pemilikan
atas modal besar dan sarana produksi oleh  individu  merupakan penyakit permanen  dan  kronis yang
ada hubungan langsung dengan inti hakikat dan sifat dasar sistem sendiri, yang mesti mengakibatkan
kehancuran, Marx dan pengikutnya pesimistis terhadap perkembangan masyarakat industri.
Filsafat Perubahan Sosial
4
Dalam materialisme dialektik, tindakan adalah yang pertama dan fikiran adalah yang kedua.
Aliran  ini  mengatakan  bahwa  tak  terdapat  pengetahuan  yang  hanya  merupakan  pemikiran  tentang
alam; pengetahuan selalu dikaitkan dengan tindakan. Pada zaman dahulu, menurut Marx, para filosof
telah  menjelaskan alam dengan cara yang berbeda-beda. Kewajiban  manusia sekarang adalah untuk
mengubah dunia, dan ini adalah tugas dan misi yang bersejarah dari kaum komunis. Dalam melakukan
tugas  ini,  mereka  tidak  ragu-ragu  untuk  mengambil  tindakan  dan  menggunakan  kekerasan  guna
mencapai maksud mereka. Sesungguhnya,kebanyakanorang komunis percaya bahwa kekerasan adalah
perlu untuk menghilangkan kejahatan dari masyarakat.
Masyarakat,  seperti  benda-benda  lain,  selalu  dalam  proses  perubahan.  Ia  tidak  dapat  diam
(statis) karena meteri itu sedniri bergerak (dinamis). Akan tetapi perubahan atau proses perkembanga n
itu  tidak  sederhana,  lurus  atau  linear.  Selalu  terjadi  perubahan-perubahan  yang  kecil,  yang  tidak
terlihat, dan kelihatannya tidak mengubah watak benda yang berubah itu, sampai terjadilah suatu tahap
dimana  suatu  benda  tidak  dapat  berubah  tanpa  menjadi  benda  lain.  Pada  waktu  itu  terjadi  suatu
perubahan yang mendadak. Sebagai contoh, air dipanaskan pelan-pelan,  ia menjadi bertambah panas
sedikit  demi  sedikit.  Sampai  akhirnya  secara  mendadak,  pada  suatu  tahap,  ia  menjadi  uap,  dan
terjadilah  perubahan  keadaan.  Ada  perkembangan  yang  lalu  dari  perubahan  kuantitatif  yang  sangat
kecil  dan  tidak  berarti,  kemudian  menjadi  perubahan  yang  penting  terbuka  dan  kemudian  menjadi
perubahan kualitas; terjadi juga suatu perkembangan dimana perubahan kualitatif terjadi dengan lekas
dan  mendadak,  berupa  suatu  loncatan  dari  suatu  keadaan   kepada  keadaan  yang  lain.
5
Begitu  juga
dalam  hubungan  ekonomi  dari  suatu  masyarakat  dan  dalam  pertarungan  kepentigan  antara  kelas,
situasi  revolusioner  akan  muncul.  Jika  ditafsirkan  dengan  cara  ini  maka  materialisme  dialektik
memberi dasar kepada perjuangan kelas dan tindakan revolusioner.
Pada  tahun  1848  Karl  Marx  dan  Freidrich  Engels  menerbitkan  Manifesto  Komunis,  suatu
dokumen  yang  banyak  mempengaruhi  gerakan  revolusioner.  Akhirnya  Karl  Marx  menerbitkan
karyanya yang besar, Das Kapital, Jilid pertama terbit pada tahu 1867. Marx membentuk interpretasi
ekonomi tentang sejarah, dan interpretasi tersebut telah berpengaruh kuat selama seratus tahun terakhir
ini. Bagi Marx faktor ekonomi adalah faktor yang menentukan dalam perkembangan sejarah manusia.
Sejarah digambarkan sebagai pertempuran kelas, dimana alat-alat produksi, didistribusi dan pertukaran
barang dalam struktur ekonomi dari masyarakat menyebabkan perubahan dalam hubungan kelas, dan
ini semua mempengaruhi kebiasaan dalam tradisi politik, sosial, moral dan agama.
Terdapat  lima  macam  sistem  produksi,  empat  macam  telah  muncul  bergantian  dalam
masyarakat manusia. Sistem kelima diramalkan akan muncul pada hari esok yang dekat, dan sekarang
sudah mulai terbentuk. Yang  pertama  adalah sistem komunisme primitif. Sistem ini adalah tindakan
ekonomi  yang  pertama  dan  mempunyai  ciri-ciri  pemilikan  benda  secara  kolektif,  hubungan  yang
damai antar perorangan dan tidak adanya tehnologi. Tingkat  kedua  adalah sistem produksi kuno yang
didasarkan atas perbudakan. Cirinya adalah timbulnya hal milik pribadi, yang terjadi ketika pertanian
dan  pemeliharaan  binatang  mengganti  perburuan  sebagai  sarana  hidup.  Dengan  lekas,  kelompok
aristokrat  dan  kelas  tinggi  memperbudak  kelompok  lain.  Pertarungan  kepentingan  timbul  ketika
kelompok  minoritas  menguasai  sarana  hidup.  Tingkatan  ketiga  adalah  tingkatan  dimana  kelompokkelompok  feodal  menguasasi  penduduk-penduduk.  Pembesar-pembesar  feodal  menguasai  kelebihan
hasil para penduduk yghanya dapat hidup secara sangat sederhana.
Pada  tingkatan  keempat,  timbulah  sistem  borjuis  atau  kapitalis  dengan  meningkatnya
perdagangan, penciptaan dan pembagian pekerjaan; sistem pabrik menimbulkan industrialis kapitalis,
yang  memiliki  dan  mengontrol  alat-alat  produksi.  Si  pekerja  hanya  memiliki  kekuatan  badan,  dan
terpaksa  menyewakan  dirinya.  Sebagai  giliran  tangan  menimbulkan  masyarakat  dengan  pengusaha
kapitalis.
Sejarah masyarakat mulai pecahnya masyarakat primitif bersama adalah sejarah pertarungan
kelas.  Selama  seratus  lima  puluh  tahun  terakhir,  kapitalisme  industri  dengan  doktrin  self-interest
(kepentingan diri sendiri)-nya telah membagi masyarakat menjadi dua kelompok yang bertentangan:
borjuis atau kelompok yang memiliki dan proletar atau kaum buruh. Oleh karena kelas yang memiliki
menguasai lembaga-lembaga kunci  dari  masyarakat dan tidak  mengizinkan perubahan besar dengan
jalan damai, maka jalan keluarnya adalah penggulingan kondisi sosial yang ada dengan kekerasan.
4
Titus Smith Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, Op. Cit., h. 304- 306.
5
Joseph Stalin, Dialectical and Historical Materialism (New York: International Publisher, 1950) h. 8.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
14
Setelah  revolusi,  menurut  materialisme  dialektik  dan  filsafat  komunis,  akan  terdapat  dua
tingkat masyarakat. Pertama tingkat peralihan, yaitu periode kediktatoran dari kaum proletar. Dalam
waktu  tersebut  orang  mengadakan  perubahan  sosial  yang  revolusioner,  dan  kelas-kelas  masyarakat
dihilangkan  dengan  dihilangkannya  hak  milik  pribadi  terhadap  sarana  produksi,  distribusi  dan
pertukaran  (excange).  Tingkat  kedua  setelah  revolusi  adalah  tingkat  kelima  dan  tipe  terakhir  dari
sistem produksi. Itu adalah  “masyarakat tanpa kelas”  atau komunisme murni. Pada tingkatan tersebut
bentrokan  dan  eksploitasi  akan  telah  selesai,  dan  semua  orang,  pria  dan  wanita  akan  terjamin
kehidupannya yang layak. Negara tidak lagi menjadi alat kelas dan dialektik tidak berlaku lagi dalam
masyarakat tanpa kelas. Akan terdapat kemerdekaan, persamaan, perdamaian dan rizki pun melimpah.
Masyarakat akan menyaksikan realisasi kata-kata: dari setiap orang menurut kemauannya, bagi setiap
orang menurut kebutuhannya.
Kritik Teori Sosial Marx
6
Diantara para teoretikus Marx, barangkali Habermaslah orang yang paling tekun menelusuri
asal-usul teoretis dari Marxisme, sampai pada  pikiran-pikiran sebelum Marx. Sekilas usaha semacam
ini  tampaknya  membuang-buang  waktu,  tetapi  persis  sebenarnya  disini  letak  ketajaman  Habermas.
Sebuah  “hermeneutik”  atas Marxisme  dapat mengembalikan pada maksud asli Marx sendiri sebagai
seorang yang prihatin terhadap situasi zamannya. Dengan cara itu Habermas menunjukkan mengapa
teori  Marx  itu  menjadi  semakin  kritis  pada  zamannya.  Dalam  esainya,  Between  Philoshopy  and
Science: Marxisme as Critique
7
,  “hermeneutik”  macam itu sungguh sangat menarik, bukan saja untuk
mengetahui bagaimana konsep Habermas tentang sebuah teori sosial yang kritis, tetapi juga darimana
teori Marx meraih sifat kritisnya.
Sudah jelas bagi Habermas sendiri bahwa Marxisme yang dipertahankan terus dalam bentuk
ortodoknya
8
itu sudah ketinggalan zaman. Karl Marx itu hidup pada zaman abad ke-19, saat pesatnya
industrialisasi dan mekanisme pasaran bebas. Itulah zaman kapitalisme liberal. Zaman sekarang, abad
ke-20 ini, kapitalisme sudah berkembang semakin kompleks. Habermas menyebut tahap kapitalisme
dewasa  ini  sebagai  Spatkapitalismus  atau  kapitalisme  lanjut.  Pada  tahap  ini,  analisis-analisis  Marx
menjadi tidak relevan.
Habermas mengemukakan empat alasan.  Pertama,  berbeda dari zaman kapitalis liberal saat
ekonomi menentukan kebijakan-kebijakan politis, dewasa ini, karena intervensi negara ke pasar politik
bukan  lagi  merupakan  “superstruktur”.  Pengandaian  dasar  Marx  bahwa  basis  ekonomi  menentukan
superstruktur kesadaran menjadi tidak relevan.  Kedua,  perkembangan standar hidup dewasa ini sudah
begitu jauh, sehingga revolusi sudah tidak bisa dikobarkan lewat istilah-istilah ekonomi. Dewasa ini
juga  terjadi  kompromi  kelas-kelas  sosial,  sehingga  antagonisme  kaum  buruh  dan  kapitalis  ala
Marxisme  itu  juga  menjadi  tidak  relevan,  sebab  kecemburuan  sosial  tidak  hanya  dirasakan  kaum
buruh,  tapi  juga  kelas-kelas  lain.  Ketiga,  karena  itu,  kaum  proletar  tidak  bisa  dijadikan  tumpuan
harapan  sebagai  agen  perubahan.  Perjuangan  kelas  pada  taraf  nasional  sudah  distabilkan,  tetapi
sebagai  gantinya,  terjadi  ketegangan  global  antar  negara-negara  kapitalis  dan  komunis.  Keempat,
berdirinya  raksasa  Uni  Soviet  memadamkan  diskusi  kritis  mengenai  Marxisme,  sehingga  Marxisme
lambat laun kehilangan daya tariknya sebagai ilmu.
Proses Perubahan Sosial dalam Konteks Global
9
Globalisasi mau tidak mau harus dilalui oleh seluruh negara di dunia ini. Hubungan antar
negara menjadi sedemikian penting pengaruhnya dalam mewujudkan kehidupan masin-masing negara
terlebih  ketika  era  globalisasi  tiba.  Menjadi  suatu  keniscayaan  apabila  sebuah  negara  harus
bekerjasama dengan negara lain bahkan lebih ekstremnya lagi memerlukan bantuan negara lain. Polapola hubungan antar negara menjadi bahasan penting dalam membedah perubahan sosial yang terjadi
saat ini.
Selain  peran  negara  lain  (negara  maju),  perubahan  sosial  di  negara-negara  berkembang
dipengaruhi  oleh  organisasi  internasional  dan  bahkan  perusahaan  multi  nasional.  Dominasi  negara
maju dapat dilihat dari berbagai bantuan yang masuk ke nagara berkembang atas nama modernisasi.
Modernisasi  diangap  sebagai  jalan  untuk  meraih  kemajuan  negara  berkembang.  Organisasi
internasional  mempunyai  peran  yang  hampir  sama  dengan  negara  maju.  Berbagai  kesepakatan  dan
kebijakan  yang  dihasilkan  memberikan  dampak yang  sangat nyata bagi negara berkembang. Hal ini
terjadi karena memang organisasi internasional didominasi oleh negara maju.
6
Franscisco Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif (Yogyakarta: Kanisius, 1993) h. 53-69.
7
Jurgen Habermas, Legitimation Crisis (Boston: Beacon Press, 1973).
8
Franz Magnis-Suseno, Hegel, Filsafat Kritis dan Dialektika, dalam Driyarkara Tahun XVIII No. 3.
9
Disadur dari makalah,  Proses Perubahan Sosial dalam Konteks Global, Slamet Widodo (Tahun 2008).  Rujukan
tulisan:  Inglehart, R. 1995.  Changing Values, Economic Development and Political Change.  International Social Sciences
Journal  no.  145.  September  1995.  Schoorl,  J.W.  1980.  Modernisasi;  Pengantar  Sosiologi  Pembangunan  Negara-Negara
Sedang Berkembang.  Jakarta. PT. Gramedia. Seabrook, J. 1998. Para Perintis Perubahan. Jakarta. Yayasan obor Indonesia.
Sztompka, P. 1994. The Sociology of Social Change. Oxford. Blackwell Publisher.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
15
Analisis Hubungan Antar Negara dan Globalisasi
Ketidaksamaan  menjadi  dasar  pemikiran  dalam  mengulas  pola  relasi  antar  negara.  Kita
sadari  bahwa  ketidaksamaan  antar  negara  yang  menyebabkan  timbulnya  pola-pola  relasi  tertentu.
Secara  garis  besar  pembagian  negara  dapat  dikategorikan  dalam  dua  kelompok  besar,  yaitu  negara
kaya dan miskin. Terdapat lima pola relasi antar negara, yaitu sistem feodal, sistem campuran, sistem
kelas, sistem egalitar dan sistem plural.
Teori ala Barat merupakan pandangan yang disampaikan oleh kelompok negara maju yang
tidak berideologi komunis. Bagi negara barat, hubungan antar negara menekankan pada kemerdekaan
politik masing-maising negara. Suatu keadaan yang menjadi prasyarat lahirnya hubungan antar negara
adalah tertib internasional. Peran lembaga internasional semacam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menjadi sangat penting untuk mewujudkan tertib hukum internasional.
Negara berkembang harus melalui jalan yang disebut dengan modernisasi untuk mencapai
tahap  kemajuan  seperti  halnya  yang  telah  dijalani  oleh  negara  maju.  Negara  maju  mempunyai
tanggung  jawab  untuk  membantu  negara  berkembang.  Negara  berkembang  menjadi  sebuah  sarana
pertahanan  ideologi  bagi  negara  barat.  Pertentangan  dengan  negara  komunis  dalam  penyebaran
ideologi  pada  negara  berkembang  menjadi  alasan  negara  barat  dalam  membina  hubungan  harmonis
dengan enagra berkembang.
Kubu  negara  komunis  juga  mempunyai  teori  sendiri,  walaupun  secara  nyata  terdapat
perbedaan antara USSR dan RRC. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan ideologi dan kepentingan.
USSR  melihat  masyarakat  dunia  sebagai  keseluruhan  negara-negara,  yang  kesemuanya  tumbuh
menjadi  negara  komunis.  Tahap  yang  harus  dilalui  adalah;  (1)  masyarakat  primitif,  (2)  masyarakat
feodal, (3) masyarakat kapitalis, (4) masyarakat sosialis dan terakhir (5) masyarakat komunis.
USSR  membedakan  negara-negara  di  dunia  dalam  tiga  kelompok  besar,  yaitu  negara
sosialis,  negara  imperialis  dan  negara  koloni.  Saat  ini  USSR  sudah  berada  pada  posisi  yang
“sempurna”  sehingga  layak  untuk  menjadi  pemimpin  bagi  negara  lainnya.  RRC  melihat  bahwa
negara-negara  berkembang  dalam  posisi  yang  terjepit  di  tengah-tengah  persaingan  antara  USA  dan
USSR. Pandnagan RRC ini didasarkan pada posisinya yang “merasa” sebagai bagian dari negara dunia
ketiga.
Sebuah  teori  yang  menggambarkan  adanya  “derajat”  suatu  negara  dikemukakan  oleh
Balandier  dan  dikenal  dengan  teori  stratifikasi  sosial.  Meskipun  secara  ideal  posisi  masing-masing
negara  di  dunia  adalah  sejajar,  namun  pada  kenyataannya  sungguh  bertolak  belakang.  Secara  nyata
kita dapat lihat adanya stratifikasi berdasarkan ekonomi yang ditentukan oleh tingkat perkembangan
teknologi  dan  ekonomi,  potensi  ekonomi,  tingkat  perkembangan  sosial  ekonomi  dan  kemungkinan
untuk mengembangkan peluang ekonomi.
Akibat dari adanya ketidaksamaan ini menimbulkan tiga pola hubungan, yaitu adanya upaya
meniru  negara  maju  oleh  negara  berkembang  untuk  meraih  kesejajarannya.  Kemungkinan  kedua
adalah negara yang mempunyai posisi sejajar saling bergabung dan berusaha untuk memperbaiki atau
mempertahankan posisinya. Terakhir, tibulnya pola relasi patron klien antara negara berkembang dan
negara maju.
Berangkat  dari  teori  stratifikasi  sosial,  muncullah  teori  perjuangan  kelas.  Kemungkinan
yang diharapkan terjadi adalah adanya kemauan untuk bergabung dan berkelompok antar negara yang
mempunyai  posisi  sejajar  sehingga  membentuk  kelas.  Konsekuensi  dari  teori  ini  adalah  akan
timbulnya dua kelompok negara-negara di dunia, yaitu kelompok negara maju dan kelompok negara
berkembang.
Asumsi dasar teori  ketergantungan menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat
umum  ditemui pada negara-negara dunia  ketiga, disebabkan faktor  eksternal, lebih sebagai  masalah
ekonomi  dan  polarisasi  regional  ekonomi  global,  dan  kondisi  ketergantungan  adalah  anti
pembangunan atau tak akan pernah melahirkan pembangunan. Terbelakang adalah label untuk negara
dengan  kondisi  teknologi  dan  ekonomi  yang  rendah  diukur  dari  sistem  kapitalis.  Frank  adalah
penyebar  pertama  dependensi.  Menurut  Frank,  modernisasi  mengabaikan  sejarah  (ahistoris)  karena
telah  mengabaikan  kenyataan  hancurnya  struktur  masyarakat  dunia  ketiga.  Frank  mengumpamakan
hubungan  hubungan  negara-negara  maju  dengan  negara  dunia  ketiga  sebagai  rangkaian  hubungan
dominasi  dan  eksploitasi  antara  metropolis  dengan  satelitnya.  Lebih  jauh  Roxborough  menyatakan
bahwa  terdapat  peranan  struktur  kelas  di  negara  dunia  ketiga  yang  juga  berperan  dalam  hubungan
dominasi tersebut.
Santos menyatakan, bahwa ada tiga bentuk keterantungan, yaitu: ketergantungan kolonial,
ketergantungan  industri  keuangan,  dan  ketergantungan  teknologi  industri.  Pada  ketergantungan
kolonial, negara dominan, yang bekerja sama dengan elit negara tergantung,   memonopoli pemilikan
tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta ekspor barang galian dan hasil bum i dari negara jajahan.
Menurut  Roxborough  teori  imprealisme  memberikan  perhatian  utama  pada  ekspansi  dan
dominasi kekuatan imprealis. Imprealis yang ada pada abad 20 pertama-tama melakukan ekspansi cara
produksi  kapitalis  ke  dalam  cara  produksi  pra-kapitalis.  Tujuan  ekspansi  tersebut  ke  negara  ketiga
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
16
pada  mulanya  hanyalah  untuk  meluaskan  pasar  produknya  yang  sudah  jenuh  dalam  negeri  sendiri,
serta  untuk  pemenuhan  bahan  baku.  Namun,  pada  pekembangan  lebih  jauh,  ekspansi  kapitalis  ini
adalah  berupa  cara-cara  produksi,  sampai  pada  struktur  ekonomi,  dan  bahkan  idelologi.  Struktur
ketergantungan secara bertingkat mulai dari negara pusat   sampai periferi disampaikan oleh Galtung.
Imprealisme ditandai satu jalur kuat antara pusat di pusat dengan pusat di periferi.
Teori sistem dunia masih bertolak dari teori ketergantungan, namun menjelaskan lebih jauh
dengan  merubah  unit  analisisnya  kepada  sistem  dunia,  sejarah  kapitalisme  dunia,  serta  spesifikasi
sejarah  lokal.  Menurut  Wallerstein,  dunia  ini  cukup  dipandang  hanya  sebagai  satu  sistem  ekonomi
saja,  yaitu  sistem  ekonomi  kapitali.  Negara-negara  sosialis,  yang  kemudian  terbukti  juga  menerima
modal  kapitalisme  dunia, hanya  dianggap satu unit saja dari tata ekonomi  kapitalis  dunia. Teori  ini
berkeyakinan  bahwa  tak  ada  negara  yang  dapat  melepaskan  diri  dari  ekonomi  kapitalis  yang
mendunia. Usaha menginterpretasikan perkembangan historis kapitalisme dilakukan oleh Wallerstein
dalam sejarah global dunia. Ia memandang kapitalisme sebagai suatu sistem dunia yang mempunyai
pembagian  kerja yang  kompleks secara geografis. Sebagaimana teori  dependensi, teori sistem  dunia
membagi sistem ekonomi kapitalis dunia menjadi pusat, semi pinggiran, dan pinggiran.
Globalisasi budaya menjadi bahan perhatian ketika sebagian ahli telah tersadar akan adanya
fenomena kontak, benturan dan konflik budaya. Fenomena ini terjadi ketika kontak antara negara maju
dan  negara  berkembang  menjadi  sedemikian  kuatnya.  Kuatnya  penetrasi  budaya  modern  membawa
konsekuensi semakin terpinggirkannya budaya tradisional yang telah hidup berabad lamanya di negara
berkembang.
Fenomena  ini  melahirkan  dua  tanggapan  yang  saling  bertentangan.  Sebagian  antropolog
melihat  fenomena  ini  sebagai  sebuahgejala  imperialisme  kebudayaan  yang  menimbulkan  bencana
besar. Semakin lunturnya  budaya tradisional mau tidak mau menjadi sebuah akibat pasti dari kontak
kebudayaan  tersebut.  Namun  terdapat  pandangan  lainnya  yang  menyatakan  bahwa  peradaban
sekaligus  kebudayaan  barat  dianggap  lebih  baik  dan  bermartabat  dibandingkan  dengan  kebudayaan
tradisional. Anggapan ini lahir ketika era kolonialisme dan imperialisme.
Saat  ini  budaya  barat  berkembang  dengan  pesatnya  di  negara  berkembang.  Modernisasi
yang dianggap tidak ubahnya sebagai westernisasi telah menggerus budaya tradisional. Negara maju
dianggap  memiliki  kebudayaan  yang  lebih  modern  sehingga  perlu  ditiru  oleh  negara  berkembang.
Perkembangan  teknologi  komunikasi  dan  informasi  menjadi  faktor  yang  semakin  memperkuat
penetrasi budaya barat pada budaya tradisional. Menjadi sebuah ketidakadilan ketika arus pertukatan
budaya hanya bersifat searah, yaitu dar negara maju ke negara berkembang.
Telaah Tulisan Inglehart dan Seabrook
Modernisasi  yang  menjadi  pilihan  untuk  mencapai  kemajuan  oleh  banyak  negara
berkembang  telah  lama  menimbulkan  debat  berkepanjangan.  Dua  kubu  yang  berhadapan  adalah
Marxian  dan  Weberian.  Kubu  Marxian  melihat  bahwa  pembangunan  ekonomi,  politik  dan  budaya
memiliki  kesalingterkaitan  karena  pembangunan  ekonomi  menentukan  karakteristik  sosial  politik
masyarakat.  Pihak  Weberian  memberikan  pandangan  bahwa  kebudayaan  membentuk  kehidupan
ekonomi dan politik. Walaupun keduanya bertentangan, namun pada dasarnya mempunyai persamaan
pendapat bahwa perubahan sosial ekonomi mengikuti suaitu pola yang dapat diramalkan.
Hubungan antara pembangunan ekonomi dan faktor ideologi menjadi bahan kajian Weber
sehingga  melahirkan  etika  protestan  dan  semangat  kapitalismenya.  Weber  melihat  bahwa  pada
wilayah  Eropa  yang  mempunyai  perkembangan  industrial  kapital  pesat  adalah  wilayah  yang
mempunyai penganut  protestan. Bagi Weber, ini bukan suatu kebetulan semata. Nilai-nilai protestan
menghasilkan  etik  budaya  yang  menunjang  perkembangan  industrial  kapitalis.  Protestan  Calvinis
merupakan  dasar pemikiran  etika protestan  yang  menganjurkan  manusia untuk bekerja keras, hidup
hemat  dan  menabung.  Pada  kondisi  material  yang  hampir  sama,  industrial  kapital  ternyata  tidak
berkembang di wilayah dengan mayoritas Katholik, yang tentu saja tidak mempunyai etika protestan.
Modernisasi  telah  membawa  perubahan  berupa  sekulerisasi  dan  birokratisasi.  Gejala  ini
terjadi di beberapa negara maju seperti USA, eropa barat dan asia. Bentuk sekularisasi dapat kita lihat
dari semakin lunturnya nilai agama. Gerakan liberal serta demokrasi seakan  “menghalalkan”  adanya
fenomena gay, lesbian  dan aborsi. Fenomena ini sudah menjadi gejala yang umum dan mendapatkan
banyak tantangan dari gereja (ortodoks).
Lahirnya gerakan fundamental agama, terutama Islam pada negara maju (kaya) seperti Iran
dan Libya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah  “anomali”  modernisasi. Hal ini dikarenakan Iran dan
libya  bukan  merupakan  negara  maju  hasil  dari  modernisasi.  Kemajuan  (kekayaan)  Iran  dan  Libya
merupakan  hasil  dari  kekayaan  alam  terutama  minyak  yang  melimpah  dan  bukan  dari  hasil
industrialisasi  via  modernisasi.  Penurunan  nilai  tradisioanl  mempunyai  hubungan  yang  sangat  kuat
dengan pertumbuhan ekonomi. Hal inilah yang membedakan antara modenisasi dan post-modernisasi.
Post-modernisasi tidak berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
17
Seabrook  mengungkapkan  beberapa  aksi  yang  dilakukan  oleh  peraih  Right  Livelihood
Award.  Para  penerima  penghargaan  ini  telah  dianggap  berjasa  dalam  memberikan  tawaran  solusi
masalah  lingkungan,  ketidakadilan  sosial,  pelanggaran  HAM  dan  kemiskinan  orang-orang  pribumi.
Sebagai  dampak  globalisasi,  negara  berkembang  semakin  terperosok  dalam  penderitaan  dan  lebuh
tepatnya dapat dikatakan sebagai korban globalisasi via modernisasi. Berbagai kebijakan yang diambil
oleh negara maju melalaui organisasi internasional seringkali ridak dapat menyentuh  seluruh lapisan
masyarakat. Bantuan seringkali hanya dinikmati oleh kalangan elit di negara berkembang.
Post-modernisme  dapat  dikatakan  sebagai  bentuk  perlawanan  terhadap  modernisme  yang
dianggap  telah  banyak  memberikan  dampak  negatif  daripada  positif  bagi  pembangunan  di  banyak
negara  berkembang.  Post-modernisme  bukan  hanya  bentuk  perlawanan  melainkan  memberikan
jawaban  atau  alternatif  model  yang  dirasa  lebih  tepat.  Post-modernisme  merupakan  model
pembangunan  alternatif  yang  ditawarkan  oleh  kalangan  ilmuan  sosial  dan  LSM.  Isu  strategis  yang
diusung  antara  lain  anti  kapitalisme,  ekologi,  feminisme,  demokratisasi  dan  lain  sebagainya.
Modernisme  dianggap  tidak  mampu  membawa  isu-isu  tersebut  dalam  proses  pembangunan  dan
bahkan  dianggap  telah  menghalangi  perkembangan  isu  strategis  itu  sendiri.  Post-modernisme
dinyatakan sebagai  model pembangunan alternatif  karena  memberikan penawaran konsep yang jauh
berbeda dengan modernisme. Tekanan utama yang dibawa oleh post-modernisme terbagi dalam tiga
aspek, yaitu agen pembangunan, metode dan tujuan pembangunan itu sendiri.
Pembangunan  dengan  basis  pertumbuhan  ekonomi  yang  diusung  oleh  paradigma
modernisme memiliki banyak kekurangan dan dampak negatif. Pendekatan ini hanya menitikberatkan
pada pertumbuhan  ekonomi  dengan  menggunakan  indikator GDP yang tidak  mencerminkan adanya
pemerataan.  Kesenjangan  antar  penduduk  mungkin  saja  terjadi  sehingga  indikator  pertumbuhan
ekonomi  hanya  mencerminkan  keberhasilan  semu  saja.  Akumulasi  modal  yang  berhasil  dihimpun
sebagian besar merupakan investasi asing yang semakin memuluskan jalannya kapitalisme global.
Perkembangan  paradigma  pembangunan  alternatif  sebagai  bentuk  kritik  sekaligus
perlawanan  modernisme  semakin  pesat  seiring  dengan  semakin  berkembangnya  LSM  baik  dari
kuantitas  maupun  kualitas.  Posisi  tawar  LSM  yang  semakin  baik  terhadap  pemerintah  memberikan
kontribusi berupa diterimanya ide-ide pembangunan yang selama ini mereka dengungkan. Faktor yang
kedua  adalah  meningkatnya  kesadaran  akan  pembangunan  berkelanjutan  yang  peka  terhadap  isu
ekologi.  Modernisme  selama  ini  dianggap  sebagai  pembawa  kerusakan  lingkungan  dengan
industrialisasinya.  Pertumbuhan  ekonomi  yang  meningkat  ternyata  diiringi  pula  oleh  meningkatnya
kerusakan  lingkungan.  Kegagalan  paradigma  pembangunan  yang  menekankan  pada  pertumbuhan
ekonomi  pada  beberapa  negara  berkembang,  terlebih  setelah  terjadinya  krisis  moneter  pada  tahun
1990-an.
Penulis
Topik
Kajian
Unit
Analisis
Konsep
Pokok
Variabel
Perubahan
Schoorl  Perubahan
global
Makro (hubungan
antar negara)
Teori barat, teori
komunisme, teori
stratifikasi sosial, teori
perjuangan kelas, teori
ketergantungan, teori
imperialisme.
Hubungan antar
negara, bantuan
asing, ideologi,
tingkat pertumbuhan
ekonomi, demografi.
Sztompka  Perubahan
global dan
dampak
globalisasi
Makro (hubungan
antar negara)
Teori imperialisme,
teori ketergantungan,
teori sistem dunia,
globalisasi budaya.
Hubungan antar
negara, pergeseran
budaya, bantuan
asing, pertumbuhan
ekonomi.
Inglehart  Perubahan
global dan
dampak
globalisasi
Meso (negara)  Modernisasi dan Postmodernisasi
Pergeseran nilai,
tingkat pertumbuhan
ekonomi (GNP)
Seabrook  Dampak
globalisasi
Mikro (komunitas
atau masyarakat)
Pembangunan
berbasis lokalitas
(“pemberdayaan”)
n/a
Sintesis
Perubahan  pada  tingkat  global  dipengaruhi  oleh  pola  hubungan  antar  negara.  Negara
berkembang cenderung hanya sebagai “objek”  perubahan yang dihasilkan oleh negara maju. Berbagai
teori  yang  menjelaskan  hubungan antar negara memberi  gambaran bahwa peran  negara maju dalam
modernisasi  menghasilkan  gejala  globalisasi.  Globalisasi  ini  yang  meluluhlantakan  nilai  budaya
tradisional. 
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
18
Ketidakpuasan  akan  modernisasi  melahirkan  pemikiran  post-modernisasi  yang  mencoba
menolak  pengaruh  perkembangan  ekonomi  terhadap  perubahan  budaya.  Berbagai  pengalam  telah
membuktikan  bahwa  perubahan  di  tingkat  global  tidak  hanya  dimonopoli  oleh  negara  maju  saja,
namun  negara  berkembang  memiliki  peran  dalam  perubahan  global  tersebut.  Munculnya  ide
pembangunan berbasisi lokalitas dapat dikatakan sebagai bentuk perlawanan terhadap modernisasi ini.
Keberhasilan  pembangunan  di  tingkat  lokalitas  diharapkan  dapat  membawa  perubahan  di  tingkat
global utamanya mengurangi ketergantungan negara berkembang dengan negara maju.
Revolusi Sosial
10
Revolusi  adalah  wujud  perubahan  sosial  paling  spektakuler,  sebagai  tanda  perpecahan
mendasar dalam proses historis; pembentukan ulang masyarakat dari dalam dan pembentukan ulang
manusia. Revolusi tak menyisakan apapun seperti keadaan sebelumnya. Revolusi menutup epos lama
dan  membuka  epos  baru.  Di  saat  revolusi,  masyarakat  mengalami  puncak  agennya,  meledakkan
transformasi  dirinya  sendiri.  Segera  sesudah  revolusi,  masyarakat  dan  anggota  seperti  dihidupkan
kembali, hampir menyerupai kelahiran kembali. Dalam artian ini revolusi adalah tanda kesejahteraan
sosial.
11
Dibandingkan  dengan  bentuk  perubahan  sosial  lain,  revolusi  berbeda  dalam  lima  hal;  (1)
menimbulkan perubahan dalam cakupan terluas, menyentuh semua tingkat dan dimensi  masyarakat:
ekonomi, politik, kultur, organisasi sosial, kehidupan sehari-hari, dan kepribadian manusia, (2) dalam
semua bidang tersebut, perubahan radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan dan fungsi sosial,
(3)  perubahan  yang  terjadi  sangat  cepat,  tiba-tiba,  seperti  ledakan  dinamit  ditengah  aliran  lambat
proses historis, (4) dengan semua alasan itu, revolusi adalah pertunjukkan perubahan paling menonjol;
waktunya  luar  biasa  cepat  dan  karena  itu  sangat  mudah  diingat.  Revolusi  membangkitkan  emosi
khusus  dan  reaksi  intelektual  pelakunya  dan  mengalami  ledakan  mobilisasi  massa,  antusiasme,
kegemparan,  kegirangan,  kegembiraan,  optimisme  dan  harapan;  perasaan  hebat  dan  perkasa;
keriangan  aktivisme;  dan  menggapa  kembali  makna  kehidupan;  melambungkan  aspirasi  dan
pandangan utopia masa depan.
12
Konsep  revolusi  modern  berasal  dari  dua  tradisi  intelektual:  filsafat  sejarah  dan  sosiologi.
Konsep filsafat sejarah tentang revolusi berarti terobosan radikal terhadap kontinuitas jalannya sejarah
(Brinton  1965:  237).  Perhatian  ditujukan  pada  pola  umum  proses  sejarah  dan  revolusi  menandai
terobosan  kualitatif  pola  umum  ini.  Tokoh  teori  perkembangan  sangat  sering  berasumsi  demikian.
Contoh khususnya adalah pandangan Marx tentang rentetan formasi sosial-ekonomi dimana  “revolusi
sosial”  menandai lompatan kualitatif ke fase perkembangan lebih tinggi.
13
Konsep  sosial  tentang  revolusi  mengacu  pada  penggunaan  gerakan  massa  atau  acaman
paksaan  dan  kekerasan  terhadap  penguasa  untuk  melaksanakan  perubahan  mendasar  dan  terusmenerus dalam masyarakat mereka. Pusat perhatian bergeser dari pola menyeluruh, dari arah dan hasil
akhir yang dipentingkan, ke agen penyebab, mekanisme, dan skenario alternatif dari proses sosial yang
berarti bahwa orang digunakan untuk membentuk dan membentuk ulang sejarah. Revolusi dipandang
sebagai perwujudan terkuat kreativitas manusia yang dinyatakan dalam tindakan kolektif disaat proses
historis berada di titik kritis. Ini berarti pandangan yang lebih bebas, yang menekankan pada agen dan
peluang.  Konsep  ini  lebih  khas  digunakan  dalam  teori  perubahan-sosial  tokoh  post-perkembangan
kini. Tokoh ini membuang gagasan “hukum besi” sejarah.
14
Cerminan  kedua tradisi  itu (filsafat sejarah dan sosiologi) terdapat dalam  devibisi revolusi
sekarang.  Definisi  revolusi  dapat  digolongkan  menjadi  tiga  kelompok
15
;  (1)  revolusi  mengacu  pada
perubahan  fundamental,  menyeluruh  dan  multidimensional,  menyentuh  inti  tatanan  sosial.  Menurut
pengertian  ini,  perombakan  sebagian  dari  hukum  dan  administrasi,  penggantian  pemerintahan  dan
sebagainya tak terhitung sebagai revolusi, (2) revolusi melibatkan massa rakyat yang besar jumlahnya
yang  dimobilisasi  dan  bertindak  dalam  satu  gerakan  revolusioner.  Dalam  banyak  kasus  melibatkan
pemberontakan petani (Jenkins 1982) dan pemberontakan urban. Menurut pengertian ini, meski suatu
gerakan  dapat  menimbulkan  perubahan  paling  dalam  dan  fundamental,  tetapi  jika  dipaksakan  oleh
penguasa dari atas (misalnya, restorasi Meiji di Jepang, revolusi Attaturk di Turki, reformasi Nasser di
Mesir,  perestroika  Ghorbachev)  maka  ia  tak  terhitung  sebagai  revolusi.  Begitu  pula,  meski  terjadi
perubahan fundamental, jika ditimbulkan oleh kecenderungan sosial spontan, tak termasuk pengertian
revolusi  (kecuali  dalam  kata  kiasan  ketika  kita  berbicara  tentang  revolusi  tehnologi  atau  ilmu
10
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Judul Asli: The Sociology of Social Change, Penerjemah: Alimandan
(Jakarta: Prenada, Cet. III., 2007) h. 357-379.
11
Ibid., h. 357.
12
Ibid.
13
Ibid., h. 360.
14
Ibid.
15
Ibid., h. 360-362.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
19
pengetahuan,  (3)  Kebanyakan  pakar  yakin  bahwa  revolusi  memerlukan  keterlibatan  kekerasan  dan
penggunaan kekerasan.
Teori Utama Revolusi
16
Berikut ini dibahas empat aliran utama teori revolusi. Masing-masing adalah aliran: tindakan,
psikologi, struktural, dan politik.
Pertama, teori revolusi tindakan. Teori revolusi modern pertama diajukan oleh Sorokin tahun
1925  (1967).  Kesimpulannya  terutama  didasarkan  pada  pengalaman  revolusi  Rusia  1917,  tempat  ia
berpartisipasi  dan  memerakan  peran  politik  tertentu.  Teorinya  dapat  dianggap  sebagai  contoh
pendekatan tindakan karena ia memusatkan perhatian pada tindakan individu yang menandai revolusi
(1967:  367).  Penyebab  tindakan  menyeleweng  itu  dicarinya  dalam  bidang  kebutuhan  dasar  (naluri)
individu. Pertunjukan tragedi besar, drama dan tragedi revolusi di panggung sejarah, terutama dibawa
oleh naluri menindas bawaan (Ibid., h. 372). Revolusi ditandai oleh perubahan mendasar ciri perilaku
manusia.  Perilaku  beradab  cepat  dibuang  dan  digantikan  oleh  perilaku  seperti  binatang  buas  yang
hendak saling memangsa (Ibid., h. 372). Sorokin meneliti dan mencatat perubahan seperti itu di enam
bidang:  (1)  transformasi  reaksi  terhadap  ucapan,  (2)  penyelewengan  reaksi  terhadap  pemilikan,  (3)
penyelewengan  reaksi  seksual,  (4)  penyelewengan  reaksi  terhadap  tugas,  (5)  penyelewengan  reaksi
terhadap  kekuasaan  dan  bawahan,  (6)  reaksi  terhadap  agama,  moral,  estetika  dan  berbagai  bentuk
perilaku  yang  dipelajari  lainnya  (Ibid.,  h.  41-169).  Berbagai  bentuk  penyelewengan  ini
menghancurkan kepekaan naluriah. Orang bertindak tanpa menghiraukan kepatuhan, disiplin, aturan,
dan  berbagai kriteria perilaku beradap lainnya. Manusia berubah  menjadi gerombolan buas manusia
gila (Ibid., h. 367).
Kedua,  teori revolusi psikologi.  Aliran psikologi  mengabaikan bidang tindakan reflek atau
nalurian  dasar  dan  beralih  ke  bidang  orientasi  sikap  dan  motivasi.  Teori  ini  paling  erat  kaitannya
dengan pemikiran akal sehat (common sense). Karena itu tak heran, teori itu paling populer dan paling
rinci  dari semua pendekatan  yang ada. Teori paling berpengaruh diajukan  oleh James Davis (1962)
dan  Ted  Gurr  (1970)  dengan  teori  kerugian  relatif.  Revolusi  disebabkan  sindrom  mental  yang
menyakitkan yang tersebar di kalangan rakyat, diperburuk karena menjangkiti banyak orang sehingga
memotivasi perjuangan kolektif untuk meredakannya.
Ketiga, teori revolusi struktural. Teori struktural memusatkan perhatian pada tingkat struktur
makro  dengan  mengabaikan  faktor  psikologi.  Menurut  teori  ini  revolusi  adalah  hambatan  dan
ketegangan  struktural  dan  terutama  bentuk  hubungan  khusus  tertentu  antara rakyat  dan  pemerintah.
Penyebab revolusi lebih dicari ditingkat hubungan sosial khusus, yakni dalam kondisi hubungan antar
kelas dan antar kelompok (nasioal dan internasional) ketimbang di kepala rakyat, dalam arti mentalitas
atau  sikap  mereka.  Tokoh  terkenal  teori  ini,  Theda  Skocpol,  menyebutknya  “perspektif  struktural”
dengan  maksud  untuk  lebih  menekankan  pada  hubungan  dan  konflik  obyektif  yang  terjadi  antar
kelompok dan antar bangsa dalam revolusi tertentu (1979: 291). Dengan mengutip Eric Hibsbawm, ia
menyatakan:  Pentingnya  bukti  peran  aktor  dalam  revolusi  tak  berarti  bahwa  mereka  juga  adalah
pelaku, pencipta dan perencananya. (Ibid., h. 18).
Dengan  membandingkan  bukti  historis  revolusi  Perancis,  Rusia  dan  Cina,  Skockpol
mengahasilkan  analisis  struktural  umum  tentang  penyebab,  proses  dan  hasil  ketiga  revolusi  itu.
Revolusi itu ternyata mengikuti pola tiga tahap: (1) terjadi kehancuran struktural dan krisis politik dan
ekonomi  dalam rezim lama. Mereka terjepit  dalam tekanan bersilang antara struktur kelas domestik
dan  kepentingan  hubungan  internasional,  penguasa  otokrasi,  administrasi  sentral  dan  kekuatan
militernya  tercerai-berai.  Keadaan  ini  membuka  jalan  bagi  transformasi  revolusioner  yang  dimulai
dengan  pemberontakan  di  bawah  (Ibid.,  h.  47),  (2)  krisis  rezim  membuka  peluang  pemberontakan
petani dan atau buruh perkotaan. Kehancuran rezim  lama adalah perlu (necessary), tetapi tak cukup
(sufficient)  untuk  menyulut  revolusi.  Pemberontakan  petani  telah  menjadi  unsur  huru-hara  penting
dalam revolusi sosial hingga kini (Ibid., h. 112-13), tetapi revolusi hanya dapat terjadi dalam kondisi
kehancuran politik sebelumnya. Melemahnya kemampuan menindas dari pemerintah yang sebelumya
bersatu dan terpusatlah yang akhirnya menciptakan kondisi yang secara langsung menyebabkan, atau
yang  pada  akhirnya  menguntungkan  bagi,  meluasnya  pemberontakan  petani  menentang  tuan  tanah
(Ibid., h. 117), (3) tema revolusi utama selama tahap ketiga ini adalah bidang politik yakni, konsolidasi
ulang, penataan ulang, dan penyatuan ulang pemerintah dan administrasinya oleh elit politik baru yang
mulai berkuasa setelah berhasil menyingkirkan rezim lama. Revolusi hanya dapat diwujudkan dengan
sempurna segera setelah organisasi negara yang baru (administrasi dan militer) dikoordinasikan oleh
eksekutif yang memerintah atas nama simbol revolusi yang dibentuk ditengah-tengah konflik situasi
revolusioner  (Ibid.,  h.  163).  Keunikan  teori  Skockpol  adalah  penekanannya  pada  faktor  politik  dan
hubungan  internasional.  Baik  itu  terciptanya  situasi  revolusioner  maupun  wujud  rezim  baru  yang
muncul  dari  konflik  revolusioner  itu,  keduanya  pada  dasarnya  tergatung  pada  struktur  organisasi
16
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Judul Asli: The Sociology of Social Change, Penerjemah: Alimandan
(Jakarta: Prenada, Cet. III., 2007) h. 366-373.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
20
negara,  derajat  otonominya  dan  hubungan  dinamis  dengan  kelas-kelas  dan  kekuatan  politik  dalam
negeri  serta  posisinya  dalam  hubungan  dengan  negara  lain  (Ibid.,  h.  284).  Ia  memprediksi:  Dalam
revolusi dimasa mendatang, seperti di masa lalu, bidang kehidupan negara tetapi akan menjadi pusat
perhatian (Ibid., h. 293).
Teor struktural pun dituduh berat sebelah dan mengabaikan psikologi individual. Teori jelas
memusatkan  perhatian  pada  kondisi  dan  dampak  struktural,  mengabaikan  keseluruhan  proses
kompleks  yang  terjadi  diantara  keduanya.  Ketika  massa  rakyat  diorganisir  dan  dimobilisasi  oleh
pemimpin  yang  melakukan  revolusi.  Skockpol  lupa  bahwa  manusia  yang  berfikir  dan  bertindak  itu
(meski dengan sembrono) merupakan mata rantai yang menghubungkan antara kondisi struktural dan
hasil sosialnya. Kondisi struktural tak bisa menentukan secara mutlak tentang apa yang akan dilakukan
manusia.  Kondisi  struktural  semata  meletakkan  batas  tertentu  terhadap  tindakan  manusia  atau
menetapkan sederetan peluang (Kommel, et. al., 1981: 1153). Pesan kritik yang diperoleh dari analisis
struktural,  sama  dengan  yang  dikemukakan  sebelumnya:  memerlukan  pendekatan  sistesis  atau
multidimensional.  Skockpol  lebih  melihat  analisis  struktural  dan  voluntaris  sebagai  saling
bertentangan ketimbang sebagai dua unsur penting dari penjelasan sosiologis yang lengkap  (Ibid., h.
1154).
Keempat,  teori  revolusi  pendekatan  politik.  Pendekatan  ini  melihat  revolusi  sebagai  sifat
fenomena  politik  yang  muncul  dari  proses  yang  khusus  terjadi  dibidang  politik.  Revolusi  dilihat
sebagai akibat pergeseran  keseimbangan kekuatan dan perjuangan  memperebutkan  hegemoni antara
pesaing  untuk  mengendalikan  negara  (Aya,  1979:  49).  Contoh  yang  baik  dari  pemikiran  serupa  itu
dikemukakan  oleh  Tilly  (1978).  Ia  yakin  revolusi  bukanlah  fenomena  luar  biasa,  kekecualian  atau
penyimpangan tetapi justru kelanjutan proses politik dengan cara lain. Artinya, berbagai proses politik
normal  dimana  berbagai  kelompok  berupaya  mewujudkan  tujuannya  dengan  merebut  kekuasaan.
Revolusi adalah bentuk ekstrim pertikaian untuk mengontrol politik. Revolusi hanya akan terjadi bila
pesaing  mampu  memobilisasi  sumber  daya  secara  besar-besaran  yang  diperlukan  untuk  merebut
kekuasaan dari rezim  lama (Goldstone, 1982: 193). Kondisi lebih  luas untuk  menempatkan revolusi
secara  konseptual,  disebut  “model  negara”.  Ini  adalah  seperangkat  unsur  yang  saling  berhubungan,
diantaranya:  “pemerintah”  yakni  organisasi  yang  mengontrol  cara  utama  penggunaan  paksaan
terhadap rakyat.  “Pesaing”  yakni kelompok yang selama periode tertentu menghimpun sumber daya
untuk  mempegaruhi  pemerintah.  Pesaing  ini  mencakup  penantang  dan  anggota  (aparatur)  negara.
Anggota  adalah  pesaing  yang  memiliki  akses  murah  untuk  mendapatkan  sumber  daya  yang
dikendalikan pemerintah. Penantang adalah pesaing lainnya (Tilly, 1978: 52). Memobilisasi kekuatan
revolusioner  terjadi  dikalangan  penantang  yang  tak  mempunyai  cara  lembaga  dan  yang  sah  untuk
mewujudkan kepentingan mereka. Mobilisasi berarti peningkatan sumber daya yang berada dibawah
kontrol  kolektif  penantang  atau  peningkatan  derajat  kontrol  kolektif  (Ibid.,  h.  5).  Mobilisasi  adalah
syarat  tindakan  kolektif  untuk  mencapai  tujuan  akhir  besama.  Revolusi  adalah  bentuk  tindakan
kolektif  khusus  yang  dibedakan  oleh  kondisi  khusus  (situasi  revolusioner).  Ciri  terpenting  situasi
revolusioner  adalah  “kedaulatan  ganda”  atau  dengan  kata  lain  pelipatgandaan  pemerintah  yang
sebelumnya  dibawah  kotrol  tunggal  kemudian  menjadi  sasaran  persaingan  antara  dua  atau  lebih
kekuatan yang berbeda. Situasi ini akan berakhir bila kontrol atas pemerintahan diraih kembali oleh
kekuasaan tunggal (Ibid., h. 191). Rakyat dihadapkan sekurangnya pada dua pusat kekuasaan dengan
kepentingan yang bertentangan: pemerintah terdahulu dan yang menentang. Dalam hal ini ada empat
jenis  situasi  politik:  (1)  sebagai  taklukan,  jika  suatu negara  berdaulat  menaklukan  negara  berdaulat
yang lain, (2) ketika sebuah negara taklukan menyatakan kemerdekaannya (misalnya, sebuah koloni
yang tunduk kepada kekuasaan asing). Pola dasar situasi ini adalah pemberontakan anti kolonial atau
pemberontakan nasional, (3)  ketika penantang  memobilisasi  dan  mendapatkan  kontrol atas sebagian
aparatur  negara,  (4)  ketika  negara  terpecah  menjadi  dua  blok  atau  lebih,  masing-masing  blok
mendapat sebagian kontrol atas pemerintahan (Ibid., h. 191-2). Revolusi meledak jika sebagian besar
rakyat mengalihkan kesetiaan mereka ke pusat kekuasaan tandingan. Revolusi menang bila pengalihan
kekuasaan benar-benar terjadi dan perangkat pemegang kekuasaan digantikan oleh yang lain. Revolusi
besar bersifat ekstrim dalam  dua hal:  kekuasaan terbelah dua dan terjadi pergantian besar-besaran
aparatur negara.[]
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
21
Hand-Out 02:
ANALISIS WACANA MEDIA (MEDIA DISCOURSE ANALYSIS)
Oleh: Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta & Pascasarjana Sosiologi Fisipol UGM,
Kader Kultural PMII Daerah Istimewa Jogjakarta. 085 647 634 312/ nuriel.ugm@gmail.com
Contents
  Teori Wacana dan Bahasa
  Memahami Makna
  Media
  Simbol
  Teori Wacana dalam Tradisi Filsafat
  Pendekatan Analisis Wacana
  Wacana Tulis, Teks dan Konteks
  Wacana dan Ideologi
  Karakteristik Analisis Wacana
  Kerangka Analisis Wacana
Apakah Wacana itu?
  Komunikasi pikiran dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan; konversasi atau
percakapan.
  Komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah.
  Risalat tulis; disertasi formal; kuliah; ceramah; khotbah. (Webster, 1983: 522).
Sudjiman, 1993: 6
  Wacana ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, biasanya terdiri
atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian yang satu dengan yang lain.
  Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan, dan dapat pula menggunakan bahasa tulisan.
Firth, Samsuddin, 1992: 2
  Language  as  only  meaningfull  in  its  context  of  situation.  Makna  suatu  bahasa  berada  pada
rangkaian konteks dan situasi.
  Pembahasan  wacana  pada  dasarnya  merupakan  pembahasan  terhadap  hubungan  antara
konteks-konteks yang terdapat di dalam teks.
  Pembahasan  itu  bertujuan  menjelaskan  hubungan  antara  kalimat  atau  antara  ujaran
(utterances) yang membentuk wacana.
Foucault, Mills: 1994
  Kontekstual   Teoretis;  Wacana  berarti  domain  umum  dari  semua  pernyataan,  yaitu  semua
ujaran/ teks yang mempunyai makna & efek dalam dunia nyata.
  Konteks  Penggunaan;  Wacana  berarti  sekumpulan  pernyataan  yang  dapat  dikelompokan
kedalam kategori konseptual tertentu (Misalnya: imperealisme/ feminisme)
  Metode  Penjelasan;  Wacana  berarti  suatu  praktik  yang  diatur  untuk  menjelaskan  sejumlah
pernyataan.
Kebutuhan Dasar Wacana
  Keinginan untuk memberi informasi kepada orang lain mengenai suatu hal.
  Keinginan  untuk  meyakinkan  seseorang  mengenai  kebenaran  suatu  hal  dan  mempengaruhi
sikap/pendapat orang lain.
  Keinginan untuk mendeskripsikan cita-rasa suatu bentuk, wujud, objek.
  Keinginan untuk menceritakan kejadian atau peristiwa yang terjadi. (Keraf, 1995: 6).
Bentuk Retorika Wacana
  Wacana Transaksional; jika yang dipentingkan ialah ‘isi’ komunikasi.
  Wacana  Interaksional;  jika  yang  dipentingkan  hubungan  timbal  balik  antara  penyapa
(addresses) dan pesapa (addressee). (Sudjiman, 1993: 6).
Otoritas Analisis Wacana
  Dalam Linguistik;  Analisis  wacana digunakan untuk menggambarkan sebuah struktur yang
luas melebihi batasan-batasan kalimat. (Sunarto, 2001: 119-120)
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
22
  Dalam  Teks  Tertulis;  Analisis  wacana  bertujuan  untuk  mengeksplisitkan  norma-norma  &
aturan-aturan  bahasa  yang  implisit.  Analisis  wacana  bertujuan  untuk  menemukan  unit-unit
hierarkis yang membentuk suatu struktur diskursif (Mills,1994)
Bahasa
  Manusia  adalah  mahluk  berfikir.  Demikian  tesis  klasik  yang  kita  temukan  dalam  dunia
filsafat. Konsekuensi logis dari tesis ini, bahwa manusia adalah mahluk berbahasa.
  Hubungan pikiran dan bahasa sangat erat. Bahasa menunjukkan jalan pikiran seseorang.
  Dalam  bahasa  terdapat  sesuatu  kekuatan  yang  tidak  tampak  yang  diberi  nama  komunikasi.
(Loren Bagus, 1990).
Filsafat Bahasa
  Dalam  filsafat  bahasa  dikatakan,  bahwa  orang  yang  mencipta  realitas  dan  menatanya  lewat
bahasa.
  Bahasa mengangkat kepermukaan hal yang tersembunyi sehingga menjadi kenyataan.
  Bahasa dapat dipakai untuk  menghancurkan realitas orang lain. Bahasa dapat menjadi tiran.
(Loren Bagus, 1990).
Fungsi Bahasa
  Fungsi  Ideasional: untuk membentuk, mempertahankan dan memperjelas hubungan diantara
anggota masyarakat.
  Fungsi Interpersonal: untuk menyampaikan informasi diatara anggota masyarakat.
  Fungsi  Tekstual:  untuk  menyediakan  kerangka,  pengorganisasian  diskursus  (wacana)  yang
relevan dengan situasi (features of the situation). (Halliday, 1972: 140-165)
Makna
  Makna merupakan kata yang subjektif (Jalaluddin Rahmat, 1996)
  Para ahli filsafat dan linguis, membedakan antara struktur logis dan struktur bahasa, sehingga
memudahkan  kita  untuk  membedakan  antara  ungkapan  yang  tidak  mengandung  makna
(meaningless) dan yang mengandung arti (meaningfull). (Mustansyir, 2001: 153-154)
Makna dalam Konteks Wacana
  Dalam  konteks  wacana, makna dapat dibatasi sebagai  “hubungan antara bentuk  dengan hal/
barang yang diwakilinya (referen-nya)” (Keraf, 1994: 25)
  Kata rumah: adalah bentuk/ ekspresi. Barang yang diwakili oleh kata rumah: sebuah bangunan
yang beratap, berpintu, berjendela yang  menjadi tempat tinggal  manusia. Barang itu disebut
referen. Hubungan bentuk dan referen menimbulkan makna/ referensi.
  Makna  atau  referensi  kata  rumah  timbul  akibat  hubungan  antara  bentuk  itu  dengan
pengalaman-pengalaman non linguistik atau barang yang ada di alam.
Jenis-jenis Makna
  Makna Emotif (emotive meaning)
  Makna Kognitif (cognitive meaning)
  Makna Deskriptif (descriptive meaning)
  Makna Referensial (referential meaning)
  Makna Piktorial (pictorial meaning)
  Makna Kamus (dictionary meaning)
  Makna Samping (fringe meaning)
  Makna Inti (core meaning) (Shipley, 1962)
Makna Denotatif & Konotatif
  Makna Denotatif; Kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan.
  Makna  Konotatif;  Kata  yang  mengandung  arti  tambahan,  perasaan  tertentu  atau  nilai  rasa
tertentu, disamping makna dasar yang umum. (Keraf, 1994: 27-31)
Perubahan & Pemberian Makna
  Makna yang dikode oleh pemirsa terjadi dalam ruang yang berbeda dan individu yang berbeda
berdasarkan pada kemampuan kognitif dan kemampuan afektif pemirsa.
  Makna yang dikode oleh pemirsa tergatung pada bagaimana individu melakukan dekonstruksi
terhadap iklan televisi/ tulisan di media cetak.
  Setiap  individu  memiliki  kebebasan  menentukan  metode  interpretasi,  termasuk  kepentingan
dalam melakukan dekonstruksi. (Bungin, 2001: 199-200).
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
23
Peran Makna
  Peran  tanda  (sign)  di  dalam  masyarakat  (semiotics),  makna-makna  tanda  (semantics),  serta
kode-kode  sosial  (social  codes)  dibalik  tanda  dan  makna  tersebut  diperlukan  dalam  studi
kebudayaan,  oleh  karena  itu  makna  tersebut  merupakan  pembentuk  (construct)  utama  dari
kebudayaan. (Piliang, 2001: 308).
  Kata memperoleh maknanya melalui penggunaannya sehari-hari dalam konteks kebudayaan.
(van Peursen, 1990: 2).
Bias Media
  Bias media terjadi karena media tidak berada dalam ruang vakum.
  Media sesungguhnya berada ditengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan,
konflik dan fakta yang kompleks dan beragam.
Louis Althusser, 1971
  Media  dalam  hubungannya  dengan  kekuasaan,  menempati  posisi  strategis,  terutama  karena
anggapan akan kemampuannya sebagai sarana legitimasi.
  Media massa sebagaimana lembaga pendidikan, agama,  seni, kebudayaan, merupakan bagian
dari  alat  kekuasaan  negara  yang  bekerja  secara  ideologis  guna  membangun  kepatuhan
khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideological states apparatus).
Antonio Gramsci, 1971
  Pandangan Althusser tentang media dianggap  oleh Gramsci mengabaikan resistensi ideologis
dari kelas tersubordinasi dalam ruang media.
  Media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground
for competing ideologies).
  Media adalah ruang dimana ideologi direpresentasikan. Media bisa menjadi sarana penyebaran
ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol wacana publik.
  Pada sisi lain, media bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat
untuk  membangun  kultur  dan  ideologi  dominan  bagi  kepentingan  kelas  dominan,  sekaligus
juga  bisa  menjadi  instrumen  perjuangan  bagi  kaum  tertindas  untuk  membangun  kultur  dan
ideologi tandingan.
Kepentingan Media
  Althusser  dan Gramsci sepakat bahwa  media  massa bukan sesuatu yang bebas, independen,
tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial.
  Ada  berbagai  kepentigan  yang  bermain  dalam  media  massa.  Kepentingan  ideologis  antara
masyarakat  dan  negara,  juga  kepentingan  lain,  misalnya;  kepentingan  kapitalisme  pemilik
modal, kepentingan keberlangsungan (suistainabilitas) lapangan kerja bagi para karyawan.
  Dalam  kondisi  ini  media  harus  bergerak  dinamis  diatara  pusaran  yang  bermain.  Hal  inilah
yang menyebabkan bias berita di media yang sulit dihindari.
Faktor Penyebab Bias Media
  Kapasitas dan kualitas pengelola media.
  Kuatnya kepentingan yang sedang bermain dalam realitas sosial.
  Taraf kekritisan dari masyarakat. (Winarko, 2000: xi)
  (Dari ketiga faktor tersebut menimbulkan derajat bias media yang berbeda-beda)
Makna Bahasa Menimbulkan Bias
  Dalam  sebuah  penelitian  terhadap  fenomena  perkosaan  dalam  pemberitaan  surat  kabar
Kedaulatan  Rakyat  dan  Suara  Merdeka,  ditemukan  22  kata  yang  digunakan  untuk
menggantikan kata “perkosaan”, yaitu: 1) merenggut kegadisan, 2) mencabuli, 3) menggauli,
4)  menggagahi,  5)  menakali,  6)  dianui,  7)  dikumpuli,  8)  menipu  luar  dalam,  9)  digilir,  10)
dinodai, 11) digarap, 12) dihamili, 13) korban cinta paksa, 14) dipaksa berhubungan intim, 15)
berbuat  tidak  senonoh,  16)  memaksa  bersetubuh,  17)  korban  kuda-kudaan,  18)  memaksa
memenuhi  nafsu  birahi,  19)  dipaksa  melayani,  20)  melakukan  perbuatan  asusila,  21)
digelandang, 22) dipaksa melakukan permainan ibu-ibuan.
  Pilihan atau pemakaian istilah tersebut jelas menimbulkan bias (Winarko, 2000: 50)
Media & Politik Pemaknaan
  Politik  pemberitaan  media  berhubungan  dengan  strategi  media  dalam  meliput  peristiwa,
memilih  dan  menampilkan  fakta  serta  dengan  cara  apa  fakta  itu  disajikan—yang  secara
langsung atau tidak berpengaruh dalam merekonstruksi media. (Eriyanto, 2000)
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
24
  Makna  media  tidak  bergantung  pada  struktur  makna  itu  sendiri,  tetapi  lebih  kepada  praktik
pemaknaan. Makna adalah suatu produksi sosial, suatu praktik konstruksi.
  Media  massa  pada  dasarnya  tidak  mereproduksi,  melainkan  menentukan  (to  define)  realitas
melalui pemakaian kata-kata yang dipilih.
  Makna  tidak  secara  sederhana  bisa  dianggap  sebagai  produksi  dalam  bahasa,  tetapi  sebuah
pertentangan  sosial  (social  struggle)  sebuah  perjuangan  dalam  memenangkan  wacana.
Pemaknaan  yang  berbeda  merupakan  arena  pertarungan  tempat  memasukkan  bahasa
didalamnya. (Hall, 1982: 67).
Bahasa Sebagai Sistem Simbol
  Proses  komunikasi  sebenarnya  mencakup  pengiriman  pesan  dari  sistem  saraf  seseorang
kepada sistem saraf orang lain, dengan maksud untuk menghasilkan sebuah makna yang sama
dengan yang ada dalam benak sipengirim. Pesan verbal melakukan hal tersebut melalui katakata, yang merupakan unsur dasar bahasa, dan kata-kata sudah jelas merupakan simbol verbal.
(Tubbs & Moss, 1994: 66)
  Bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis sehingga bisa digunakan sebagai
alat  komunikasi.  Kata  itu  sendiri  merupakan  bagian  integral  dari  simbol  yang  dipakai  oleh
kelompok masyarakat. Oleh karena itu kata bersifat simbolis. (Wibowo, 2001: 3-4)
Teori Wacana dalam Tradisi Filsafat
  Aliran strukturalisme berpendapat bahwa arti bahasa tidak tergantung dari maksud pembicara
atau  pendengar  ataupun  dari  referensinya  pada  kenyataan  tertentu;  arti  bergantung  pada
struktur makna itu sendiri.
  Yang dimaksud struktur disini ialah jaringan hubungan intern elemen-elemen terkecil bahasa
yang membentuk suatu kesatuan otonom yang tertutup. (Hjelmslev, dalam Kleden, 1997: 34).
Pendekatan Analisis Wacana
  Pertama,  Analisis  wacana  seluruhnya  mengenai  cara-cara  wacana  disusun,  prinsip  yang
digunakan  oleh  komunikator  untuk  menghasilkan  dan  memahami  percakapan  atau  tipe-tipe
pesan lainnya.
  Kedua, Analisis wacana dipandang sebagai aksi, cara melakukan segala hal dengan kata-kata.
  Ketiga,  Analisis  wacana  adalah  suatu  pencarian  prinsip-prinsip  yang  digubakan  oleh
komunikator aktual dari perspektif mereka. (Littlejohn, 1996: 84-85).
Wacana Tulis, Teks & Konteks
  Tulisan  bukan  cuma  sekedar  “literal  pictographic”  atau  sekedar  inskripsi  yang  bersifat
ideografik,  tetapi  tulisan  dapat  merupakan  suatu  totalitas,  termasuk  kemampuannya  untuk
melampaui  apa  yang  hanya  bisa  ditunjuk  secara  fisik.  (Derrida  1984,  dalam  KledenProbonegoro, 1998).
  Teks  adalah  fiksasi  atau  pelembagaan  sebuah  peristiwa  wacana  lisan  dalam  bentuk  tulisan.
(Hidayat, 1996:129).
  Konteks  memasukkan  semua  situasi  dan  hal  yang  berada  diluar  teks  dan  mempengaruhi
pemakaian  bahasa,  seperti  partisipan  dalam  bahasa,  situasi  dimana  teks  tersebut  diproduksi,
fungsi yang dimaksudkan, dsb. (Eriyanto, 2001: 9).
Konteks
  Konteks Fisik  (physical context),  yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam
suatu komunikasi, objek  yang  disajikan  dalam suatu peristiwa komunikasi  itu, dan tindakan
atau peilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu.
  Konteks  Epistemis  (epistemic  context),  yaitu  latar  belakang  pengetahuan  yang  sama-sama
diketahui oleh pembicara maupun pendengar.
  Konteks Linguistik (linguistic context), yaitu terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan
yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi.
  Koteks Sosial (social context),  yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan
antara pembicara (penutur) dengan pendengar. (Syafi’ie, 1990, dalam Lubis, 1993: 58).
Wacana dan Ideologi
  Implikasi ideologi terhadap wacana; 1) ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal
atau  individual,  ia  membutuhkan  share  diantara  anggota  kelompok,  organisasi  atau
kolektifitas, 2) ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal diatara anggota
kelompok atau komunitas.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
25
  Wacana  tidak  bisa  menempatkan  bahasa  secara  tertutup,  tetapi  harus  melihat  konteks,
terutama  bagaimana  ideologi  dari  kelompok-kelompok  yang  ada  tersebut  berperan  dalam
membentuk wacana.
  Dalam teks berita misalnya, dapat dianalisis apakah teks yang muncul tersebut pencerminan
dari ideologi seseorang, apakah feminis, kapitalis, sosialis, dsb. (Eriyanto, 2001: 13-14).
Karakteristik Analisis Wacana
  Pertama, dalam analisisnya analisis wacana lebih bersifat kualitatif dibandingkan analisis isi
yang umumnya kuantitatif.
  Kedua, analisis isi kuantitatif pada umumnya hanya  digunakan untuk membedah muatan teks
komunikasi  yang  bersifat  manifest  (nyata),  analisis  wacana  berpretensi  memfokuskan  pada
pesan latent (tersembunyi).
  Ketiga, analisis  isi kuantitatif  hanya dapat mempertimbangkan  “apa yang  dikatakan”  (what)
tetapi tidak dapat menyelidiki “bagaimana ia dikatakan” (how).
  Keempat,  analisis  wacana tidak berpretensi  melakukan  generalisasi. Karena peristiwa selalu
bersifat  unik,  karena  itu  tidak  dapat  diperlakukan  prosedur  yang  sama  untuk  isu  dan  kasus
yang berbeda. (Eriyanto, 2001: 337-341).
Kerangka Analisis Wacana (Elemen Wacana Van Dijk)
Struktur wacana  Hal yang diamati  Elemen
Super Struktur  TEMATIK
(Apa yang dikatakan?)
Topik
Struktur Makro
SKEMATIK
(Bagaimana pendapat disusun
dan dirangkai?)
Skema
Struktur Mikro
SEMANTIK
(Makna yang ingin ditekankan
dalam teks berita)
Latar, detail, maksud,
praanggapan, nominalisasi
Struktur Mikro
SINTAKSIS
(Bagaimana pendapat
disampaikan?)
Bentuk kalimat,
koheresi, kata ganti
Struktur Mikro  STILISTIK
(Pilihan kata apa yang dipakai?)
Leksikon
Struktur Mikro
RETORIS
(Bagaimana dan dengan cara apa
penekanan dilakukan?)
Grafis, metafora, ekspresi
Elemen-elemen Struktur Wacana
  Tematik:  Informasi  yang  paling  penting  atau  inti  pesan  yang  ingin  disampaikan  oleh
komunikator.
  Skematik: dalam konteks penyajian berita ada dua kategori skema besar, 1)  Summary; yang
ditandai judul (head line) & teras berita (lead), 2) Story; isi berita secara keseluruhan.
  Semantik:  makna tertentu dalam suatu bangunan teks, dimensi teks, presupposition,  makna
yang  implisit atau eksplisit,  makna  yang sengaja  disembunyikan. Struktur wacana juga bisa
menggiring kearah tertentu dari suatu peristiwa.
  Sintaksis:  seluk  beluk  wacana,  kalimat,  klausa  dan  frase.  Dianalisis  dari  koherensi,  bentuk
kalimat, kata ganti.
  Stilistik:  gaya  bahasa  yang  digunakan  penulis  untuk  menyampaikan  maksudnya.  Peristiwa
yang sama dapat digambarkan  dengan pilihan  kata yang berbeda-beda. Pilihan  leksikal  atau
diksi  pada  dasarnya  menandakan  bagaimana  seseorang  melakukan  pemilihan  kata  atai  frase
atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia.
  Retoris: gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis. Misalnya hiperbolik
(pemakaian  kata  yang  berlebihan),  repetisi  (pengulangan),  aliterasi  (pemakaian  kata  seperti
sajak),  interaksi  (bagaimana  penulis  menempatkan  diri  diatara  khalayak),  metafora  (makna
kiasan) visual image (membuat anggapan).
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
26
Penjelasan:
Yang diamati  Elemen
TEMATIK    TOPIK: Informasi paling penting, inti pesan yang ingin disampaikan
oleh komunikator
SKEMATIK    HEAD LINE: Judul berita utama (to attrack the reader)
  LEAD: Teras berita terletak pada paragraf pertama, bagian paling pokok
dalam berita
  STORY: Isi berita secara keseluruhan; 1) situasi, yakni proses jalannya
peristiwa, a] kisah utama dari peristiwa, b] latar untuk mendukung kisah
utama dipakai untuk memberi konteks, 2) komentar, yang ditampilkan
dalam teks, komentar dari pihak yang terlibat dengan peristiwa itu, a]
reaksi/ komentar verbal dari tokoh yang dikutip wartawan, b]
kesimpulan yang diambil wartawan dari berbagai tokoh.
SEMANTIK    LATAR: Latar belakang peristiwa, hendak kemana makna suatu teks
dibawa (Ex: Perselisihan politik, Krisis ekonomi, Konflik)
  DETAIL: Apakah sisi informasi tertentu diuraikan secara panjang atau
tidak
  ILUSTRASI: Apakah sisi informasi tertentu disertai contoh atau tidak
  MAKSUD: Apakah teks itu disampaikan secara eksplisit atau implisit
  PRESUPPOSITION: Pernyataan yang digunakan untuk mendukung
makna suatu teks
  PENALARAN: Elemen yang digunakan untuk memberi basis nasional,
sehingga teks tampak benar dan meyakinkan.
SINTAKSIS    KOHERENSI: Kata hubungan yang dipakai untuk menghubungkan
fakta/ proposisi (Ex: Peristiwa penjarahan massal, “karena tingkat
pendidikan mereka rendah”—dapat memberi kesan bahwa rendahnya
pendidikan yang menyebabkan  mereka melakukan penjarahan.
  NOMINALISASI: Sugesti kepada khalayak dengan generalisasi
  ABSTRAKSI: Apakah komunikator memandang objek sebagai suatu
yang tunggal berdiri sendiri/ sebagai suatu kelompok (komunitas)
  BENTUK KALIMAT: Makna yang dibentuk oleh susunan kalimat,
dengan cara berfikir logis (prinsip kausalitas). Dalam kalimat berstuktur
aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, dalam kalimat pasif,
seseorang menjadi objek dari pernyataannya.
  PROPOSISI: Proposisi diatur dalam satu rangkaian kalimat. Prosisi
mana yang ditempatkan diawal, dan mana yang diakhir kalimat.
Penempatan itu dapat mempengaruhi makna yang timbul dan
menunjukkan bagian mana yang lebih ditinjokan kepada khalayak.
  KATA GANTI: Kata ganti timbul untuk menghindari pengulangan  kata
(anteseden) dalam kalimat berikutnya. Dalam analisis wacana kata ganti
merupakan alat yang dipakai komunikator untuk menunjukkan dimana
posisi seseorang dalam wacana. (Ex: saya, kami, kita)
STILISTIK    STYLE: Cara/ gaya bahasa yang digunakan seseorang untuk
menyatakan maksudnya. Ciri-ciri penggunaan bahasa yang khas,
kecenderungannya untuk secara konsisten menggunakan struktur bahasa
tertentu, gaya bahasa pribadi seseorang.
  PILIHAN LEKSIKAL/ DIKSI: Bagaimana seseorang melakukan
pemilihan kata atau frase atas berbagai kemungkinan frase yang tersedia.
Pilhan kata/ frase yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologi tertentu.
Peristiwa yang sama dapat digambarkan dengan pilihan kata yang
berbeda-beda. (Ex: Terorisme—pembela kebenaran, Pembunuhan—
kecelakaan, Meninggal—mati, tewas, gugur, meninggal, terbunuh,
menghembuskan nafas terakhir).
RETORIS    RETORIKA: Gaya yang diungkapkan penulis, apakah menggunakan
kata yang berlebihan (hiperbolik), atau retoris persuasif, apakah
menggunakan pengulangan untuk penegasan makna (repetisi), apakah
kata-kata sepeti sajak (aliterasi), apakah menggunakan retoris ejekan
(ironi), atau menggunakan majas untuk menggantikan nama yang ada
hubungannya dengan nama yang digantikan (metonimia).
  INTERAKSI: Bagaimana pembicara/ penulis menempatkan/
memposisikan dirinya diantara khalayak, apakah memakai gaya formal,
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
27
informal atau santai yang menunjukkan kesan bagaimana ia
menampilkan dirinya.
  EKSPRESI: Bagaimana ekspresi maksud penulis untuk membantu
menonjolkan atau menghilangkan bagian tertentu dari teks yang
disampaikan. Dalam teks tertulis, ekspresi ini muncul misalnya dalam
bentuk grafis, gambar foto, raster atau tabel untuk mendukung gagasan
atau untuk bagian lain yang tidak ingin ditonjolkan.
  METAFORA: Apakah ada kiasan, ungkapan, orna men atau bumbu dari
suatu teks. Metafora dipakai oleh komunikator secara strategis sebagai
landasan berfikir, alasan pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu
kepada publik.
  VISUAL IMAGE: Dalam teks, elemen ini ditampilkan dengan
penggambaran detail bebera hal yang ingin ditonjolkan. (Ex: Tentang
pentingnya peran kelompok tertentu dalam masyarakat, dan sebagai
konsekuensinya, memarginalkan kelompok lain yang menjadi lawannya,
saingannya, atau kelompok yang akan mengancam eksistensi dan peran
kelompok yang menjadi pilihannya.[]
APPENDIKS: ANALISIS WACANA MEDIA (MEDIA DISCOURSE ANALYSIS)
Prawacana
Mempelajari media merupakan tantangan yang menarik tanpa pernah habis dimakan waktu,
bahkan  cukup  banyak  penelitian  sebelumnya  yang  berkutat  pada  permasalahan  seputar  media.
Beberapa  diantaranya  mengangkat  tema  yang  menarik,  atau  sudut  pandang  permasalahan  yang
berbeda.  Akhirnya  penulis  menjatuhkan  pilihan  pada  konstruksi  wacana  media  dengan  paradigma
kritis.
Analisis  Wacana  Kritis  media,  merupakan  bentuk  kesimpulan  dari  sudut  pandang  yang
penulis kemukakan  mengenai  media, yang bersentuhan  dengan perihal analisis  isi, analisis framing,
wacana,  maupun  semiotika.dilihat  dari  wujud  kekuasaan,  bentuk  hegemoni  serta  dampak  idiologi
dominan  yang  tersampaikan  dalam  teks.  Namun  penulis  juga  mulai  memahami  bahwa  kemampuan
masyarakat  dalam  memilah  media  serta  mengartikan  makna,  menjadi  semacam  perisai  yang
membatasi  terpaan-terpaan  informasi  dari  berbagai  media.  Tentunya  sebagai  bagian  dari  pelaku
akademik,  penulis  hanya  berupaya  memenuhi  tuntutan  dalam  usaha  untuk  lebih  memahami  fungsi
serta peran media, dan memperlihatkan wacana idiologi media kepada masyarakat sebagai bagian dari
alur mediasi pembentukan realitas melalui teks berita.
Penulisan ini dimaksudkan sebagai salah satu referensi dalam penulisan karya ilmiah mengenai
media  yang  mengarah  pada  paradigma  kritis,  dengan  tujuan  mengkritisi  konstruksi  wacana  media
yang selama ini  menjadi  wadah  idealisme pelaku  media.   Penulis berharap dapat lebih jauh  melihat
kekuasaan  terhadap  teks,  dan  menemukan  konsep  yang  menarik  perihal  kekuatan  media,  serta
mengungkap makna yang tersembunyi dengan pandangan kritis terhadap wacana media.
Munculnya  analisis  wacana,  khususnya  dalam  bidang  analisis  teks  media  melahirkan
berbagai varian analisis yang pada akhirnya memunculkan persinggungan antara model analisis yang
satu  dengan  yang  lain.  Analisis  model  teks  media  versi  Norman  Fairclogh  dan  Teun  A  Van  Dijk
misalnya, keduanya menekankan analisis teks berdasarkan konteks sosial. Dalam versi Indonesia teori
analisis  teks  media  disadur  cukup  baik  oleh  Eryanto.  Dalam  buku  Eryanto  memaparkan  berbagai
kompilasi  model  analisis  teks  media  dari  berbagai  perspektif  yang  dikemukakan  Foulcault,  Roger
Fowler,  Theo van Leeuwen, Sara Mills, Teun A Van Dijk, dan Norman Fairclouch dengan contoh teks
surat  kabar  Indonesia.  Pemahaman  perspektif  teks  media  juga  diteliti  oleh  Suroso  yang  memetakan
empat macam perspektif media Indonesia yang pro masyarakat, negara, yang lain, dan netral.
Landasan Teori: Tiga Paradigma Analisis Wacana
Istilah  analisis  wacana  adalah  istilah  umum  yang  dipakai  dalam  banyak  disiplin  ilmu  dan
dengan  berbagai  pengertian.  Dalam  studi  linguistic,  wacana  menunjuk  suatu  kesatuan  bahasa  yang
lengkap, yang umumnya lebih besar dari kalimat, baik disampaikan secara lisan atau tertulis. Wacana
adalah rangkaian kalimat yang serasi yang menghubungkan proporsi satu dan yang lain, kalimat satu
dengan yang lain, membentuk satu kesatuan. Kesatuan bahasa itu bisa panjang, bisa pendek. Sebagaai
sebuah teks, wacana bukan urutan kalimat yang tidak memmpunyai ikatan sesamanya, bukan kaliamat
yang dideretkan begitu saja.
Analisis  wacana  berhubungan  dengan  studi  mengenai  bahasa/pemakaian  bahasa.  Untuk
menjelaskan  lebih  lanjut  tentang  analisis  wacana,  kita  perlu  bertanya  Bagaimana  bahasa  dipandang
dalam analisis wacana?.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
28
Dalam  hal ini,  A.S Hikam  menyampaikan adanya tiga paradigma analisis  yang  digunakan
untuk  melihat  bahasa.  Ketiga  paradigma  analisis  wacana  ini  yang  akan  mendapatkan  porsi  banyak
untuk di jelaskan dalam tulisan ini selanjutnya.
Pandangan pertama diwakili  oleh  kaum Positivisme  -  Empiris. Penganut aliran ini  melihat
bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek yang ada di luar dirinya. Pengalaman manusia
dianggap  dapat  secara  langsung  diekspresikan  melalui  penggunaan  bahasa  tanpa  ada  kendala  aatau
distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan menggunakan pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan
memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu cirri dari pemikiran ini adalah pemisahan
antara  ide/pemikiran  dan  realitas.  Dalam  kaitannya  dengan  analisis  wacana,  konsekuensi  logis  dari
pemahaman  ini  adalah  oranng  tidak  perlu  mengetahui  makna-makna  subjektif  atau  nilai  yang
mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar
menurut  kaidah  sintaksis  dan  seemantik.  Oleh  karena  itu,  kebenaran  sintaksis  (tata  bahasa)  adalah
bidang utama dari aliran positivisme tentang wacana.
Sebagaimana  yang  telah  dijelaskan  di  atas,  titik  perhatian  utama  aliran  positivisme
didasarkan pada benar tidaknya bahasa itu secara gramatikal. Istilah yang sering disebut adalah kohesi
dan  koherensi.  Wacana  yang  baik  selalu  mengandung  kohesi  dan  koherensi  di  dalamnya.  Kohesi
merupakan  keserasian  hubungan  antar  unsur-unsur  dalam  wacana,  sedangkan  koherensi  merupakan
kepaduan wacana sehingga membawa ide tertenti yang dipahami oleh khalayak.
Pandangan  kedua  dalam  analisis  wacana  adalah  Konstruktivisme.  Pandangan  ini  banyak
dipengaruhi  oleh  pemikiran  fenomenologi.  Aliran  ini  menolak  pandangan  positivisme/empirisme
dalam  analisis  wacana  yang  memisahkan  subyek  dan  objek  bahasa.  Dalam  pandangan
konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka
yang  dipisahkan  dari  subjek  sebagai  penyampai  pernyataan.  Konstruktivisme  justru  menganggap
bahwa subjek adalah aktor utama atau faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan
sosialnya.
Dalam hal ini, mengutip A.S Hikam yang mengatakan bahwa, subjek memiliki kemampuan
melakukan  kontrol  terhadap  maksud-maksud  tertentu  dalam  setiap  wacana.  Bahasa  yang  dipahami
dalam  paradigma  ini  diatur  dan  dihidupkan  dalam  pernyataan-pernyataan  yang  bertujuan.  Setiap
pernyataan  pada  dasarnya  dalah  penciptaan  makna,  yakni  tindakan  pembentukan  diri  serta
pengungkapan jatidiri dari sang pembicara.
Oleh  karena itu, analisis  wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis  yang  membongkar makna
dan  maksud-maksud  tertentu.  Wacana  adalah  suatu  upaya  pengungkapan  maksud  tersembunyi  dari
sang subjek yang memngemukakan suatu pernyataan.pengungkapan itu dilakukan diantaranya dengan
menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang
pembicara.
Pandangan ketiga disebut pandangan kritis. Pandangan ingin mengoreksi pandangan pandangan
konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi ssecara
historis  maupun  secara  institusional.  Seperti  ditulis  A.S  Hikam,  pandanga  konstruktivisme  masih
belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inhern dalam setiap wacana, yang pada
gilirannya  berperan  dalam  membentuk  jenis-jenis  subjek  tertentu  berikut  perilaku-perilakunya.hal
inilah yang melahirkan paradigma kritis.
Analisis  wacana tidak  dipusatkan pada kebenaran atau ketidakbenaran  struktur tata bahasa
atau  proses  penafsiran  seperti  pada  pandangan  konstruktivisme.  Analisis  wacana  dalam  paradigma
kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.
Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan
pikiran-pikirannya, karena sangat berhubungan  dan  dipengaruhi  oleh  kekuatan-kekuatan sosial yang
adal dalam masyarakat. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri
si pembicara.
Bahasa  dalam  pandangan  kritis  dipahami  sebagai  representasi  yang  berperan  dalam
membentuk subjek tertentu, tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu,
analisis  wacana  digunakan  untuk  membongkar  kuasa  yang  ada  dalam  setuap  proses  bahasa  seperti,
batasan-batasan  apa  yang  diperkenankan  menjadi  wacana,  perspektif  yang  mesti  dipakai,  topik  apa
yang  dibicarakan.Dengan  pandangan  semacam  ini,  wacana  melihat  bahasa  selalu  terlibat  dalam
hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang
terdapat  dalam  masyarakat.  Karena  memakai  perspektif  kritis,  (paradigma)  analisis  wacana  yang
ketiga ini sering juga disebut Critical Discourse Analysis/CDA.
Pembahasan
Tulisan  ini  ingin  mendeskripsikan  model  analisis  Wacana  Teun  A  van  Dijk  yang  dalam
banyak hal diteruskan model analisisnya oleh  Norman Fairclouch. Untuk memperkaya bahan analisis
juga disinggung pemahaman  wacana dan ideologi  dalam pers   Roger Fowler,  dengan  kasus analisis
surat kabar Indonesia pasca era reformasi.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
29
Analisis Wacana Model Teun Van Dijk
Menurut Van Dijk, penelitian analisis wacana tidak cukup hanya didasarkan   pada analisis
teks  semata,  karena  teks  hanya  hasil  dari  suatu  praktik  produksi.  Pemahaman  produksi  teks  pada
akhirnya  akan  memperoleh  pengetahuan  mengapa  teks  bisa  demikian.  Van  dijk  juga  melihat
bagaimana  struktur  sosial,  dominasi,  dan  kelompok  kekuasaan  yang  ada  dalam  masyarakat  dan
bagaimana  kognisi/pikiran  dan  kesadaran  yang  membentuk  dan  berpengaruh  terhadap  teks-teks
tertentu.
Pada  rejim   Soeharto  misalnya  konsolidasi  kekuasaan  dilakukan  melalui  bahasa  dengan
beberapa  cara.  Pertama,  penghalusan  konsep-konsep  dan  pengertian  yang  bersentuan  dengan
kekuasaan.  Penghalusan  ini  untuk  melenyapkan  konsep  yang  membahayakan  Orde  Baru.
Pemasyarakatan   kata  masa  bakti,  persatuan  dan  kesatuan,   ketahanan  nasional,  rawan  pangan,
daerah  tertinggal,  pengentasan  kemiskinan,  negara  hukum,  dll.  Rawan  pangan  lebih  baik  dari
kelaparan  dan  masa  bakti  lebih  baik  dari  masa  jabatan.  Kedua,  memperkasar,  bertujuan  untuk
menyudutkan kekuatan lain yang dapat mengancam kekuasaan. Pemroduksian kata-kata  SARA, GPK,
subfersif, bersih diri, ekstrim kanan, ekstrim kiri, golongan frustasi, OTB (organisasi Tanpa Bentuk),
anti Pancasila. Kata-kata  itu berdampak buruk pada golongan  oposisi.  Ketiga, penciptaan kata-kata
yang bisa mengerem  dan  menurunkan  emosi  masyarakat. Kata-kata ini sering  diambil  dari leksikon
bahasa  Jawa,  misalnya  mendhem  jero  mikul  dhuwur,   jer  basuki  mawa  bea,  lengser  keprabon  dan
pemakian  kata  yang  referensinya  tidak  jelas  sperti  demi  kepentingan  umum,  mengencangkan  ikat
pinggang,  dll.  Keempat, penyeragaman istilah. Hal ini dilakukan oleh pejabat dan birokrat, misalnya
SDSB  bukan  judi,  darah  pengacau  halal  hukumnya,  siapa  pun  boleh  mendirikan  partai  baru,  dll.
Kelima, eufemisme bahasa. Pemakaian kalimat  “Keterlibatan 7 oknum Kopasus merupakan pil pahit”
utang  diganti  dengan  bantuan  luar  negeri,  pelacur  diganti  dengan  pekerja  seks  komersial,  penjara
menjadi lembaga pemasyarakatan, dst.
Wacana digambarkan oleh Van Dijk mempunyai tiga dimensi/bangunan yaitu teks, kognisi
sosial, dan konteks sosial. Inti analisis model van Dijk adalah menggabungkan tiga dimensi wacana
tersebut   dalam satu kesatuan analisis.  Dimensi teks  yang diteliti  adalah bagaimana struktur teks dan
strategi  wacana   yang  dipakai  untuk  menegaskan  suatu  tema  tertentu.  Pada  level  kognisi  sosial
dipelajari   proses  produksi  teks  berita  yang  melibatkan  kognisi  individu  dari  wartawan.   Sedangkan
aspek  konteks   mempelajari  bangunan  wacana   yang  berkembang  dalam  masyarakat  akan  suatu
masalah.  Analisis  van  Dijk  menghubungkan  analisis  tekstual  ke  arah  analisis  yang  komprehensif
bagaimana teks diproduksi, baik dalam hubungannya  dengan individu wartawan dan masyarakat.
Representasi Peristiwa dalam Berita menurut Theo Van Leeuwen
Membicarakan sebuah makna tersirat dari sebuah berita tidak lepas dari bagaimana sebuah
teks hadir atau dihadirkan menjadi sebuah kalimat. Pada berita cetak, suatu berita yang telah diamati
oleh  seorang  wartawan  kemudian  direpresetasikan  kedalam  teks  berita,  dalam  proses  representasi
berita  yang  berbentuk  suatu  kejadian  tertentu  menjadi  susunan  teks,  dapat  diperhatikan  bagaimana
seorang wartawan  menyampaikan  sebuah kenyataan, pembaca berita dapat memperhaikan bagaimana
suatu kelompok mendominasi wacana dalam berita tersebut.
Mendominasi wacana yang dimaksudkan adalah, adanya kekuatan yang dimiliki oleh sebuah
kelompok  untuk  memegang  kendali  penafsiran  pembaca  dari  sebuah  berita.  Dominasi  yang  terjadi
dalam teks berita berbentuk sebuah pencitraan media terhadap pelaku dan korban dalam sebuah berita.
Misalnya, kaum buruh, tani, pengemis, anak jalanan  adalah golongan yang  meresahkan  masyarakat.
Atau demonstrasi mahasiswa yang marak bisa menjadi contoh, bahwa  mahasiswa dihadirkan dengan
image  bahwa  mereka  adalah  kelompok  yang  anarkis,  sering  merusak  dan  senang  membuat  rusuh.
Segala bentuk pencitraan seperti itu dilakukan hanya dengan merepresentasikan suatu kejadiaan yang
benar terjadi menjadi susunan teks dengan pilihan kata dan bentuk kalimat.
Dalam  Analisis Wacana, Eriyanto  menyampaikan bahwa salah satu agen terpenting  dalam
mendefinisikan  kelompok  adalah  media.  Lewat  pemberitaan  yang  terus  menerus  disebarkan,  media
secara tidak langsung membentuk pemahaman dan kesadaran di kepaala khalayak mengenai sesuatu.
Wacana  yang  dibuat  oleh  media  itu  bisa  jadi  melegitimasi  suatu  hal  atau  kelompok  dan
mendelegitimasi  atau  memarginalkan  kelompok  lain.  Kita  seringkali  merasa  adanya  ketidak  adilan
dalam  berita  mengenai  pemerkosaan  terhadap  wanita.  Bagaimana  pihak  yang  menjadi  korban  ini
digambarkan  secara  buruk,  sehingga  khalayak  tidak  bersimpati  dan  justru  lebih  bersimpati  kepada
laki-laki yang menjadi pelaku.
Dalam kasus seperti ini, bahwa berita di media menyampaikan sebuah wacana tertentu. Theo
van  Leeuwen  memperkenalkan  sebuah  model  dalam  analisis  wacana,  model  analisis  tersebut  untuk
mendeteksi  atau  mengetahui  bagaimana  sebuah  kelompok  hadir  sebagai  kelompok  yang
dimarginalkan.
Secara  umum,  analisis  van  Leeuwen  menampilkan  bagaimana  pihak-pihak  dan  aktor
(perorangan  atau  kelompok)  ditampilkan  dalam  pemberitaan.  Menurutnya,  terdapat  dua  titik  focus
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
30
perhatian. Pertama, proses pengeluaran (exclusion) yaitu apakah dalam suatu teks berita ada kelompok
atau  aktor  yang  dikeluarkan  dalam  pemberitaan,  yang  dimaksudkan  dengan  pengeluaran  seseorang
atau aktor dalam pemberitaan adalah, perilaku menghilangkan atau menyamarkan pelaku/aktor dalam
berita, sehingga dalam berita korbanlah yang menjadi peerhatian berita.
Proses  pengeluaran  ini  secara  tidak  langsunng  bisa  mengubah  pemahaman  khalayak  akan
suatu  isu  dan  melegitimasi  posisi  pemahaman  tertentu.  Katakanlah  dalam  berita  mengenai
“demonstrasi  mahasiswa  yang  berlangsung  ricuh  sehingga  polisi  melepaskan  tembakan,  akhirnya
seorang  mahasiswa  tewas  karena  tertembak”.  Dari  kejadian  demonstrasi  mahasiswa  di  atas,  apakah
pemberitaan  kemudian  mengeluarkan  polisi  dari  pemberitaan,  sehingga  korban  penembakan  yang
ditonjolkan  dalam  suatu  berita,  sehingga  kesan  yang  hadir  kemudian  bahwa  mahasiswa  yang
melakukan demonstrasi pantas mendapatkan tembakan hingga tewas.
Kedua adalah proses pemasukan (inclusion). Proses ini adalah lawan dari proses exclusion,
proses  ini  berhubungan  dengan  pertanyaan  bagaimana  seseorang  atau  kelompok  aktor  dalam  suatu
kejadian  dimassukkan  atau  direpresentasikan  ke  dalam  sebuah  berita.  Baik  exclusion  maupun
inclision,  terdapat  sebuah  strategi  wacana.  Dengan  menggunakan  kata,  kalimat,  informasi  atau
susunan bentuk kalimat tertentu, cara bercerita tertentu, masing-masing kelompok dirempresentasikan
ke dalam sebuah teks. Pada pembahasan selanjutnya. Akan dijelaskan lebih detai tentang bagaimana
pola kerja exclusion dan inclusion dalam representasi aktor dalam berita.
Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough
Norman  Fairclough  dikenal  dengan  pemikirannya  tentang  analisis  wacana  kritis.  Konsep
yang ia bentuk menitikberatkan pada tiga level, pertama, setiap teks secara bersamaan memiliki tiga
fungsi,  yaitu  representasi,  relasi,  dan  identitas. Fungsi  representasi  berkaitan  dengan  cara-cara  yang
dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk teks.   Kedua, praktik wacana meliputi
cara-cara para pekerja media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku
pribadi; sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja media lainnya; pola kerja media sebagai
institusi, seperti cara meliput berita, menulis berita, sampai menjadi berita di dalam media.
Ketiga,  praktik  sosial-budaya  menganalisis  tiga  hal  yaitu  ekonomi,  politik  (khususnya
berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan
identitas) yang juga mempengaruhi istitusi media, dan wacananya. Pembahasan praktik sosial budaya
meliputi tiga tingkatan Tingkat situasional, berkaitan dengan produksi dan konteks situasinya Tingkat
institusional,  berkaitan  dengan  pengaruh  institusi  secara  internal  maupun  eksternal.  Tingkat  sosial,
berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya
masyarakat secara keseluruhan.
Fairclough sebenarnya bukanlah akademisi ilmu komunikasi. Dia meminati masalah kajian
kritis wacana dalam teks berita dimulai sejak tahun 1980-an. Dia melihat bagaimana penempatan dan
fungsi  bahasa  dalam  hubungan  sosial  khususnya  dalam  kekuatan  dominan  dan  ideologi.  Faiclough
berpendapat  bahwa  analisis  wacana  kritis  adalah,  bagaimana  bahasa  menyebabkan  kelompok  sosial
yang ada bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing. Konsep ini mengasumsikan dengan
melihat  praktik  wacana  bias  jadi  menampilkan  efek  sebuah  kepercayaan  (ideologis)  artinya  wacana
dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita,
kelompok  mayoritas  dan  minoritas  dimana  perbedaan  itu  direpresentasikan  dalam  praktik  sosial.
Analisis  Wacana  melihat  pemakaian  bahasa  tutur  dan  tulisan  sebagai  praktik  sosial.  Praktik  sosial
dalam analisis wacana dipandang menyebabkan hubungan yang saling berkaitan antara peristiwa yang
bersifat melepaskan diri dari dari sebuah realitas, dan struktur sosial.
Dalam memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk
menemukan  “realitas”  di  balik  teks  kita  memerlukan  penelusuran  atas  konteks  produksi  teks,
konsumsi  teks,  dan  aspek  sosial  budaya  yang  mempengaruhi  pembuatan  teks.  Dikarenakan  dalam
sebuah teks tidak lepas akan kepentingan yang yang bersifat subjektif.
Didalam sebuah teks juga dibutuhkan penekanannya pada makna (Meaning) (lebih jauhdari
interpretasi dengan kemampuan integratif, yaitu inderawi, daya piker dan akal budi) Artinya: Setelah
kita  mendapat  sebuah  teks  yang  telah  ada  dan  kita  juga  telah  mendapat  sebuah  gambarang  tentang
teori  yang  akan  dipakai  untuk  membedah  masalah,  maka  kita  langkah  selanjutnya  adalah  kita
memadukann  kedua  hal  tersebut  menjadi  kesatuan  yaitu  dengan  adanya  teks  tersebut  kita  memakai
sebuah teori untuk membedahnya.
Kemudian  Norman  Fairclough  mengklasifikasikan  sebuah  makna  dalam  analisis  wacana
sebagai berikut:
  Translation  (mengemukakan  subtansi  yang  sama  dengan  media).  Artinya:  Pada  dasarnya  teks
media  massa  bukan  realitas  yang  bebas  nilai.  Pada  titik  kesadaran  pokok  manusia,  teks  selalu
memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang  memihak. Tentu
saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi tertentu
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
31
kelas  tertentu.  Sedangkan  sebagai  seorang  peneliti  memulainya  dengan  membuat  sampel  yang
sistematis dari isi media dalam berbagai kategori berdasarkan tujuan penelitian.
  Interpreatation  (berpegang  pada  materi  yang  ada,  dicari  latarbelakang,  konteks  agar  dapat
dikemukakan  konsep  yang lebih  jelas). Artinya: Kita konsen terhadap satu pokok permasalahan
supaya  dalam  menafsirkan  sebuah  teks  tersebut  kita  bisa  mendapat  latar  belakang  dari  masalah
tersebut  sehingga  kemudian  kita  bisa  menentukan  sebuah  konsep  rumusan  masalah  untuk
membedah masalah tersebut.
  Ekstrapolasi  (menekankan  pada  daya  pikir  untuk  menangkap  hal  dibalik  yang  tersajikan).
Artinya:  kita  harus  memakai  sebuah  teori  untuk  bisa  menganalisis  masalah  tersebut,  karena
degnan teori tersebut kita bisa dengan mudah menentukan isi dari teks yang ada
  Meaning  (lebih jauh dari interpretasi dengan kemampuan integrative, yaitu inderawi, daya piker
dan  akal  budi).  Artinya:  Setelah  kita  mendapat  sebuah  teks  yang  telah  ada  dan  kita  juga  telah
mendapat sebuah gambarang tentang teori yang akan dipakai untuk membedah masalah, maka kita
langkah selanjutnya adalah kita memadukann kedua hal tersebut  menjadi  kesatuan yaitu dengan
adanya teks tersebut kita memakai sebuah teori untuk membedahnya.
Dan  menurutnya  dalam  analisis  wacana  Norman  Fairclough  juga  memberikan  tingkatan,
seperti sebagai berikut:
  Analisis  Mikrostruktur  (Proses  produksi):  menganalisis  teks  dengan  cermat  dan  fokus  supaya
dapat  memperoleh  data  yang  dapat  menggambarkan  representasi  teks.  Dan  juga  secara  detail
aspek  yang  dikejar  dalam  tingkat  analisis  ini  adalah  garis  besar  atau  isi  teks,  lokasi,  sikap  dan
tindakan tokoh tersebut dan seterusnya.
  Analisis  Mesostruktur  (Proses  interpretasi):  terfokus  pada  dua  aspek  yaitu  produksi  teks  dan
konsumsi teks.
  Analisis Makrostruktur (Proses wacana) terfokus pada fenomena dimana teks dibuat.
Dengan demikian, menurut Norman Fairclough untuk memahami wacana (naskah/teks) kita
tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk  menemukan  “realitas”  di  balik teks  kita  memerlukan
penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi
pembuatan teks. (Sumber: Analisis Wacana/ cetakan II Februari 2009, Eriyanto).
Pendekatan terhadap Fenomena Perspektif dalam Studi Wacana
Fenomena perspektif dapat dikaji dalam tiga pendekatan yaitu  visi,   fokalisasi,  dan  empati.
Visi  adalah  penekatan  yang  lebih  mendasarkan  diri  pada  bidang  sosiologi  politik  dan  mengaitkan
kajian perspektif dengan ideologi.  Fokalisasi  merupakan pendekatan yang memasukkan teori naratif
dalam  analisisnya.  Seorang  narator  dapat  menjadi  seorang  individu  lain  yang  telah  atau  sedang
menyaksikan  peristiwa.  Pendekatan  ini  lazim  digunakan  dalam  sastra.  Wartawan  pun  dapat
menggunakan pendekatan ini dalam menulis features berita    yang dapat mengungkapkan unsur emosi
yang bersifat sugestif dan reflektif.. Pendekatan  empati  mendasarkan diri pada bidang psikolinguistik.
Pembicara  mengenalkan  seseorang  atau  objek  yang  merupakan  bagian  dari  peristiwa  yang
dideskripsikan dalam kalimat.
Pengkajian  perspektif  (kekuasan)  dalam  surat  kabar  Indonesia   dapat  memanfaatkan
pendekatan  visi,  bertujuan  mengungkap  aspek-aspek  ideologi  yang  mendasari  dan  membentuk
perspektif  pemberitaan  surat  kabar  di  Indonesia.  Mereproduksi  pemikiran  van  Dijk  tentang  analisis
wacana  media,  berikut  dipaparkan   strategi  penyajian  informasi  (SPI)  dan  bentuk-bentuk  ekspresi
bahasa.
1. Strategi Penyajian Informasi
Dalam  wacana  tulis  atau  teks,  perspektif  dibangun  sejak  penulis  memutuskan  apa  yang  dipilih
sebagai  tema  dalam  tulisannya.  Tema  merupakan  apa  yang  dipakai  penulis  sebagai  titik  tolak
permulan  tulisannya.  Pemilihan  tema  tertentu  sebagai  titik  tolak  pembicaraan  akan  mendasari
pengembangan tulisannya lebih lanjut dan membawa konsekuensi pada masuknya informasi-informasi
tertentu, baik berupa keadaan, kejadian, atau peristiwa serta partisipan-partisipan yang relevan.
Selain  pilihan  tema,  perspektif  juga  dibangun  melalui  pemilihan  judul.   Judul  wacana  berbeda
dengan topik, judul dalam hal ini berfungsi sebagai upaya tematisasi. Upaya tematisasi menggunakan
judul  ini selain  menjadi titik tolak pengembangan  mengenai  informasi  yang relevan  dengan tulisan,
juga  memiliki  titik  tolak  membatasi  tafsiran  makna  dari  informasi  yang  dikembangkan  dalam  isi
berita. Lima judul berita tentang sekolah berprestasi dan ujian nasional (UN)   ditulis media yang sama
berikut ini memiliki perspektif berbeda.
(1)  UN Pemetaan Mutu yang Penuh Kejutan (Kompas, 10/4/07)
(2)  Mereka Punya Kiat “Menaklukkan” UN (Kompas, 11/4/07)
(3) Ujian Nasional dan Kultur Akademik (Kompas, 12/4/07)
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
32
(4) Dari Bangil untuk Indonesia …(11/4/07)
(5) Ujian Nasional
“Algojo Itu Telah Datang… (Kompas Yogya, 18/4/07)
Berdasar ke lima judul berita tersebut wartawan kompas mengajak pembaca mentertawakan
kekerasan  yang  dilakukan  oleh  negara  dengan  penyelenggaraan  UN  yang  kurang  jelas  parameter
mutunya  (1)  kurang  tepat  dalam  proses  ujiannya, (2)  salah  dalam  penilaian  proses  belajar,  (3)  dan
parameter  kemajuan  sekolah  dibandingkan  sekolah  lain,  (4)  monster  yang  menakutkan  siswa,  (5)
Demikian  juga dalam  headline  tentang  kekerasan  di IPDN, wartawan  menulis  judul berikut  dengan
pespektif yang berbeda.
(6)  IPDN Tunda Terima Praja Baru.
I Nyoman Sumaryadi Dilaporkan ke Mabes Polri (Kompas 10/4/07)
(7)  DPR Harus Ikut Selidiki IPDN
Penonaktifan Inu Kencana sebagai Pengajar Dipertanyakan IPDN  (Kompas 11/4/07)
(8)  DPRD Sulut Minta Pembubaran IPDN
Formalin Kaburkan Penyebab Kematian Cliff Muntu (Kompas, 11/4/07)    
(9)  IPDN Harus Disesuaikan UU
(10) Terpidana Kasus Kematian Wahyu Hidayat Belum Dieksekusi. (Kompas, 12/4/07)
Berdasarkan  ke  empat  judul  tersebut  pemerintah  menghentikan  tidak  menerima  praja  baru
2007/2008  menyusul  kematian  Cliff  Muntu  akibat  kekerasan  seniornya,  DPR  harus  segera  turun
tangan  menyelidiki  kekerasan  di  IPDN,  apalagi  seorang  dosen  yang  kritis  dinonaktifkan  (7),  17
anggota  DPRD  sulut  meminta  kepada  Depdagri  membubarkan  IPDN,  menyusul  kematian  Cliff
Muntu, praja asal Sulut (8), dan Depdiknas mendorong IPDN dan lembaga pendidikan lain di bawah
departemen  atau  lembaga  pemerintah  nondepartemen  menyesuaikan  diri  dengan  ketentuan  dalam
Undang-undang No 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (9)   Sedanga data (10) adalah ketakutan
siswa dalam menyongsong Unas.
2. Bentuk Bentuk Ekspresi Bahasa
Perspektif dalam produksi bahasa ternyata tidak hanya dapat diamati keberadaannya dalam
struktur wacana tetapi  dapat juga  diamati  dalam struktur yang  lebih rendah  dari  wacana. Perspektif
suatu  ideologi  dipengaruhi  secara  sistematis  pada  pemilihan  bentuk-bentuk  ekspresi  linguistik  baik
pada tatanan leksikal  (kosakata), sintaksis (kalimat)  dan wacana seperti pemakaian  kosakata, sistem
ketransitifan, struktur nominalisasi, modalitas, tindak tutur, metafora, dan struktur informasi.
a. Kosakata
Pemakaian  kosakata bukan semata persoalan teknis tetapi sebagai praktik ideologi. Pilihan
kata  dalam  suatu  teks  menandai  secara  sosial  dan  ideologis  bidang  pengalaman  yang  berbeda   dari
penulisanya  baik  berupa  nilai  eksperiental,  nilai  relasional,  dan  nilai  ekspresif.  Nilai  eksperiental
berkaitan dengan pengetahuan dan keyakinan yang dibawakan oleh kata-kata tersebut. Nilai rasional
berkaitan dengan dengan hubungan-hubungan sosial yang tercipta oleh kata tersebut.  Nilai ekspresif
berkaitan  dengan  pemilihan  atau  evaluasi  tentang  sesuatu  yang  dicerminkan  oleh  kata  tersebut.
Perkosaan  dapat  dimaknai  “memperkosa,  meniduri,  menindih,  menggagahi,  menodai,  memerawani,
dst”. Pembunuhan dapat diganti dengan “digebug”,  “dilibas”, “diamankan dan “disukabumikan”
b. Sistem Ketransitifan
Menurut  Fowler  bahasa  dipandang  sebagai  model   yang  mengubungkan  antara  objek
dan  peristiwa.  Terdapat  tiga  model   transitifitas  yaitu  transitif,  intransitive  dan  relasional.  Dalam
model  transitif  berhubungan  dengan  proses  melihat  suatu  tindakan  dan  bagian-bagian  lain  sebagai
akibat suatu tindakan. “Polisi memukul mahasiswa”  adalah bentuk transitif. Polisi sebagai aktor yang
menyebabkan  suatu  tindakan  melakukan  sesuatu  “memukul”.  Model  intransitif  s eorang  aktor
dihubungkan  dengan  suatu  proses  tetapi  tanpa  menjelaskan  atau  menggmbarkan  akibat  atau  objek
yang  dikenai.  “Polisi  menembak”,  “Polisi  mengamankan”.  Sedangkan  model  relasional
menggambarkan  sama-sama  kata  benda.  “Korban  Polisi  itu  adalah  seorang  ayah  dari  seorang
balita”.  Hubungan  juga  bersifat  atributi,  benda  dihubungkan  dengan  kata  sifat  untuk  menunjukkan
kualitas atau penilaian tertentu. Misalnya “Polisi itu sangat garang” 
Bentuk  transitif  memasukkan  suatu  pandangan  dan  sikap  penulis  yang  berbeda  tentang
peristiwa yang dilaporkan, Berikut disajikan klausa yang memiliki berbagai perspektif.
(10) Polisi menembak  mati enam demonstran
(11) Enam demosntran ditembak mati
(12) Enam demosntan tewas
(13) “Enam demosntran ditembak mati”  Ujar saksi mata
(14) Saksi mata melihat enam demosntran mati tertembak
(15) Enam mahasiswa yang tewas itu diantaranya Elang Mulya
Lesmana, Hendriawan Sie, dan Hafidin R…  
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
33
c. Struktur Nominalisasi
Nominalisasi adalah transformasi sintaksis secara radikal dalam suatu klausa, yang memiliki
konsekuensi struktural yang luas dan memberikan kesempatan menyampaikan ideologi. Dalam bahasa
Indonesia  predikat  verba  direalisasikan  secara  sintaksis   menjadi  nomina.  Salah  satunya  dilakukan
dengan  memberi  imbuhan  “pe-an”.  Kata  memperkosa  menjadi  perkosan,  membunuh  menjadi
pembunuhan, menembak menjadi penembakan.   Contoh berikut ini memiliki perspektif berbeda:
(16) Seorang ayah memperkosa anak gadisnya sendiri yang berusia 12 tahun.
(17) Perkosaan  menimpa anak gadis yang beru berumur 12 tahun.
(18) Polisi menembak secara membabi-buta dalam insiden Semanggi
(19) Penembakan secara membabi buta terjadi dalam insiden Semanggi. 
d. Modalitas
Modalitas diartikan sebagai komentar atau sikap yang berasal dari teks, baik secara eksplisit atau
implisit diberikan oleh penulis terhadap apa yang dilaporkan, yakni keadaan, peristiwa, dan tindakan.
Modalitas memiliki peluang besar untuk digunakan jurnalis dalam membangun perspektif pemberitaan
yang mempengaruhi opini pembaca. Dengan modalitas, penulis dapat memasukkan pandangan pribadi
atau  institusinya  ke  dalam  proposisi  yang  ditulisnya  melalui  pilihan  modalitas.  Modalitas  sebagai
komentar atau sikap penulis yang tertuang dalam teks dibagi menjadi empat yaitu (1) kebenaran, (2)
keharusan, (3) izin, (4) keinginan. Contoh berikut modalitas yang menyiratkan pespektif pemberitaan.
(20) Tommy Soeharto harus ditangkap
(21) Tommy Soeharto seharusnya ditangkap
(22) Tommy Soeharto bisa ditangkap
(23) Tommy Soeharto mungkin ditangkap
(24) Tommy Soeharto tidak akan tertangkap
(25) Tindakan penangkapan Tommy Soeharto dinilai sangat tepat
Pemakaian  modalitas  harus,  seharusnya,  dan  sangat  tepat  pada  (20),  (21),  dan  (25)
menunjukkan  dukungan  tindakan  yang  tercermin  dalam  proposisi.  Sementara  (22)  dan  (23)
memperlihatkan sikap netral bila dibandingkan dengan  (20), (22) dan (25)
e. Tindak Tutur
Bentuk  ekspresi  bahasa  yang  dapat  digunakan  untuk  menunjukkan  perbedaan  perspektif
adalah  elemen-elemen  interpersonal  seperti  tindak  tutur  (Speech  acts).  Pandangan  yang  melandasi
tindak tutur, jika orang mengatakan sesuatu, orang akan melakukan sesuatu untuk tuturan itu. Hal itu
merupakan aspek dalam fungsi interpersonal bahasa.  Contoh (26) dan (27) berikut dapat menjelaskan
tindak tutur yang  dapat menimbulkan perspektif berbeda.   (26) Ada unjuk rasa,  (27) Kongres  Umat
Islam  merekomendasikan  presiden  dan  wapres  mendatang  harus pria,  beriman,  dan  bertaqwa  (Jawa
Pos, 7/11/8).  
Pada  tuturan  (26)  dituturkan  oleh  seorang  polisi,  tidak  sekedar  menginformasikan
sesuatu,tetapi juga berfungsi sebagai perintah ke lokasi untuk pengamanan.  Hal itu berbeda maknanya
jika  dituturkan  oleh  mahasiswa  di  kampus, ujaran itu bukan  informasi tetapi ajakan. Demikian pula
dalam  (27),  bagi  mereka  yang  mengikuti   perkembangan  pasca  Pemilu  1999,  maka  dengan  cepat
dapat  menangkap  bahwa  ilokusi  yang  tersirat  yang  menghambat  megawati  Soekarno  Putri  maju
menjadi presiden.
f. Metafora
Menurut  Aristoteles  seperti  yang  dikutib  Abdul  Wahab,   metafora  merupakan  ungkapan
kebahasaan yang  menyatakan   uangkapan kebahasaan yang  menyatakan hal-hal  yang bersifat umum
untuk hal-hal yang bersifat khusus dan sebaliknya. Metafora digunakan  sebagai ungkapan kebahasaan
yang  maknanya  tidak  bisa  dijangkau  secara  langsung   dari  lambang  karena  makna  yang  dimaksud
terdapat  pada  predikasi  ungkapan  kebahasaan  itu.  Artinya,  metafora   merupakan  pemahaman
pengalaman  sejenis  hal  yang  dimaksudkan  untuk  perihal  lain.  Metafora  digunakan  jurnalis  untuk
membangun perspektif dalam surat kabar. Berikut adalah contoh metafora yang dapat menimbulkan
perspektif berbeda
(28)  Gelombang  mahasiswa  mendatangi  Gedung  DPR  Senayan  mendesak  agar  anggota  dewan  ikut
mengusut 4 mahaiswa yang ditembak di Universita Trisakti
(29)   Ibarat  pemain  sepakbola,  saat  ini  penyelesaian  utang  PT  Garuda  Indonesia  sudah  memasuki
injury time, tinggal menunggu peluit panjang.
Metaforik gelombang untuk menggambarkan laut yang bergulung-gulung dan menakutkan,
metaforik injury time menggambarkan sedikitnya waktu PT Garuda Indonesia untuk melunasi utang.
(30) Debitor Nakal Perlu Dicekal
(31) Amin, Gus Dur, Hamzah, dan Nur Mahmudi Bertemu
Mereka Bahas “Buah Simalakama” Mega
Kata  nakal  dalam  (30)  memiliki  adanya  tiga  kesamaan  sifat  nakal  yaitu  (1)  masih  kanakkanak, sehingga kurang mampu membedakan mana yang  benar dan mana yan salah, (2) sudah tahu
aturan  yang  sudah  disepakati  tetapi  tetap  saja  melanggar,   (3)  sudah  dinasihati  tetapi  tidak
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
34
memperbaiki. Demikain dengan “buah simalakama”, jika Megawati terpilih menjadi presiden keadaan
belum  tentu  bertambah  baik.  Sebaliknya  jika  Megawati  tidak  terpilih  akan  berpotensi  buruk.  Bagi
partai berbasis massa Islam  perempuan memang tidak diijinkan menjadi pemimpin.
Kita perlu memahami praktik diskursif dari komunitas pemakai bahasa yang disebut sebagai
order of discourse.   Ketika menganalisis teks berita Sebelum dimensi tersebut dianalisis perlu melihat
dulu  oder  of  discourse,  apakah  bentuknya  hardnews,  features,  artikel,  atau  editorial.  Ini  akan
membantu peneliti  untuk memaknai teks, produksi teks, dan konteks sosisal  dari teks yang dihasilkan.
Order  of  discourse  secara  sederhana   seperti  layaknya  pakaian:  pakaian  di  kantor  berbeda  dengan
pakaian tidur dan pakaian renang. Pemakaian bahasa menyesuaikan dengan praktik diskursif di tempat
mana ia berdada, ia tidak bebas memakai bahasa. 
Paparan  berikut  ini  merupakan  contoh    manifestasi  perspektif  pemberitaan  surat  kabar
Indonesia  dalam  bentuk  ekspresi  bahasa.  Data  diambil  dari  berita  media  pasca  reformasi,  Mei-Juli
1999, satu tahun runtuhnya rejim Soeharto.
Pilihan Kata
Berikut dicontohkan pilihan kata tentang “penyelidikan harta mantan Presiden Soeharto Rp
120 triliun di Bank Swiss”
(32)     Pakar hukum pidana dari Univesitas Gadjah Mada   Yogyakarta, Prof. Dr. Bambang Purnomo,
S.H. menilai langkah Habibie mengirim Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman ke Swiss dan Austria
untuk menyelidiki kebenaran harta Soeharto tidak akan efektif karena diumumkan secara terbuka.
(33)     Ketua  Gempita  (Gerakan  Peduli  Harta  Negara_  Dr.  Albert  Hasibuan,  S.H.  merasa  pesimis
pemerintah sekarang bisa mengusut dan mengadili mantan Presiden Soeharto.
(34)   Berbagai kalangan pesimis, dengan hasil yang bakal dicapai oleh Tim yang dipimpin oleh Jaksa
Agung Andi Ghalib yang akan berangkat ke Swiss dan Austria.
(35)     Pesimisme  seperti itu juga dikemukakan oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR-RI Syaiful Anar
Hussein
(36)   Di Ujung Pandang , Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais menyatakan tidak
percaya  upaya  Muladi-Ghalib  ke  Austria  dan  Swiss  untuk  melacak   kekayaan  Soeharto  dapat
membuahkan hasil
(37)     Perjalanan Andi Ghalib dan Muladi ke Swiss dan Austria adalah sandiwara politik  dan hampir
tidak ada maknanya.
(38)     Upaya tesebut  hanya sia-sia  dan  merupakan lelucon politik selama Soeharto belum  dijadikan
tesangka) 
Perbedaan  pengalaman  para  wartawan  atau  surat  kabarnya  tentang  “penyelidikan  harta
Soeharto ke Swiss dan Austria oleh Muladi dan Ghalib”  secara jelas diwujudkan dalam enam pilihan
kata  tidak akan efektif, merasa pesimis, pesimisme, tidak percaya, sandiwara politik, dan hanya siasia.
Struktur Informasi
Pengaturan struktur informasi atau organisasi isi proposisi dalam kalimat atas informasi latar
dan informasi baru dapat dipergunakan menandai perspektif pemberitaan. Perspektif pemberitaan akan
telihat  dari  memilihan  bagian  proposisi  tertentu  sebagai  informasi  baru  dan  bagian  proposisi  lain
sebagai informasi latar. Berikut contoh fenomena pengaturan informasi.
(39)     Sebelum  bentrok  sebenarnya  sempat  dilakukan  negosiasi  dengan  tawaran  50  wakil  PRD
berdialog dengan KPU di ruang sidang, dengan catatan yang lain menunggu di jalan.
(40)     Sebelum terjadi bentrokan, aparat keamanan  yang  menjaga pintu  masuk  kantor KPU di Jalan
Imam  Bonjol,  Jakarta  Pusat,  sempat  membiarkan  pengunjuk  rasa  dengan  atribut  PRD  lengkap  di
sekujur tubuh mereka  membaswakan orasi 50 menit..
Kedua proporsisi di atas menginformasikan tentang bentrokan antara PRD dengan aparat kepolisian di
KPU.  Perbedaan  itu  tampak  dalam  proposisi  pengisi  informasi  latar  baru.  Jika  disederhanakan  ,
struktur proposisi kedua data (39) dan (40) adalah sebagai berikut.
(39a)      Bentrok  PRD  dan  polisi—negosiasi  PRD  dan  polisi,  50  perwakilan  PRD  bertemu  wakil
KPU—bentrok PRD dan Polisi 28 luka-luka .
(40a)      Bentrok   PRD  dan  Polisi—PRD  dibiarkan  polisi  berorasi  50  menit—aparat  keamanan
membubarkan orsi PRD—bentrok polisi dengan PRD 28 luka-luka.
Pada kedua data tersebut yang  ditulis dengan  huruf miring adalah  data informasi baru dan
yang  ditulis  dengan  huruf  tegak  adalah  informasi  latar.  Untuk  mendukung  analisis  ini,  berikut
disajikan kalimat yang mendahului kedua kalima tersebut.
(41)    Pengamat kepolisian Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. menyatakan, insiden penembakan massa
PRD  oleh  aparat  keamanan   justru  bertepatan  dengan  peringatan  hari  Bhayangkara  makin
memperburuk momentum tersebut
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
35
(42)     Demontrasi fanatik sekitar 500 massa Partai Rakyat Demokratik (PRD) di depan Gedung KPU,
kemarin berubah berdarah.
Dari  struktur  proposisi  pada  data  (39)  dan  konteks  data  sebelumnya  (41)   terlihat  bahwa
proposisi  Demo  PRD  merupakan  informasi  latar.Kedua  informasi  itu  dapat  ditemukan  rujukannya
dalam  data   (41)  yakni  penembakan  massa  PRD  pada  hari  Bhayangkara  makin  memperburuk  citra
polisi.  Sementara  itu,  proposisi  demonstrasi  fanatik  sekira  500  massa  PRD  berubah  berdarah  tidak
ditemukan  dalam  rujukannya.  Perbedaan  Proposisi  pengisi  informasi  latar  baru  dapat  dilihat  dalam
tabel berikut.
Data  Informasi Latar  Informasi baru
39
Bentrok di KPU antara PRD dan
Polisi
Negosiasi 50 perwakilan PRD berdialog
dengan KPU
40
Bentrok di KPU antara PRD dan
Polisi
Polisi membiarkan PRD berorasi 50
menit
Dari  tabel  tesebut  dapat  disimpulkan  bahwa  proposisi  yang  mengisi  informasi  latar  sama
yaitu  Bentrok  di  KPU  antara  PRD  dan  Polisi,  namun  informasi  baru  yang  dimunculkan    oleh
wartawan  berbeda  yaitru  Negosiasi  50  perwakilan  PRD  berdialog  dengan  anggota  KPU  (Suara
Pembaruan) dan  Polisi membiarkan PRD berorasi 50 menit   (Media Indonesia).  Berdasarkan struktur
dan konteks kedua data, serta pra-anggapan masing-masing pengisi informasi latar dan informasi baru
disimpulkan  bahwa  surat  kabar  Suara  Pembaruan  pro  masyarakat.  Seharusnya  polisi  tidak  perlu
bentrok dengan PRD, apalagi dengan menembak, menendang, memukul,dan menginjak-injak.
Konklusi
Analisis  wacana  berdasarkan  perspektif  sosiokultural  pada  dasarnya  menggunakan  pola
analisis  teks,  preses  produksi  teks,  dan  konteks.  Analisis  teks  digunakan  untuk  melihat  struktur
teksnyan untuk memahami struktur kata,   kalimat, dan makna. Pada langkah selanjutnya penganalisis
memahami proses produksi teks dengan menganalisis struktur tema dan konteks sosial budaya teks itu
dihasilkan.  Baik  van  Dijk  maupun  Fairclouch  masih  sepakat  memahami  wacana  dari  teks.  Namun
keduanya   masih melengkapi pemahaman teks itu dengan memahami kognisi sosial dan konteks (van
Dijk)  dan  proses  produksi  dan  proses  interpretasi  bedasarkan  konteks  sosial  budaya.  Dalam
hubungannya dengan aspek produksi kekerasan oleh media sangat tergantung bagaimana teks tersebut
dikonstruksi  oleh  orang-orang  di  belakangnya  berkait  dengan  sistem  politik,  ekonomi,  dan  struktur
budaya media.
Sekreatif  apa  pun,  manusia  sebagai  “diri’  merupakan  pencipta  makna  dalam  bahasa  atau
karya  seni.  Manusia  tidak  hanya  subjek  perajut  makna  kata  dan  makna  estetika,  tetapi  pada  saat
bersamaan, distrukturkan oleh sistem tanda atau kode bahasa yang  ada. Artinya, manusia dikonstruksi
oleh kode bahasa dan ia harus patuh mengikuti kode tanda ini bila mau berkomunikasi dalam wacana
dengan  sesamanya.  Dengan  kata  lain,  diri  manusia  dihadapkan  pada  kode-kode  bahasa  yang
merupakan  konsensus-konsensus  dan  konvensi  bersama  masyarakat  pengguna  bahasa  mengenai
makna kata, nuansa bahasa yang dalam sistem tanda dirumuskan menjadi semiotika. Kemudian, dalam
perkembangan wacana yang dinamis, kode tanda bahasa yang diaksarakan dan menjadi simbol-simbol
yang lebih luas dari cakupan bahasa sementara ini disepakati sebagai teks. Di sinilah letak pentingnya
memahami  dan  menangkap  kode  bahasa  dan  artinya  dari  teks  melalui  dialog-dialog  bukan  hirarkis
atau dikotomis dua posisi (oposisi biner) tetapi antar teks (intertextuality).
Untuk  memahami  kode  bahasa  dalam  menangkap  makna  teks  itu,  ilmu  menafsirkan  teks
yaitu hermeneutika diluaskan dari teks eksegese (menafsir teks-teks kitab suci) menjadi hermeneutika
tekstual  antar  teks  berkat  jasa  Dilthey  dan  tokoh  Gadamer—yang  berutang  budi  pada  Martin
Heidegger lantaran bahasa eksistensi meng-ada manusia sebagai Dasein dalam ruang dan waktu harus
diperbarui agar manusia menjadi sang pendengar Sabda dan sang pencipta bahasa.
Hermeneutika  teks  dalam  konteks  diri  manusia  dengan  relasi  sosialnya,  dan  dalam  relasi
berbahasa dan berelasi sistem tanda itulah dirumuskan  “siapa aku atau diri ini dan siapa diri yang lain
atau  ‘the  other’  (alterity)  itu?  Bila  tafsirannya  “terlalu  menyempit”  pada  identitas  diri  secara  relasi
politis yang muncul  hanyalah keramaian wacana-wacana politik identitas dalam pidator retorik tanpa
studi  penafsiran-penafsiran  teks  yang  mendalam  apalagi  antar  teks.  Namun,  kode  bahasa  yang
digunakan secara kreatif untuk bersastra tekstual tertulis bisa amat  memperjuangkan pemuliaan  diri
manusia  merdeka,  egaliter  Indonesia  melawan  seluruh  konstruksi-konstruksi  kultur  yang  menjajah,
feodal dan memperbudak.[]
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
36
Hand-Out 03:
PETA ANALISIS SOSIAL (URAIAN TENTANG PARADIGMA SOSIOLOGI, TEORI
PERUBAHAN SOSIAL, LANGKAH PRAXIS ANALISIS SOSIAL DAN
PENGORGANISASIAN MASYARAKAT)
Oleh: Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta & Pascasarjana Sosiologi Fisipol UGM,
Kader Kultural PMII Daerah Istimewa Jogjakarta. 085 647 634 312/ nuriel.ugm@gmail.com
Prawacana
Sebelum  dibahas  lebih  lanjut  pada  bagian-bagian  berikutnya  mengenai  berbagai  aliran
ideologi  dan  keyakinan  serta teori  tentang  perubahan  sosial  dan  kritik  pembangunan,  maka  terlebih
dahulu  dalam bagian  ini  diuraikan  dan  dijelaskan  mengenai apa latar belakang  yang  mempengaruhi
terbentuknya  teori-teori  tersebut.  Salah  satu  dari  banyak  hal  yang  sangat  mempengaruhi  dan
membentuk suatu teori adalah apa yang dikenal dengan istilah paradigma (paradigm). Untuk itu uraian
pada bagian kedua buku ini akan memfokuskan pembahasan untuk memahami apa yang sesungguhnya
dimaksud dengan paradigma, mengapa dan bagaimana suatu paradigma terbentuk, serta apa pengaruh
paradigma terhadap terbentuknya teori-teori perubahan sosial dan praktik pembangunan. Pembahasan
mengenai masalah paradigma ini perlu dilakukan mengingat pentingnya paradigma dalam membentuk
dan  mempengaruhi teori  maupun analisis seseorang.  Pada dasarnya tidak ada suatu pandangan atau
teori sosial pun yang bersifat netral dan objektif, melainkan salah satunya bergantung pada paradigma
yang  dipergunakan.  Namun,  sebelum  melangkah  lebih  lanjut,  uraian  ini  akan  dimulai  dengan
menjawab pertanyaan dasar apa sesungguhnya yang dimaksud dengan paradigma itu?
Sebagaimana diuraikan Mansour Faqih
17
, paradigma secara sederhana  dapat diartikan bagai
kacamata atau alat pandang. Namun, pengertian  yang lebih akademis dapat dipahami  dari beberapa
pemikiran  yang  akan  diuraikan  berikut.  Pada  dasarnya,  istilah  paradigma  menjadi  sangat  terkenal
justru setelah Thomas Khun  menulis  karyanya  yang berjudul  The Structure of Scientific Revolution.
Dalam  buku  itu  Khun  menjelaskan  tentang  model  bagaimana  suatu  aliran  teori  ilmu  lahir  dan
berkembang  menurutnya  disiplin  ilmu  lahir  sebagai  proses  revolusi  paradigma,  di  mana  suatu
pandangan  teori  ditumbangkan  oleh  pandangan  teori  yang  lain.  Paradigma  diartikan  sebagai  satu
kerangka  referensi  atau  pandangan  dunia  yang  menjadi  dasar  keyakinan  atau  pijakan  suatu  teori.
Berkembangnya  suatu  paradigma  erat  kaitannya  dengan  seberapa  jauh  suatu  paradigma  mampu
melakukan  konsolidasi  dan  mendapat  dukungan  dari  berbagai  usaha  seperti  penelitian,  penerbitan,
pengembangan,  dan  penerapan  kurikulum  oleh  masyarakat  ilmiah  pendukungnya.  Oleh  karena  itu,
untuk memahami berkembang maupun runtuhnya suatu teori perubahan sosial dan pembangunan erat
kaitannya  dengan  persoalan  yang  dihadapi  oleh  paradigma  masing-masing  yang  menjadi  landasan
teori tersebut.
Selain  Khun,  peneliti  pemikir  lain  seperti  Patton  (1975)  juga  memberikan  pengertian
paradigma yang tidak jauh dengan apa yang didefinisikan oleh Khun, yakni sebagai  “a world view, a
general perspective, a way of breaking down the complexity of the real world”
18
Dengan  demikian,
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud paradigma adalah konstelasi teori, pertanyaan,
pendekatan, selain  dipergunakan  oleh suatu nilai  dan  tema pemikiran. Konstelasi  ini  dikembangkan
dalam rangka  memahami  kondisi sejarah  dan  keadaan sosial, untuk  memberikan kerangka  konsepsi
dalam  memberi  makna  realitas  sosial.
19
Paradigma  merupakan  tempat  kita  berpijak  dalam  melihat
suatu realitas. Justru kekuatan sebuah paradigma terletak pada kemampuannya membentuk apa yang
kita lihat, bagaimana cara kita melihat sesuatu, apa yang kita anggap masalah, apa masalah yang kita
anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta apa metode yang kita gunakan dalam meneliti dan berbuat.
Paradigma, sebaliknya, mempengaruhi apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin
kita ketahui.
20
Oleh karena itu, jika ada dua orang melihat suatu realitas sosial yang sama, atau membaca  ayat  dari  sebuah  kitab  suci  yang  sama,  akan  menghasilkan  pandangan  berbeda,  menjatuhkan
penilaian  dan  sikap  yang  berbeda  pula.  Paradigma  pulalah  yang  akan  mempengaruhi  pandangan
seseorang tentang apa yang  “adil dan yang tidak adil”, bahkan paradigma mempengaruhi pandangan
seseorang ataupun teori tentang baik buruknya suatu program kegiatan. Misalnya saja hubungan lelaki
prempuan  pada  suatu  masyarakat,  atau  hubungan  antara  majikan  dan  buruh,  oleh  suatu  paradigma
17
Mansour Faqih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Insist Press, Cet.
I., 2001) h. 17-43.
18
Michael Quin Patton, Alternative Evaluation Research Paradigm. Grand Forks: University North Dakota, 1970.
19
Definisi  ini  meminjam  uraian  Popkewitz.  Lihat  Popkewitz,  Thomas.  Paradigm  and  Ideology  in  Educational
Research. New York: Palmer Press, 1984.
20
Thomas  Khun  (1970)  dikenal  orang  pertama  yang  membuat  terkenal  istilah  paradigma.  Ia  tertarik  pada
perkembangan  dan  revolusi  ilmu  pengetahuan,  dengan  menganalisis  hubungan  antara  berbagai  paradigma  dan  penelitian
ilmiah.  Untuk  uraian  mengenai  paradigma  lihat:  Thomas  Kuhn.  The  Structures  of  Scientific  Revolutions.  Chicago:  The
University of Chicago Press, 1970. 
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
37
pemikiran  disebutkan  sebagai  “harmonis  saling  membantu”  dan  tidak  ada  masalah,  oleh  paradigma
yang  lain,  akan  dilihat  sebagai  hubungan  hegemonik,  dominasi  gender  ataupun  bahkan  dianggap
eksploitatif. Dalam hal perbedaan paradigma seperti itu, tidak relevan membicarakan siapa yang salah
dan  siapa  yang  benar,  karena  masing-masing  menggunakan  alasan,  nilai,  semangat,  dan  visi  yang
berbeda tentang fenomena tersebut.
Oleh  karena  itu,  dominasi  suatu  paradigma  terhadap  paradigma  yang  lain  sesungguhnya
bukanlah karena urusan “salah atau benar, yakni yang benar akan memenangkan paradigma yang lain.
Ritzer  (1975)  mengungkapkan  bahwa  kemenangan  satu  paradigma  atas  paradigma  yang  lain  lebih
disebabkan  karena  para  pendukung  paradigma  yang  menang  ini  lebih  memiliki  kekuatan  dan
kekuasaan (power) dari pengikut paradigma yang dikalahkan, dan sekali lagi bukan karena paradigma
yang  menang tersebut lebih benar atau  ‘lebih baik  dari yang dikalahkan”.
21
Demikian halnya dalam
memahami  dipilihnya  atau  diterapkannya  suatu aliran  teori  perubahan  sosial  maupun  pembangunan
juga erat kaitannya dengan kekuasaan penganut paradigma perubahan sosial yang ber sangkutan untuk
memenangkannya. Dengan demikian, dominasi atau berkuasanya suatu teori perubahan sosial ataupun
teori pembangunan, adalah lebih karena teori tersebut yang merupakan hasil atau dibentuk oleh suatu
paradigma tertentu, ada kaitannya dengan kekuatan dan kekuasaan bagi penganut teori tersebut, dan
tidak ada sangkut-pautnya dengan kebenaran teori tersebut. Lantas pertanyaannya mengapa dan bagaimana kita harus memilih satu paradigma atau teori perubahan sosial tertentu?
Meskipun  penjelasan  Kuhn  sangat  bermanfaat  untuk  memahami  bagaimana  paradigma
mempengaruhi  terciptanya  teori,  tetapi  penjelasan  Kuhn  tentang  proses  pergantian  paradigma
menurutnya  berjalan  secara  revolusioner.  Dengan  kata  lain,  bergantinya  suatu  paradigma  melalui
pergantian,  paradigma  lama  mati  dan  diganti  oleh  paradigma  baru.  Penjelasan  mengenai  pergantian
paradigma  ini  sudah  banyak  dibantah  orang.  Dalam  kenyataannya  telah  terjadi  berbagai  fenomena
yang tidak  dibayangkan  oleh Kuhn  dalam teorinya. Pertama telah terjadi pluralitas dan  konvergensi
teori. Kuhn berpendapat bahwa paradigma akan selalu menggantikan posisi paradigma lama, dan jika
tidak, para ilmuwan tidak memiliki kerangka kerja yang mapan. Dalam ilmu alam, pandangan seperti
ini memang terjadi. Namun, dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial menunjukkan kecenderungan semakin menguatnya pertikaian antar paradigma, atau bahkan terjadi dialog antara dua paradigma atau
lebih pada  era yang sama. Bahkan, proses teori pada dasarnya adalah terjadinya saling  dialog antar
teori  dan proses kemampuan teori untuk  menyesuaikan diri. Marxisme,  misalnya, telah berkembang
setelah  berdialog  dengan  semakin  canggihnya  kapitalisme.  Sebaliknya,  terjadi  penguatan  gejala
dimana teori-teori sosial yang bersandar pada keyakinan kapitalisme berkembang ke arah penyesuaian
diri  terhadap  kritik.  Dalam  perkembangan  Marxisme,  misalnya,  perkembangan  dan  kritik  interen
terhadap  praktik  perkembangannya,  hal  ini  menghasilkan  masuknya  analisis  hegemoni  kultur  dan
ideologi  dalam  Marxisme,  sesuatu  yang  membuat  analisis  Marxisme  saat  ini  telah  bergeser  dari
pikiran  Marx  pertama  kali  yang  lebih  memfokuskan  pada  analisis  ekonomi.  Demikian  halnya
maraknya  perkembangan  teologi  pembebasan  (liberation  theology)  di  Amerika  Latin  dan  tempattempat lain adalah suatu adaptasi akibat dari suatu dialog paradigma. Demikian halnya, perkembangan
paham  dan  teori  kapitalisme  dalam  perkembangannya  hingga  seperti  saat  ini  justru  belajar  dan
mendapat  keuntungan  dari  kritik  yang  dilakukan  oleh  teori  Marxisme.  Kapitalisme  sesungguhnya
banyak belajar dan menyesuaikan diri karena mendapat kritikan dari Marxisme.
Namun,  pertanyaan  yang  lebih  mendasar  adalah  apa  manfaat  dan  sikap  yang  diperlukan
dalam memahami paradigma sosial. Pada dasarnya memahami paradigma dan teori perubahan sosial
seharusnya  tidak  sekedar  untuk  mempelajari  dan  memahaminya.  Suatu  teori  ataupun  paradigma
dipelajari dan dipahami dalam rangka menegakkan komitmen untuk suatu proses emansipasi, keadilan
sosial dan transformasi sosial. Persoalan pilihan terhadap pardigma dan teori perubahan sosial maupun
teori pembangunan pada dasarnya bukanlah karena alasan benar dan salahnya teori tersebut, pilihan
suatu teori lebih karena  dikaitkan dengan persoalan mana teori yang akan berakibat pada penciptaan
emansipasi dan penciptaan hubungan-hubungan dan struktur yang secara mendasar lebih baik. Oleh
karena  itu,  memilih  paradigma  dan  teori  perubahan  sosial  adalah  suatu  pemihakan  dan  ber dasarkan
nilai-nilai  tertentu  yang  dianut.  Pertanyaan  yang  penting  diajukan  di  sini  adalah  siapa  dan  dengan
tujuan apa sesungguhnya kegiatan dan aksi kita diabdikan? Masalah siapa yang ingin kita pecahkan
melalui  aksi  dan  program  kegiatan  kita?  Jadi,  masalahnya  bukanlah  apakah  kita  harus  memihak,
karena  pemihakan  adalah  mustahil  untuk  dapat  dihindarkan  bagi  semua  teori  perubahan  sosial  dan
teori  pembangunan,  tetapi  masalahnya  adalah  kepada  siapa  atau  kepada  apa  pemihakan  tersebut
diabdikan.
22
Untuk menjawab persoalan ini, diperlukan pemahaman paradigma sosiologi yang menjadi
kacamata dan dasar bertindak dibalik setiap teori perubahan sosial maupun pembangunan.
21
Lihat Ritzer,  “Sociology: A Multiple  Paradigm Science”  dalam Jumal The American Sociologist No. 10, 1975.
hlm. 156-157.
22
Pertanyaan ini kami adaptasi dan pinjam dari Becker, yang membahas tentang pilihan-pilihan dalam paradigma dan
teori penelitian. Lihat tulisan Becker, “Whose side are we on?  dalam buku yang di edit oleh W.J. Fisltead (Ed.). Qualitative
Methodology Chicago: Markham, 1970. 
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
38
BAGIAN I
Paradigma-paradigma Ilmu-ilmu Sosial
Untuk  memberikan  bingkai  bagaimana  memahami  teori  perubahan  sosial,  termasuk  di
dalamnya teori pembangunan, kita perlu mengenal peta paradigma dalam ilmu sosial. Ada beberapa
peta pendekatan yang telah dihasilkan oleh para ahli ilmu sosial. Dalam rangka itu, berikut diuraikan
beberapa model paradigma dalam melihat masalah sosial. Pertama adalah model pemetaan paradigma
sosial  yang  diuraikan  oleh  salah  seorang  penganut  mazhab  Frankfurt,  terutama  Jurgen  Habermas.
Model  pembagian  paradigma  kedua  adalah  dengan  mengikuti  tokoh  pemikir  pendidikan  kritis  asal
Brazil, Paulo Freire. Sedangkan model ketiga adalah peta paradigma sosiologi yang dibuat oleh Barnel
dan Morgan (1979).
Ilmu Sosial Paradigma Dominatif Lawan Emansipatoris
Meminjam analisis Habermas yang secara sederhana membagi paradigma ilmu-ilmu sosia l
menjadi tiga paradigma, dapat digunakan untuk memahami suatu sudut perbedaan paradigma dalam
ilmu-ilmu sosial. Habermas pada dasarnya membagi paradigma ilmu sosial dalam pembagian yang secara sederhana dapat dipahami sebagai berikut. Menurutnya ilmu sosial dapat dibedakan menjadi tiga
paradigma yang dapat secara sederhana diuraikan sebagai berikut;
Pertama,  yang  disebutnya  sebagai  instrumental  knowledge.  Dalam  perspektif  paradigma
‘instrumental’  ini, pengetahuan lebih  dimaksudkan untuk  menaklukkan  dan  mendominasi  objeknya.
Yang  dimaksud  Habermas  dengan  paradigma  pengetahuan  instrumental  ini  sesungguhnya  adalah
paradigma positivisme.  Positivisme  pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan,
metode,  dan  teknik  ilmu  alam  dalam  memahami  realitas.  Positivisme  adalah  aliran  filsafat  yang
berakar  pada  tradisi  ilmu  sosial  yang  dikembangkan  dengan  mengambil  cara  ilmu  alam  menguasai
benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode determinasi,
fixed law   atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan sifat
universal,  artinya  cocok  atau  appropriate  untuk  semua,  kapan  saja,  di  mana  saja  suatu  fenomena
sosial. Oleh karena itu, mereka percaya babwa riset sosial harus didekati dengan  metode ilmiah, yakni
obyektivitas,  netral,  dan  bebas  nilai.  Pengetahuan  selalu  menganut  hukum  ilmiah  yang  bersifat
universal, prosedur harus dikuantifikasi dan diverifikasi dengan metode scientific atau ilmiah. Dengan
kata  lain,  positivisme  mensyaratkan  pemisahan  fakta  dan  nilai  (values)  dalam  rangka  menuju
pemahaman objektif atas realitas sosial.
Sebutan  “kaum  positivist”  berkesan  sentimen  dan  merupakan  diskursus  yang  di  dalamnya
memuat  suatu  strategi  daripada  mengacu  pada  pengertian  bahasa  yang  mendalam  dan  bermanfaat
untuk  menjelaskan  kata  positif  lawan  yang  negatif  dari  konsep  itu.  Istilah  itu  digunakan  untuk
mengacu pada suatu sikap dan pendirian epistemologis tertentu. Positivisme sering dicampur-adukkan
dengan ‘empirisme’  sehingga membuat rancu beberapa pengertian pokoknya. Pendirian epistemologis
kaum positivis kalau ditelaah lebih dalam didasarkan pada pendekatan yang digunakan dalam  “ilmu
alam,”  atau dengan kata lain, lebih jelas dapat dikatakan bahwa ilmu sosial positivistik, pada dasamya
meminjam  cara,  metodologi,  sikap  dan  visi  bagaimana  ilmu  alam  menghadapi  objek  studi  mereka
yakni benda dan fenomena alam. Perbedaan utamanya terletak pada istilah yang digunakan dan objek
yang dihadapi. Dalam ilmu alam objeknya adalah benda dan fenomena alam,  sedangkan positivisme
memberlakukan masyarakat atau manusia seperti ilmu alam memperlakukan benda dan fenomen alam.
Tatanan  sosial  dapat  dibuktikan  kebenarannya  melalui  penelitian  eksperimental,  atau  laboratorium,
meskipun  sering  terjadi  hipotesis  keliru  yang  tak  pernah  dapat  dibuktikan  kebenarannya.  Kaum
verifikasionis  (membuktikan  kebenaran,  dan  falsifikasionis  (membuktikan  kekeliruan)  hipotesis
tentang  tatanan  sosial,  sependapat  bahwa  pengetahuan  hakikatnya  merupakan  proses  akumulasi  di
mana  pemahaman  baru  diperoleh  sebagai  tambahan  atas  kumpuIan  pengetahuan  atau  penghapusan
atas hipotesis salah yang pernah ada.
Dengan  pendekatan  seperti  itu,  ilmu  sosial  dengan  paradigma  positivisme  lebih
mensyaratkan  sikap-sikap  tertentu  yang  tercermin  dalam  metodologi  dan  teknik  kajian  mereka.  Di
antara  banyak  sikap  yang  kemudian  disebutkan  sebagai  sikap  “ilmiah”  tersebut  adalah  bahwa  ilmu
sosial  dan penelitian sosial haruslah bersikap netral dan tidak  memihak. Selain  itu, ilmu sosial bagi
paradigma  positivisme  juga  tidak  boleh  bersifat  subjektif,  melainkan  harus  objektif,  rasional,  tidak
boleh  emosional,  komitmen  dan  empati. Ilmu sosial  juga harus mampu  menjaga jarak (detachment)
terhadap objek studi dan hasil kajian, bersikap universal, dapat diterapkan di mana saja dan kapan saja.
Untuk  memahami  lebih  lanjut  pendirian  paradigma  positivisme,  kita  dapat  memahaminya
melalui  pendirian  teori-teori  anti-positivisme.  Meskipun  epistemologis  kaum  antipositivis  beragam
jenisnya, semuanya tidak menerima berlakunya kaidah-kaidah universalitas, bahwa yang terjadi pada
suatu tatanan sosial tertentu tidak secara serta merta akan berlaku pada semua tatanan atau peristiwa
sosial.  Realitas  sosial  adalah  nisbi,  hanya  dapat  dipahami  dari  pandangan  orang  per  orang  yang
langsung  terlibat  dalam  peristiwa  sosial  tertentu.  Mereka  menolak  kedudukan  sebagai  ‘peneliti  dan
pengamat’ atau pengembang masyarakat ahli luar seperti layaknya kedudukan kaum positivis. Seorang
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
39
hanya  bisa  “mengerti”  dengan  ‘memasuki’  kerangka  pikir  orang  yang  terlibat  langsung  atau  diri
mereka sendiri sebagai peserta atau pelaku dalam tindakan. Seseorang hanya mengerti dari sisi dalam,
bukan dari luar realitas sosial, betapa pun ahlinya karena ilmu sosial bersifat subjektif, dan menolak
anggapan bahwa ilmu pengetahuan  dapat ditemukan sebagai pengetahuan objektif.
Kalau  kita  pelajari  secara  mendalam,  sesungguhnya  ada  dua  tradisi  pemikiran  besar  yang
mewamai  perkembangan  ilmu  dan  analisis  sosial  selama  lebih  dari  dua  ratus  tahun  terakhir,  yakni
pertikaian  antara  postivisme  dan  idealisme  Jerman.  Aliran  ini  mewakili  pandangan  yang  berusaha
menerapkan  cara  dan  bentuk  penelitian  alam  ke  dalam  pengkajian  peristiwa  kemanusiaan.  Realitas
sosial disamakan dengan realitas alam. Dengan meniru kaum realis dalam ontologinya, epistimologi
kaum  positivis,  pandangan  deterministik  mengenai  sifat  manusia  dan  nomotetis  metodologinya.
Sementara  itu,  lawannya  adalah  tradisi  “idealisme  Jerman”.  Aliran  ini  menyatakan  bahwa  realitas
tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat indera, tetapi justru pada  “ruh”  atau gagasan”. Oleh
karena itu epistiomologi mereka anti-positivis di mana sifat subjektivitas dari peristiwa kemanusiaan
lebih penting dan menolak cara dan bentuk penelitian ilmu alam.
Kedua,  adalah  paradigma  interpretative.  Latar  belakang  perkembangan  paradigma
interpretatif ini dapat ditelusuri  dari pergumulan  dalam teori ilmu sosial sebelum tahun 1970  ketika
telah  mulai  berkembang  suatu  tradisi  besar  terutama  di  bidang  filsafat  sosial  dengan  munculnya
fenomenologi, etnometodologi dan teori-teori aksi. Aliran-aliran filsafat sosial ini selain menyatakan
pendiriannya  sendiri  sering  juga  menentang  aliran  sosiologi  positivisme.  Aliran-aliran  ini  dapat
dipahami  dengan  baik  dengan  mengenali  perbedaan-perbedaan  anggapan  dasarnya  masing-masing.
Aliran  hermeneutic  knowledge  atau juga dikenal dengan  paradigma interpretative, secara sederhana
dapat dijelaskan bahwa pengetahuan dan khususnya ilmu-ilmu sosial dan penelitian sosial dalam paradigma  ini  ‘hanya’  dimaksud  untuk  memahami  secara  sungguh-sungguh.  Dasar  filsafat  paradigma
interpretative adalah phenomenology dan hermeneutics, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan
minat  yang  besar  untuk  memahami.  Semboyan  yang  terkenal  dari  tradisi  ini  adalah  “biarkan  fakta
bicara  atas  nama  dirinya  sendiri”.  Namun  dalam  paradigma  ini  pengetahuan  tidak  dimaksudkan
sebagai  proses  yang  membebaskan.  Misalnya  saja  yang  termasuk  dalam  paradigma  ini  adalah
ethnography dalam tradisi kalangan antropolog.
Ketiga,  adalah  paradigma  yang  disebut  sebagai  “paradigma  kritik”  atau  critical/
emancipatory  knowledge.  Ilmu  sosial  dalam  paradigma  ini  lebih  dipahami  sebagai  proses  katalisasi
untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Melalui kritik yang mendasar terhadap ilmu
sosial  yang  mendominasi  (instrumental  knowledge),  paradigma  kritis  ini  menganjurkan  bahwa  ilmu
pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial tidak boleh dan tidak mungkin bersifat netral.  Paradigma kritis
memperjuangkan pendekatan yang bersifat holistik, serta menghindari cara berpikir deterministik dan
reduksionistik.  Oleh  sebab  itu,  mereka  selalu  melihat  realitas  sosial  dalam  perspektif  kesejarahan.
Paradigma  kritis tidak  hanya terlibat dalam teori  yang spekulatif atau abstrak, tetapi lebih  dikaitkan
dengan  pemihakan  dan  upaya  emansipasi  masyarakat  dalam  pengalaman  kehidupan  mereka  seharihari.
Implikasi  dari  kritik  paradigma  ini  terhadap  positivisme  menyadarkan  kita  akan  perlunya
perenungan tentang moralitas ilmu dan penelitian sosial. Oleh karena teori dan penelitian sosial begitu
berpengaruh terhadap praktik perubahan sosial seperti program pembangunan, maka paradigma ilmu
dan penelitian sosial adalah faktor penting  yang  menentukan arah perubahan sosial. ltulah  mengapa
paradigma kritik selalu mempertanyakan  “mengapa rakyat dalam perubahan  sosial”  selalu diletakkan
sebagai  passive  objects  untuk  diteliti,  dan  selalu  menjadi  objek  “rekayasa  sosial”  bagi  penganut
positivisme.  Positivisme  percaya  bahwa  rakyat  tidak  mampu  memecahkan  masalah  mereka  sendiri.
Perubahan sosial harus didesain oleh ahli, perencana yang bukan rakyat, kemudian dilaksanakan oleh
para  teknisi.  Rakyat  dalam  hal  ini  dilihat  sebagai  masalah  dan  hanya  para  ahli  yang  berhak  untuk
memecahkannya.
Sebaliknya,  pandangan  paradigma  kritik  justru  menempatkan  rakyat  sebagai  subjek  utama
perubahan  sosial.  Rakyat  harus  diletakkan  sebagai  pusat  proses  perubahan  dan  penciptaan  maupun
dalam  mengontrol  pengetahuan  mereka.  Inilah  yang  menjadi  dasar  sumbangan  teoretik  terhadap
perkembangan  participatory  research.  Kritik  terhadap  positivisme  dilontarkan  karena  pengetahuan
tersebut  menciptakan  dominasi  yang  irasional  dalam  masyarakat  modern.  Ilmu  sosial  harus  mampu
memungkinkan  setiap  orang  untuk  memberikan  partisipasi  dan  kontribusinya.  Pemikiran  tersebut
mempengaruhi arah ilmu sosial kritis  yang menekankan pentingnya subjektivitas manusia, pemihakan
dan  kesadaran  dalam  proses  membangun  teori.  Paradigma  kritis  inilah  yang  memberikan  legitimasi
terhadap  ilmu  sosial  pembebasan,  yang  tadinya  dianggap  ‘tidak  ilmiah’  tersebut.  ltulah  sebabnya
paradigma kritik sekaligus merupakan kritik terhadap paradigma dominasi dan interpretasi.
Dengan  kerangka  peta  pembagian  paradigma  seperti  itu,  kita  dapat  memahami  dan
menyadari  segenap  perkembangan,  asumsi,  dan  konflik  antar  berbagai  teori  perubahan  sosial  dan
kritik  terhadap  teori-teori  pembangunan  yang  menjadi  fokus  utama  pembahasan-pembahasan  dalam
berbagai uraian pada bagian-bagian berikutnya. 
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
40
Dari Paradigma Reformasi ke Transformasi: Peta Kesadaran Freire
Arena  perbedaan  paradigma  yang  lain  yang  juga  berpengaruh  dalam  perkembangan  dan
kajian teori perubahan sosial dan teori pembangunan adalah dengan meminjam pembagian paradigma
yang  dikembangkan  oleh  Paulo  Freire.  Ketika  Freire  (1970)  menerbitkan  buku  Pedagogy  of  the
Oppressed  yang  pertama  kali  diterbitkan  dalam  bahasa  Inggris  tahun  1970,  umumnya  orang
menyangka bahwa ia sedang melakukan kritik terhadap dunia pendidikan. Namun, dengan membaca
karya Freire lainnya, terutama mendengar dialognya dengan tokoh  social movement  Amerika Serikat,
Miles  Horton,  yang  dibukukan  dengan  judul  We  Making  the  Road  by  Walking  (1990),  orang  baru
sadar bahwa Freire sedang berbicara soal yang lebih luas dari dunia pendidikan yakni mengenai paradigma perubahan sosial. Dia mengakui sangat dipengaruhi oleh Gramsci, seorang pemikir kebudayaan
yang radikal yang pertama kali mengupas bahwa sesungguhnya peperangan yang terpenting pada abad
modern  ini  adalah  ideologi,  yang  disebutnya  sebagai  proses  ‘hegemony’.  Dari  situlah  orang  baru
menyadari  bahwa  Freire  sedang  membicarakan  pendidikan  dalam  kaitannya  dengan  struktur  dan
sistem budaya, ekonomi, dan politik yang lebih luas.
Tugas  teori  sosial  menurut  Freire  adalah  melakukan  apa  yang  disebutnya  sebagai
conscientizacao  atau  proses  penyadaran  terhadap  sistem  dan  struktur  yang  menindas,  yakni  suatu
sistem dan struktur. Proses dehumanisasi yang membunuh kemanusiaan. Gramsci menyebut proses ini
sebagai  upaya  counter  hegemony.  Proses  dehumaniasi  tersebut  terselenggara  melalui  mekanisme
kekerasan,  baik  yang  fisik  dan  dipaksakan,  maupun  melalui  cara  penjinakan  yang  halus,  yang
keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya kekerasan dehumanisasi tidak selalu berbentuk jelas
dan mudah dikenali. Kemiskinan struktural, misalnya, pada dasarnya adalah suatu bentuk kekerasan
yang  memerlukan  analisis  untuk  menya darinya.  Bahkan,  kekerasan  sebagian  besar  terselenggara
melalui proses hegemoni: cara pandang, cara berfikir, ideologi, kebudayaan, bahkan selera, golongan
yang mendominasi telah dipengaruhkan dan diterima oleh golongan yang didominasi. Dengan begitu,
pendidikan  dan  ilmu  pengetahuan,  sebagaimana  kesenian,  bukanlah  arena  netral  tentang  estetika
belaka. Kesenian dan kebudayaan tidaklah berada dalam ruang dan masa yang steril, melainkan dalam
sistem dan struktur yang bersifat hegemonik.
Freire (1970) membagi ideologi teori sosial dalam tiga kerangka besar yang didasarkan pada
pandangannya  terhadap  tingkat  kesadaran  masyarakat.
23
Tema  pokok  gagasan  Freire  pada  dasarnya
mengacu  pada  suatu  landasan  bahwa  pendidikan  adalah  “proses  memanusiakan  manusia  kembali”.
Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya
masyarakat,  menjadikan  masyarakat  mengalami  proses  ‘dehumanisasi’.  Pendidikan,  sebagai  bagian
dari  sistem  masyarakat,  justru  menjadi  pelanggeng  proses  dehumanisasi  tersebut.  Secara  lebih  rinci
Freire  menjelaskan  proses  dehumanisasi  tersebut  dengan  menganalisis  tentang  kesadaran  atau
pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire menggolongkan kesadaran manusia
menjadi:  kesadaran  magis  (magical  consciousnees),  kesadaran  naif  (naival  consciousnees)  dan
kesadaran kritis  (critical consciousness).  Bagaimana kesadaran tersebut dan kaitannya dengan sistem
pendidikan dapat secara sederhana diuraikan sebagai berikut.
24
Pertama, kesadaran magis, yakni suatu keadaan kesadaran, suatu teori perubahan sosial yang
tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja
suatu  teori  yang  percaya  akan  adanya  masyarakat  miskin  yang  tidak  mampu,  kaitan  kemiskinan
mereka  dengan  sistem  politik  dan  kebudayaan.  Kesadaran  magis  lebih  mengarahkan  penyebab
masalah dan ketakberdayaan masyarakat dengan faktor-faktor di luar manusia, baik  natural  maupun
super  natural.  Dalam  teori  perubahan  sosial  jika  proses  analisis  teori  tersebut  tidak  mampu
mengaitkan antara sebab dan musabab suatu masalah sosial, proses analisis teori sosial tersebut dalam
perspektif Freirean disebut sebagai teori sosial  fatalistik. Suatu teori sosial bisa dikategorikan dalam
model  pertama  ini  jika  teori  yang  dimaksud  tidak  memberikan  kemampuan  analisis,  kaitan  antara
sistem  dan  struktur terhadap  satu  permasalahan  masyarakat.  Masyarakat  secara  dogmatik  menerima
‘kebenaran’  dari teoretisi sosial tanpa ada mekanisme untuk memahami  ‘makna’  ideologi setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Yang  kedua  adalah  apa  yang  disebutnya  sebagai  “Kesadaran  Naif”.  Keadaan  yang
dikategorikan  dalam  kesadaran  ini  adalah  lebih  melihat  ‘aspek  manusia’  sebagai  akar  penyebab
masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini ‘masalah etika, kreativitas, ‘need for achievement’ dianggap
sebagai penentu dalam perubahan sosial. Jadi, dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin,
bagi analisis kesadaran ini, adalah disebabkan oleh kesalahan masyarakat sendiri, yakni mereka  malas,
tidak  memiliki  jiwa  kewiraswastaan,  atau  tidak  memiliki  budaya  ‘pembangunan’,  dan  seterusnya.
25
23
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed. New York: Praeger, 1986.
24
Lihat Smith, Themaning of Conscientacao: The Goal of Paulo Freire's Pedagogy Amherst: Center for International
Education, UMASS, 1976.
25
Pemikiran yang bisa dikategorikan dalam analisis ini adalah para penganut modernisasi dan developmentalisme.
Paham  modernisasi  selanjutnya  menjadi  aliran  yang  dominan  dalam  ilmu-i1mu  sosial.  Misalnya  saja  dalam  antropologi,
pikiran  Kuncaraningrat  tentang  budaya  pembangunan  sangat  berpengaruh  bagi  kalangan  akademik  dan  birokrat.  Paham
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
41
Oleh  karena  itu,  man  power  development  adalah  sesuatu  yang  diharapkan,  akan  menjadi  pemicu
perubahan. Teori perubahan sosial dalam konteks ini berarti suatu teori yang tidak mempertanyakan
sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar, merupakan
faktor  given  dan,  oleh  sebab  itu,  tidak  perlu  dipertanyakan.  Tugas  teori  sosial  adalah  bagaimana
membuat  dan  mengarahkan  agar  masyarakat  bisa  beradaptasi  dengan  sistem  yang  sudah  benar
tersebut. Paradigma inilah yang dikategorikan sebagai paradigma perubahan yang bersifat reformatif
dan bukanlah paham perubahan yang bersifat transformatif.
Kesadaran  ketiga  adalah yang disebut sebagai kesadaran kritis. Kesadaran ini lebih melihat
aspek  sistem  dan  struktur  sebagai  sumber  masalah.  Pendekatan  struktural  menghindari  blaming  the
victims  dan  lebih  menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik,  ekonomi  dan budaya
dan  bagaimana  kaitan  tersebut  berakibat  pada  keadaan  masyarakat.  Paradigma  kritis  dalam  teori
perubahan sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi  ‘ketidakadilan’
dalam  sistem  dan  struktur  yang  ada,  kemudian  mampu  melakukan  analisis  bagaimana  sistem  dan
struktur  itu  bekerja,  serta  bagaimana  mentransformasikannya.  Tugas  teori  sosial  dalam  paradigma
kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar masyarakat terlibat dalam suatu proses dialog
“penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik atau lebih adil”. Kesadaran ini pula
yang disebut sebagai kesadaran transformatif.
Diagram 1
Peta analisis kesadaran masyarakat, Paulo Freire (1970)
KESADARAN MAGIS  KESADARAN NAIF  KESADARAN KRITIS
Magical
Consciousness
Naival
Consciousness
Critical
Consciousness
Perubahan sosial
ditentukan oleh:
NATURAL,
SUPERNATURAL
Perubahan sosial
ditentukan oleh:
ETIKA, KREATIFITAS,
NEED FOR ACHIEVEMENT
Perubahan sosial
ditentukan oleh:
SISTEM SOSIAL, EKONOMI,
POLITIK & BUDAYA
Berimplikasi pada:
Kesadaran Fatalistik
Berimplikasi pada:
Kesadaran Reformatif
Berimplikasi pada:
Kesadaran Transformatif
Dengan menggunakan paradigma yang dikembangkan Freire ini membantu kita untuk dapat
memahami  bagaimana  logika  berbagai  teori  sosial  yang  akan  dibahas  dikembangkan.  Dengan
demikian,  teori  modernisasi  dan  pembangunan  serta  berbagai  teori  pendukung  setelahnya  dalam
epistimologi,  atau  menurut  paradigma  kesadaran  Freire  dapat  digolongkan  dalam  kesadaran  naif,
karena  bukan  struktur  yang  lebih  dipersoalkan  melainkan  manusianya  dan  oleh  karenanya  bersifat
reformatif.  Sementara  itu,  paradigma  dan  teori  perubahan  sosial  kritik  yang  dibahas  dalam  bab
berikutnya dalam perspektif Freire  dapat digolongkan dalam kesadaran kritis dan  merupakan proses
perubahan sosial menuju lebih adil yang bersifat transformatif.
Uraian pembagian peta paradigma yang  dipinjam  dari analisis Freire tersebut, selain  dapat
digunakan  sebagai  pisau  analisis  untuk  memahami  dan  memetakan  teori-teori  per ubahan  sosial  dan
teori-teori  pembangunan,  peta  paradigma  tersebut  juga  sangat  berpengaruh  terhadap  para  praktisi
pengembangan  masyarakat  ataupun  pemberdayaan  masyarakat  di  akar  rumput.  Banyak  praktisi
pembangunan  dalam  berhadapan  maupun  mengembangkan  program-programnya  di  masyarakat
dipengaruhi  oleh  jenis  kesadaran  yang  mendominasi  pemikiran  dan  analisis  para  praktisi  sehingga
sangat  berpengaruh  terhadap  pendekatan  maupun  metodologi  program  mereka.  Para  praktisi
pengembangan masyarakat yang mengembangkan program “pemberdayaan  masyarakat”, tetapi dalam
melakukan analisis terhadap “masalah kemiskinan”  masyarakat bersandar pada analisis kesadaran naif
dan reformatif, akan melahirkan program yang berbeda dengan jika mereka dipengaruhi oleh analisis
yang bersandar pada kesadaran kritis untuk transformasi sosial.
Paradigma-paradigma Sosiologi
Untuk  lebih  mempertajam  pemahaman  dan  seluk-beluk  peta  paradigma  yang  dapat
digunakan untuk memahami teori-teori perubahan sosial dan teori pembangunan, maka perIu juga kita
memetakan  secara  lebih  luas  paradigma  dalam  ilmu  sosiologi.  Untuk  itu  dalam  bagian  ini
dikemukakan  dan  disajikan peta paradigma sosiologi  yang  dikembangkan  oleh  Burnell  dan Morgan
(1979). Burnell dan Morgan membuat suatu pemetaan paradigma sosiologi yang dapat membantu kita
modernisasi juga 'berpengaruh'  dalam pemikiran Islam di Indonesia. Adanya yang salah dalam teologi fatalistik yang dianut
umat Islam dianggap sebagai penyebab keterbelakangan. Asumsi itu dianut oleh kaum modemis sejak Muhammad Abduh
atau  Jamaluddin  Afgani  sampai  kelompok  pembaharu  saat ini  seperti  Nurcholish Madjid  c.s.  Lihat:  Dr.  Harun  Nasution,
Pembaharuan  dalam  Islam,  Jakarta;  Bulan  Bintang,  1978.  serta  majalah  ulasan  tentang  “Gerakan  Pembaharuan  Islam”
dalam Ulumul Quran tahun 1993. 
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
42
untuk  memahami  ‘cara  pandang’  berbagai  aliran  dan  teori  ilmu-ilmu  sosial.  Mereka  membantu
memecahkan sumber utama keruwetan peta teori ilmu sosial dengan mengajukan peta filsafat dan teori
sosial.
26
Secara  sederhana  mereka  mengelompokkan  teori  sosial  ke  dalam  empat  kunci  paradigma.
Empat paradigma itu dibangun atas pandangan yang berbeda mengenai dunia sosial. Masing-masing
pendirian dalam kebenarannya dan melahirkan analisis tentang kehidupan sosial. Sejak tahun 1960-an
sesungguhnya telah muncul berbagai aliran pemikiran sosiologi yang dalam perkembangannya justru
tidak membantu untuk memperjelas peta paradigma sosiologi. Namun pada awal tahun 1970-an terjadi
kebutuhan dalam perdebatan sosiologi mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat seperti halnya
terjadi pada tahun 1960-an. Untuk  memecahkan  kebuntuan  itu  mereka usulkan untuk  menggunakan
kembali unsur penting dari perdebatan 1960-an, yakni cara baru dalam menganalisis empat paradigma
sosiologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: Humanis Radikal, srukturalis radikal, interpretatif
dan Fungsionalis. Keempat paradigma itu satu dengan yang lain memiliki pendirian masing-masing,
karena memang memiliki dasar pemikiran yang secara mendasar berbeda.
Sifat  dan  kegunaan  empat  paradigma  tersebut  adalah  selain  untuk  memahami  dan
menganalisis suatu praktik sosial, juga untuk memahami ideologi dibalik suatu teori sosial. Paradigma
sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang mendasar yang menentukan kerangka berpikir, asumsi
dan  cara  bekerjanya  teori  sosial  yang  menggunakannya.  Di  dalamnya  tersirat  kesamaan  pandangan
yang  mengikat  sekelompok  penganut  teori  mengenai  cara  pandang  dan  cara  kerja  dan  batas-batas
pengertian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial menggunakan paradigma tertentu, berarti memandang
dunia  dalam  satu  cara  yang  tertentu  pula.  Peta  yang  digunakan  di  sini  adalah  menempatkan  empat
pandangan  yang  berbeda  mengenai  sifat  ilmu  sosial  dan  sifat  masyarakat  yang  didasarkan  pada
anggapan-anggapan  meta-teoretis. Empat paradigma itu merupakan  cara  mengelompokkan kerangka
berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami mengapa pandanganpandangan  dan  teori-teori  tertentu  dapat  lebih  menampilkan  sentuhan  pribadi  dibanding  yang  lain.
Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan
sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan hal ini sama bobotnya dengan pindah
agama. Misalnya, apa yang pernah terjadi pada Karl Marx yang  dikenal Marx tua dan Marx muda,
yakni perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal Perpindahan ini disebut epistemological
break.
Paradigma Fungsionalis
Paradigma  fungsionalisme  sesungguhnya  merupakan  aliran  pemikiran  yang  paling  banyak
dianut  di  dunia.  Pandangan  fungsionalisme  berakar  kuat  pada  tradisi  sosiologi  keteraturan.
Pendekatannya  terhadap  permasalahan  berakar  pada  pemikiran  kaum  obyektivis.  Pemikiran
fungsionalisme  sebenarnya  merupakan  sosiologi  kemapanan,  ketertiban  sosial,  stabilitas  sosial,
kesepakatan,  keterpaduan  sosial,  kesetiakawanan,  pemuasan  kebutuhan,  dan  hal-hal  yang  nyata
(empirik).  Oleh  karenanya,  kaum  fungsionalis  cenderung  realis  dalam  pendekatannya,  positivis,
deterministis dan nomotetis. Rasionalitas lebih diutamakan dalam menjelaskan peristiwa atau  realitas
sosial. Paradigma ini juga lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang
dapat  diterapkan,  berorientasi  pada  pemecahan  masalah  yang  berupa  langkah-langkah  praktis  untuk
pemecahan  masalah praktis juga. Mereka lebih  mendasarkan pada  “filsafat rekayasa sosial”  (social
engineering)  sebagai  dasar  bagi  usaha  perubahan  sosial,  serta  menekankan  pentingnya  cara-cara
memelihara, mengendalikan atau mengontrol keteraturan, harmoni, serta stabilitas sosial.
Paradigma ini pada dasamya berusaha menerapkan metode pendekatan pengkajian masalah
sosial  dan  kemanusiaan  dengan  cara  yang  digunakan  ilmu  alam  dalam  memperlakukan  objeknya.
Paradigma ini dimulai di Prancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 karena pengaruh karya Comte,
Spencer,  Durkheim,  dan  Pareto.  Aliran  ini  berasal  dari  asumsi  bahwa  realitas  sosial  terbentuk  oleh
sejumlah unsur empirik nyata dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat dikenali, dikaji, diukur
dengan pendekatan dan menekankan alat seperti yang digunakan dalam ilmu alam. Menggunakan kias
ilmu  meka nika  dan  biologi  untuk  menjelaskan  realitas  sosial  pada  dasarnya  adalah  prinsip  yang
umumnya  digunakan  oleh  aliran  ini.  Namun  demikian,  sejak  awal  abad  ke-20,  mulai  terjadi  pergeseran, terutama setelah dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti pemikiran Max
Weber,  Geroge  Simmel  dan  George  Herbet  Mead.  Sejak  saat  itu  banyak  kaum  fungsionalis  mulai
meninggalkan  rumusan  teoretis  dari  kaum  objektivis  dan  mulai  bersentuhan  dengan  paradigma
interpretatif  yang  lebih  subjektif.  Kias  mekanika  dan  biologi  mulai  bergeser  melihat  manusia  atau
masyarakat, suatu pergeseran pandangan menuju para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial.
Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi  “perubahan radikal”  mulai menyusupi kubu kaum
fungsionalis  untuk  meradikalisasi  teori-teori  fungsionalis.  Sungguhpun  telah  terjadi  persentuhan
dengan  paradigma  lain,  paradigma  fungsonalis  tetap  saja  secara  mendasar  menekankan  pemikiran
objektivisme  dan  realitas  sosial  untuk  menjelaskan  keteraturan   sosial.  Karena  persentuhan  dengan
26
Burnell & Morgan, Sociological Paradigms & Organizational Analysis London: Heinemann, 1979. 
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
43
paradigma  lain  itu  sebenarnya  telah  lahir  beragam  pemikiran  yang  berbeda  atau  campuran  dalam
paham fungsionalis.
Paradigma Interpretatif (Fenomenologi)
Paradigma  interpretatif  sesungguhnya  menganut  pendirian  sosiologi  keteraturan  seperti
halnya fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan pendekatan objektivisme dalam analisis sosialnya
sehingga  hubungan  mereka  dengan  sosiologi  keteraturan  bersifat  tersirat.  Mereka  ingin  memahami
kenyataan  sosial  menurut  apa  adanya,  yakni  mencari  sifat  yang  paling  dasar  dari  kenyataan  sosial
menurut pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial
bukan menurut orang lain yang mengamati.
Pendekatannya cenderung nominalis, antipositivis dan  ideografis. Kenyataan sosial muncul
karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya, mereka berusaha menyelami jauh
ke dalam kesadaran dan subjektivitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di
balik  kehidupan  sosial.  Sungguhpun  demikian,  anggapan-anggapan  dasar  mereka  masih  tetap
didasarkan  pada  pandangan  bahwa  manusia  hidup  serba  tertib,  terpadu  dan  rapat,  kemapanan,
kesepakatan, kesetiakawan. Pertentangan, penguasan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja
mereka.  Mereka  terpengaruh  lansung  oleh  pemikiran  sosial  kaum  idealis  Jerman  yang  berasal  dari
pemikiran  Kant  yang  lebih  menekankan  sifat  hakikat  rohaniah  daripada  kenyataan  sosial.  Perumus
teori ini yakni mereka yang penganut filsafat fenomenologi antara  lain Dilttey, Weber, Husserl, dan
Schutz.
Paradigma Humanis Radikal
Para  penganut  humanis  radikal  pada  dasamya  berminat  mengembangkan  sosiologi
perubahan  radikal  dari  pandangan  subjektivis  yakni  berpijak  pada  kesadaran  manusia.  Pendekatan
terhadap  ilmu  sosial  sama  dengan  kaum  interpretatif  yaitu  nominalis,  antipositivis,  volunteris  dan
ideografis.  Kaum  humanis  radikal  cenderung  menekankan  perlunya  menghilangkan  atau  mengatasi
berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada. Namun demikian, pandangan dasar  yang penting bagi
humanis radikal adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh supra struktur
idiologis di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni
(alienasi),  atau  membuatnya  dalam  kesadaran  palsu  (false  consciousness)  yang  menghalanginya
mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu, agenda utamanya adalah memahami
kesulitan  manusia  dalam  membebaskan  dirinya dari semua bentuk tatanan sosial  yang  menghambat
perkembangan  dirinya  sebagai  manusia.  Penganutnya  mengecam  kemapanan  habis-habisan.  Prosesproses  sosial  dilibat  sebagai  tidak  manusiawi.  Untuk  itu  mereka  ingin  memecahkan  masalah
bagaimana  manusia  bisa  memutuskan  belenggu-belenggu  yang  mengikat  mereka  dalam  pola-pola
sosial  yang  mapan  untuk  mencapai  harkat  kemanusiaannya.  Meskipun  demikian,  masalah-masalah
pertentangan  struktural  belum  menjadi  perhatian  mereka  Paulo  Freire  misalnya  dengan  analisisnya
mengenai  tingkatan  kesadaran  manusia  dan  usaha  untuk  melakukan  “konsientisasi”,  yang  pada
dasarnya  membangkitkan  kesadaran  manusia  akan  sistem  dan  struktur  penindasan,  dapat
dikategorikan dalam paradigma humanis radikal.
Paradigma Strukturalis Radikal
Penganut  paradigma  strukturalis  radikal  seperti  kaum  humanis  radikal  memperjuangkan
perubahan  sosial  secara  radikal  tetapi  dari  sudut  pandang  objektivisme.  Pendekatan  ilmiah  yang
mereka anut memiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir
yang  saling  berlawanan.  Analisisnya  lebih  menekankan  pada  konflik  struktural,  bentuk-bentuk
penguasaan  dan  pemerosotan  harkat  kemanusiaan.  Karenanya,  pendekatannya  cenderung  realis,
positivis, determinis, dan nomotetis.
Kesadaran manusia yang bagi kaum humanis radikal penting, justru oleh mereka dianggap
tidak penting. Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih penting justru hubungan-hubungan struktural
yang  terdapat  dalam  kenyataan  sosial  yang  nyata.  Mereka  menekuni  dasar-dasar  hubungan  sosial
dalam  rangka  menciptakan  tatanan  sosial  baru  secara  menyeluruh.  Penganut  paradigma  strukturalis
radikal terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada menjelaskan bahwa kekuatan sosial
merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan
penuh pertentangan dalam suatu masyarakat.
Paradigma  strukturalis  radikal  diilhami  oleh  pemikiran  setelah  terjadinya  perpecahan
epistemologi  dalam  sejarah  pemikiran  Marx,  di  samping  pengaruh  Weber.  Paradigma  inilah  yang
menjadi  bibit  lahirnya  teori  sosiologi  radikal.  Penganutnya  antara  lain  Luis  Althusser,  Polantzas,
Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
44
Diagram 2
Peta Analisis Sosial Barnel & Morgan (1979)
SUBYEKTIVIS
Keteraturan
Subyektivis
PARADIGMA
INTERPRETATIF
(FENOMENOLOGI)
PARADIGMA
FUNGSIONALISME
Keteraturan
Obyektivis
OBYEKTIVIS
Pertentangan
Subyektivis
PARADIGMA
HUMANIS
RADIKAL
PARADIGMA
STRUKTURALIS
RADIKAL
Pertentangan
Obyektivis
Catatan Kritis
Paradigma-paradigma sosiologi tersebut sangat  mempengaruhi bagaimana seorang pemikir
sosial  dalam  mengembangkan  teori  sosial.  Misalnya  saja,  penganut  paradigma  interpretatif  atau
sosiologi  fenomenologis  akan  mengembangkan  teori  perubahan  sosial  yang  sama  sekali  berbeda
dengan  penganut  fungsionalisme.  Penganut  aliran  fenomenologis,  karena  dasar  filsafatnya  adalah
mencoba  memahami  dan  mendengarkan  kehendak  masyarakat,  maka  perubahan  sosial  lebih  diutamakan  ke  arah  yang  dikehendaki  oleh  masyarakat  tersebut.  Berbagai  metodologi  dikembangkan,
seperti  “etnografi”  ataupun  “riset  observasi”,  untuk  menangkap  dan  memahami  simbol-simbol
kehendak masyarakat.
Sementara  bagi  penganut  fungsionalisme  yang  bersandarkan  pada  paradigma  positivisme,
mereka merasa berhak untuk melakukan “rekayasa sosial”  sehingga akan berpengaruh ketika mereka
berhadapan  dengan  masyarakat.  Masyarakat  dalam  proses  perubahan  sosial  model  positivisme  dan
rekayasa  sosial,  ditempatkan  sebagai  “objek”  perubahan.  Oleh  karenanya,  mereka  diarahkan,
dikontrol, direncanakan, serta dikonstruksi oleh kalangan ilmuwan, birokrat, dan bahkan koordinator
program  LSM  yang  menganut  paham  positivisme  tersebut.  Mereka  memisahkan  antara  masyarakat
sebagai  objek  perubahan,  ilmuwan  dan  peneliti  atau bahkan  tenaga  lapangan  sebagai  tenaga-tenaga
ilmiah yang objektif, rasional, tidak memihak, dan bebas nilai, dan birokrat atau negara dalam proses
perubahan  sosial  berperan  sebagai  pengambil-pengambil  keputusan.  Dengan  demikian,  proses
perubahan sosial penganut paradigma ini, teori perubahan sosialnya bersifat elitis. Demikian halnya,
penganut paradigma struktural akan memahami masalah sosial dan mengajukan teori perubahan sosial
yang berbeda dibanding teori yang diajukan para penganut fungsionalis maupun fenomenologis. Bagi
para penganut paradigma kritis transformatif, teori perubahan sosial dimaksudkan sebagai proses yang
melibatkan korban untuk perubahan transformasi sistem dan struktur menuju ke sistem yang lebih adil.
Dengan  demikian  proses  perubahan  sosial  berwatak  subjektif,  memihak,  tidak  netral,  dan  untuk
terciptanya keadilan sosial dan oleh karenanya berwatak populis.
Dengan  memahami  berbagai  peta  paradigma  perubahan  sosial  tersebut,  akan  lebih  mudah
bagi  kita  untuk  memahami  apa  motivasi  dan  dasar  pikiran  suatu  teori  perubahan  sosial  dan
pembangunan. Dengan memahami paradigma sosiologi yang dianut  oleh pencetusnya, kita juga dapat
memahami  berbagai  metodologi  dan  pendekatan  proyek  pembangunan  maupun  aksi  sosial  di  akar
rumput.  Hal  ini  karena,  pada  dasarnya,  metodologi  dan  teknik  program  perubahan  sosial  maupun
pembangunan,  serta  teori-teori  perubahan  sosial  yang  dikembangkan  oleh  seseorang  atau  suatu
organisasi  sangat  konsisten  dalam  mengikuti  paradigma  yang  diyakini  maupun  yang  dianutnya.
Paradigma  sosiologis  yang  dianut  tidak  saja  mempengaruhi  bagaimana  suatu  teori  sosial  memberi
makna  terhadap  realitas  sosial,  tetapi  juga  mempengaruhi  visi  dan  misi  suatu  teoti  sosial,  bahkan
mempengaruhi  pula  penentuan  pendekatan  ketika  seseorang  atau  suatu  organisasi  melakukan
penelitian  serta  aksi  praktik  manajemen  pelaksanaan  suatu  teori  sosial  dalam  bentuk  program
pengembangan  masyarakat  ataupun  pembangunan,  maupun  pilihan  pendekatan  evaluasi  terhadap
program tersebut.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
45
BAGIAN II
Langkah Praxis Analisis Sosial
A.  Apakah Analisa Sosial Itu?
Suatu proses analisa sosial adalah usaha untuk  mendapatkan gambaran yang lebih  lengkap
tentang situasi sosial, hubungan-hubungan struktural, kultural dan historis.  Sehingga memungkinkan
menangkap  dan  memahami  realitas  yang  sedang  dihadapi.  Suatu  analisis  pada  dasarnya  “mirip”
dengan sebuah “penelitian akademis”  yang berusaha menyingkap suatu hal atau aspek tertentu. Dalam
proses ini yang dilakukan bukan sekedar mengumpulkan data, berita atau angka, melainkan berusaha
membongkar apa yang terjadi sesungguhnya, bahkan menjawab mengapa demikian, dan menemukan
pula faktor-faktor apa yang  memberikan pengaruh  kepada kejadian tersebut. Lebih  dari  itu, analisis
sosial, seyogyanya mampu memberikan prediksi ke depan: kemungkinan apa yang tetjadi.
Analisa  sosial  merupakan  upaya  untuk  mengurai  logika,  nalar,  struktur,  atau  kepentingan
dibalik  sebuah  fenomena  sosial.  Analisa  sosial  bukan  semata  deskripsi  sosiologis  dari  sebuah
fenomena sosial. Analisa sosial hendak menangkap logika struktural atau nalar dibalik sebuah gejala
sosial.  Analisa  sosial  dengan  demikian  material,  empiris,  dan  bukan  sebaliknya,  mistis,  atau
spiritualistik. Analisa sosial menafsirkan gejala sosial sebagai gejala material. Kekuatan dan gagasan
ideologis dibalik gejala sosial harus dianalisa.
B.  Wilayah Analisa Sosial
1.  Sistem-sistem yang beroperasi dalam suatu masyarakat.
2.  Dimensi-dimensi  obyektif  masyarakat  (organisasi  sosial,  lembaga-lembaga  sosial,  pola
perilaku, kekuatan-kekuatan sosial masyarakat)
3.  Dimensi-dimensi  subyektif  masyarakat  (ideologi,  nalar,  kesadaran,  logika  berpikir,  nilai,
norma, yang hidup di masyarakat).
C.  Pendekatan Dalam Analisa Sosial
1.  Historis:  dengan  mempertimbangkan  konteks  struktur  yang  saling  berlainan  dari  periodeperiode berbeda, dan tugas strategis yang berbeda dalam tiap periode.
2.  Struktural:  dengan  menekankan  pentingnya  pengertian  tentang  bagaimana  masyarakat
dihasilkan  dan  dioperasikan,  serta  bagaimana  pola  lembaga-lembaga  sosial  saling  berkaitan
dalam ruang sosial yang ada.
Bagaimana Hasil Analisa Sosial?
Apakah hasil kesimpulan dari analisa sosial bersifat final? tentu saja tidak. Karena hasil dari
analisa  tersebut  dapat  dikatakan  hanya  merupakan  kebenaran  tentatif,  yang  bisa  berubah  sesuatu
dengan fakta atau data dan temuan-temuan yang baru.  Dengan demikian, analisa ini bersifat dinamis,
terus  bergerak,  memperbarui  diri,  dikaji  ulang  dan  terus  harus  diperkuat  dengan  fakta-fakta
pendukung. Hasil analisa bukan suatu dogma, atau sejenis kebenaran tunggal.
D.  Batas Analisa Sosial
1.  Analisa  sosial  bukanlah  kegiatan  monopoli  intelektual,  akademisi,  atau  peneliti.  Siapapun
dapat melakukan analisa sosial.
2.  Analisa sosial tidaklah bebas nilai.
3.  Analisa  sosial  memungkinkan  kita  bergulat  dengan  asumsi-asumsi  kita,  mengkritik,  dan
menghasilkan pandangan-pandangan baru.
E.  Siapa Pelaku Analisa Sosial?
Semua pihak atau pelaku sosial  yang  menghendaki untuk  mendekati  dan terlibat langsung
dengan  realitas  sosial.  Bicara  tentang  analisis  sosial,  pada  umumnya  selalu  dikaitkan  dengan  dunia
akademik, kaum cendikiawan, ilmuwan atau kalangan terpelajar lainnya. Ada kesan yang sangat kuat
bahwa anaIisis sosial hanya milik “mereka”. Masyarakat awam tidak punya hak untuk melakukannya.
Bahkan kalau melakukan, maka disediakan mekanisme sedemikian rupa, sehingga hasil analisis awam
itu dimentahkan.
Pemahaman  yang  demikian,  bukan  saja  keliru,  melainkan  mengandung  maksud-maksud
tertentu yang tidak sehat dan penuh dengan kepentingan. Pengembangan analisis sosial di sini, justru
ingin  membuka  sekat  atau  dinding  pemisah  itu,  dan  memberikatmya  kesempatan  kepada  siapapun
untuk  melakukannya.  Malahan  mereka  yang  paling  dekat  dengan  suatu  kejadian,  tentu  akan
merupakan  pihak  yang  paling  kaya  dengan  data  dan  informasi.  Justru analisis  yang  dilakukan  oleh
mereka  yang  dekat  dan  terlibat  tersebut  akan  lebih  berpeluang  mendekati  kebenaran.  Dengan
demikian,  tanpa  memberikan  kemampuan  yang  cukup  kepada  masyarakat  luas  untuk  melakukan
analisis terhadap apa yang terjadi di lingkungan mereka, atau apa yang mereka alami, maka mereka
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
46
menjadi sangat mudah “dimanipulasi”,  “dibuat bergantung”  dan pada gilirannya tidak bisa mengambil
sikap yang tepat.
Mengapa Gerakan Sosial Membutuhkan Analisa Sosial ?
Kalau  kita  pahami  secara  lebih  mendalam,  aktivitas  sosial  adalah  sebuah  proses  penyadaran masyarakat dari suatu kondisi tertentu kepada kondisi yang lain yang lebih baik (baca:
kesadaran kritis)  Kalau kita menggunakan isti1ah yang lebih populer, aktivitas semacam itu bisa
juga disebut sebagai aktivitas pemberdayaan  (Empowerment)  untuk suatu entitas atau komunitas
masyarakat tertentu. Dari statemen tersebut, maka akan termuat suatu makna bahwa sebenarnya
kesadaran kritis atas realitas  sosial  ini pada dasarnya ada pada  setiap  diri manusia.  Hanya  saja
tingkat  kesadaran  kritis  pada  masing-masing  orang  itu  kadarnya  berbeda-beda.  Dan  aktivitas
sosial  adalah  alat  untuk  menyadarkan  atau  memotivasi  bagi  munculnya  kesadaran  tersebut.
Meskipun, sebagaimana kita ketahui, bahwa membangun kesadaran kritis atas realitas sosial itu
tidaklah  semudah  membalik  tangan,  karena  kesadaran  itu  dilingkupi  oleh  persoalan-persoalan
(sosial  dan  sebagainya),  yang  senan tiasa  membelenggunya.  Kalau  kita  gambarkan,  maka
persoalan yang melingkupi kesadaran kritis akan realitas sosial itu adalah sebagai berikut:
Diagram 3
Peta Aktivitas Analisis Sosial, H.A. Taufiqurrahman (1999)
Aktivitas Sosial    Aktivitas Non-Sosial
A: Kesadaran Kritis
Out-put: Aktivis Gerakan Sosial yang Kritis akan Realitas Sosial
Oleh  karena  itu,  untuk  masuk  pada  titik  sentral  kesadaran  kritis  atas  realitas  sosial
sebagaimana  dimaksud  dalam  gerakan  sosial  di  atas,  maka  tidak  mungkin  untuk  tidak
membongkar,  mengurai  dan  menganalisa  persoalan-persoalan  yang  ada  disekitarnya.  Pada
konteks inilah kompetensi analisis sosial dalam gerakan sosial.
Signifikansi Analisa Sosial
1.  Untuk mengidentifikasikan dan memahami persoalan-persoalan yang berkembang (ada)
secara  lebih  mendalam  dan  seksama  (teliti);  berguna  untuk  membedakan  mana  akar
masalah  (persoalan  mendasar)  dan  mana  yang  bukan,  atau  mana  yang  merupakan
masalah turunan.
2.  Akan dapat dipakai untuk mengetahui potensi yang ada (kekuatan dan kelemahan) yang
hidup dalam masyarakat.
3.  Dapat  mengetahui  dengan  lebih  baik  (akurat)  mana  kelompok  masyarakat  yang  paling
dirugikan (termasuk menjawab mengapa demikian).
4.  Dari hasil analisa sosial tersebut dapat proyeksikan apa yang mungkin akan terjadi, sehingga
dengan demikian dapat pula diperkirakan apa yang harus dilakukan.
F.  Orientasi Analisa Sosial
1.  Analisa sosial jelas didedikasikan dan diorientasikan untuk keperluan perubahan.
2.  Analisa  sosial  adalah  watak  mengubah  yang  dihidupkan  dalam  proses  identifikasi.  Justru
karena itu pula,  maka  menjadi  jelas bahwa analisa sosial  merupakan salah satu titik simpul
dari proses mendorong perubahan.
3.  Analisa  sosial  akan  menghasilkan  semacam  peta  yang  memberikan  arahan  dan  dasar  bagi
usaha-usaha perubahan.
Ekonomi
Politik    A    Sosial
Budaya
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
47
MASALAH  JALAN
KELUAR
PEMECAHAN
MASALAH
ANALISIS SOSIAL
Tindakan
yang
dilakukan
Rumusan
masalah
Akal Fikiran
Keyakinan
Data
Fakta
PROSES
ANALISIS
SOSIAL
G.  Prinsip-Prinsip Analisa Sosial
1.  Analisa sosial bukan suatu bentuk pemecahan masalah, melainkan hanya diagnosis (pencarian
akar masalah), yang sangat mungkin digunakan dalam menyelesaikan suatu masalah, karena
analisa  sosial  memberikan  pengetahuan  yang  lengkap,  sehingga  diharapkan  keputusan  atau
tindakan yang diambil dapat merupakan pemecahan yang tepat.
2.  Analisa sosial tidak bersifat netral, selalu berasal dari keberpihakan terhadap suatu keyakinan.
Soal ini berkait dengan perspektif, asumsi-asumsi dasar dan sikap yang diambil dalam proses
melakukan  analisa.  Karena  pernyataan  di  atas,  maka  analisa  sosial  dapat  digunakan  oleh
siapapun.
3.  Analisa  sosial  lebih  memiliki  kecenderungan  mengubah;  tendensi  untuk  menggunakan
gambaran  yang  diperoleh  dari  analisa  sosial  bagi  keperluan  tindakan-tindakan  mengubah,
maka menjadi sangat jelas bahwa analisa sosial berposisi sebagai salah satu simpul dan siklus
kerja transformasi.
4.  Analisa  sosial  selalu  menggunakan  ‘tindakan  manusia’  sebagai  sentral  atau  pusat  dalam
melihat suatu fenomena nyata.
H.  Tahap-Tahap Analisa Sosial
1.  Tahap  menetapkan  posisi,  orientasi:  pada  intinya  dalam  tahap  ini,  pelaku  analisa  perIu
mempertegas  dan  menyingkap  motif  serta  argumen  (ideologis)  dari  tindakan  analisa
sosial.
2.  Tahap pengumpulan dan penyusunan data:  tujuan dan maksud dari tahap ini, agar analisa
memiliki dasar rasionalitas yang dapat diterima akal sehat. Ujung dari pengumpulan data
ini  adalah  suatu  upaya  untuk  merangkai  data,  dan  menyusunnya  menjadi  diskripsi
tentang suatu persoalan.
3.  Tahap  analisa:  pada  tahap  ini,  data  yang  telah  terkumpul  diupayakan  untuk  dicari  atau
ditemukan hubungan diantaranya.
Diagram 4
Peta Proses Analisis Sosial, H.A. Taufiqurrahman (1999)
Apa Yang Penting Ditelaah dalam Melakukan Analisa Sosial
1.  Kaitan Historitas (Sejarah Masyarakat).
2.  Kaitan Struktur.
3.  Nilai.
4.  Reaksi yang berkembang dan arah masa depan.
I.  Model Telaah dalam Analisa Sosial
1.  Telaah Historis,  dimaksudkan  untuk  melihat  ke  belakang.  Asumsi  dasar  dari  telaah  ini
bahwa suatu peristiwa tidak dengan begitu saja hadir, melainkan melalui sebuah proses
sejarah.  Dengan  ini,  maka  kejadian,  atau  peristiwa  dapat  diletakkan  dalam  kerangka
masa lalu, masa kini dan masa depan.
2.  Telaah Struktur.  Biasanya orang enggan dan cemas melakukan telaah ini, terutama oleh
stigmatisasi  tertentu.  Analisa  ini  sangat  tajam  dalam  melihat  apa  yang  ada,  dan
mempersoalkan  apa  yang  mungkin  tidak  berarti  digugat.  Struktur  yang  akan  dilihat
adalah:  ekonomi  (distribusi  sumberdaya);  politik  (bagaimana  kekuasaan  dijalankan);
sosial  (bagaimana  masyarakat  mengatur  hubungan  di  luar  politik  dan  ekonomi);  dan
budaya (bagaimana masyarakat mengatur nilai). 
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
48
3.  Telaah Nilai.  Penting  pula  untuk  diketahui  tentang  apa  nilai-nilai  yang  dominan  dalam
masyarakat.  Mengapa  demikian.  Dan  siapa  yang  berkepetingan  dengan  pengembangan
nilai-nilai tersebut.
4.  Telaah Reaksi.  Melihat reaksi yang berkembang berarti mempersoalkan mengenai siapa
yang lebih merupakan atau pihak mana yang sudah bereaksi, mengapa reaksi muncul dan
bagaimana bentuknya. Telaah ini penting untuk menuntun kepada pemahaman mengenai
“peta” kekuatan yang bekerja.
5.  Telaah  Masa  Depan.  Tahap  ini  lebih  merupakan  usaha  untuk  memperkirakan  atau
meramalkan,  apa  yang  terjadi  selanjutnya.  Kemampuan  untuk  memberikan  prediksi
(ramalan) akan dapat menjadi indikasi mengenai kualitas tahap-tahap sebelumnya.
Diagram 5: Peta Kerangka Pikir Analisas Sosial
Paradigma Konsensus  Paradigma Konflik
Konservatif  Liberal  Konflik/ Transformis
Dalam masyarakat ada kelas-kelas sosial, dan ada
kerukunan kelas
Ada kelas sosial, ada konlik antar-kelas
Struktur sosial merupakan hasil konsensus antar anggota
masyarakat, struktur sosial tidak pernah dipemasalahkan,
bahkan dipertahankan
Struktur sosial adalah hasil konstruksi
kelas sosial tertentu, yang dipaksakan
untuk ditaati oleh masyarakat. Struktur
sosial selalu dipermasalahkan
Akar pemasalahan terletak
pada manusia itu sendiri, atau
karena sesuatu kekuatan
suprasejarah
Akar permasalahan
terletak pada
kesenjangan kesadaran,
kurangnya kesempatan,
kurangnya
keterampilan,
kesempatan, dan
lainnya.
Akar permasalahan berakar pada
struktur sosial yang tidak adil,
menindas.
Meringankan beban korban  Modernisasi sosial  Mentransformasikan struktur yang tidak
adil ke struktur yang adil
Pembagian sembako, bakti
sosial, pengobatan gratis,
khotbah, bantuan untuk
kelaparan, pelayanan kaum
cacat, himbauan moral, dan
lainnya
Pelatihan, kurus,
pembangunan
infrastruktur
Pengorganisiran masyarakat, pendidikan
politik, gerakan sosial, advokasi
kebijakan,gerakan massa, pemogokan,
pemboikotan, gagasan-gagasan sosial
dan struktur alternatif
Masyarakat itu sendiri  Kaum elite, pemerintah,
agamawan, LSM, dan
lainnya
Masyarakat dan kepemimpinan
perubahan/gerakan
Otoritas   Instruktif, konsultatif  Delegatif, kepemanduan, trasnformatif
Kasinh sayang, menolong
orang miskin, kepedulian,
rasa kemanusiaan
Persamaan hak dan
kesempatan
Kesadaran struktural
Karitatif   Reformatif   Transformatif
Diagram 6: Model-Model Perubahan dan Implikasinya
Implikasi  Model EKonomi  Model Sosial  Model Politik
Ekonomi  Akumulasi
kapital/kapitalisasi
(Re)Distribusi    Transformasi struktural
Politik  Stabilitas   Bantuan   Mobilisasi/trasnformasi
politik
Kebudayaan  Pertumbuhan  Kesamaan   Trasnformasi
kultural/Imajinasi
Transformasi  Pertumbuhan
infrastruktur
Penguatan daya beli  Struktural
Missi  Panggilan kelas
menengah
Bekerja dengan
masyarakat marjinal
Mendorong trasnformasi
struktural dalam semua level
Pendidikan  Peningkatan
infrastruktur sekolah
Pemberian atau
pencarian beasiswa
Akses struktural Pendidikan 
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
49
Diagram 7: Model Perubahan Interpretatif
Variabel  Tradisional  Liberal  Radikal
Pandangan waktu  Siklis   evolusioner  Transformatif
Pandangan ruang  organis  pluralis  Interdependen
Prinsip pengatur  Otoritarian/keterti
ban
Managerial/
Keseimbangan
Partisipatif/masyarakat
Perubahan utama  Biologis/ Tubuh  mekanistik  Transformasional
Sikap terhadap
konflik
Menyerap atau
menolak
Mengawasi   Mengelola konflik
Keterangan:
Tradisional
1.  Siklis: kepingan-kepingan episode (maa lalu, kini, masa depan) dintegrasikan dalam keseluruhan
sejaah
2.  Organis: hanya ada susunan tunggal yang diatur sesuai kepentingan umum
3.  Otoritarian: masyarakat dipandang seperti piramida yang dikendalikan dari puncak dengan sedikit
partisipasi bawah
4.  Biologis: masyarakat dipandang seperti organisme yang analog dengan tubuh manusia
5.  Menyimpang: perubahan yang mengubah siklus sejarah dianggap menyimpang
Liberal
1.  Evolusioner:  perkembangan  sejarah  bersifat  linear.  Gerak  sejarah  bukan  siklis,  tapi
kemajuan/progresif
2.  Pluralis:  ruang  sosial  disusun  berdaasarkan  berbagai  macam  bagian  yang  tidak  terpisah  dan  tak
berhubungan
3.  Manajerial: menjaga keseimbangan semua unsur atau bagian
4.  Mekanistik: masyarakat dipandang sebagai  mesin yang bekerja
5.  Pengawasan:  perubahan  sosial  merupakan  kehendak  sejarah,  namun  tidak  mengubah  struktur
dasar yang mendasarinya. Perubahan selalu diawasi agar tidak menyimpang
Transformatif
1.  Transformatif: setiap peristiwa sejaah dipandang secara fundamental menimbulkan tahapan baru,
masa lalu, sekarang, dan masa depan, terkait secara dialektik
2.  Interdependen: masyarakat dianggap sebagai keseluruhan sistem yang kreatif, dialektik.
3.  Partisipasi: kepentingan umum merupakan input masyarakat, hasil definisi masyarakat
4.  Transformasi kultural: masyarakat terbentuk secara kreatif melalui dialog maupun cita-cita utopis
anggotanya.
5.  Kreatif: konflik merupakan penggerak sejarah, dan kemajuan.
J.  Tahap Penarikan Kesimpulan Analisa Sosial
Pada  tahap  ini,  setelah  berbagai  aspek  tersebut  ditemukan,  maka  pada  akhirnya  suatu
kesimpulan  akan  diambil;  kesimpulan  merupakan  gambaran  utuh  dari  suatu  situasi,  yang
didasarkan  kepada  hasil  analisa.  Dengan  demikian  kualitas  kesimpulan  sangat  bergantung  dari
proses  tahap-tahap  analisa,  juga  tergantung  pada  kompleksitas  isu,  kekayaan  data  dan  akurasi
data  yang  tersedia,  ketepatan  pertanyaan  atau  rumusan  terhadap  masalah,  dan  kriteria  yang
mempengaruhi penilaian-penilaian alas unsur-unsur akar masalah.
Dasar Penarikan Kesimpulan Analisa Sosial
Yang  tidak  kalah  penting  adalah  menemukan  apa  yang  menjadi  akar  masalah.  Untuk
menemukan  akar  masalah  dapat  dituntun  dengan  pertanyaan:  mengapa?  Untuk  sampai  kepada
akar masalah,  maka  penting dilakukan kualifikasi secara ketat, guna menentukan faktor mana yang
paling penting. Kesimpulan tidak lain berbicara mengenai faktor apa yang memberikan pengaruh paling  dominan  (paling  kuat)  dan  demi  kepentingan  siapa  unsur  akar  tersebut  bekerja.  Sebagaimana
diungkapkan  di  depan,  kesimpulan  tidak  menjadi  sesuatu  yang  final,  melainkan  akan  mungkin
diperbaiki menurut temuan-temuan atau data baru.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
50
BAGIAN III
PENGORGANISASIAN MASYARAKAT
Proses  membangun  organisasi  masyarakat   disebut  pngorganisasian  masyarakat  .
Pengorganisasian  dalam  masyarakat   mungkin  bagi  sebagian  warga  merupakan  istilah  yang  baru,
tetapi  konsep  ini sudah  dikenal luas  di  kalangan  organisasi umum  yang lain. Pengorganisasian bisa
menjadi  kebutuhan  ketika  realitas  kehidupan  sosial  masyarakat   sudah  berkembang  sedemikian
kompleksnya, sehingga sebuah usaha tidak bisa dilakukan secara individual lagi (warga-perwargaan)
melainkan harus menjadi usaha bersama dalam bentuk kelompok. Dengan demikian, pada pengertian
yang  paling  sederhana,  Konsep  serba  bersama  ini  merupakan  batas  pembeda  antara  upaya
pengorganisasian  masyarakat   dengan   upaya  perwargaan  maupun  strategi  menyerahkan  segala
sesuatunya  pada  pemimpin  yang  sudah  pasti  dilakukan  secara  individual.  Dalam  membangun
organisasi  masyarakat   ada  beberapa  penekanan  dan  pemisahan  secara  manajemen
pengorganisasiannya.  Pemisahan  manajemen  pengorganisasian  ditujukan  untuk  mengahadapi
permasalahan-permasalahan yang muncul di tingkatan masyarakat . Permasalahan yang muncul bisa
dibedakan  dalam  dua  hal,  secara  internal  dan  eksternal.  Begitu  pula  cara  membangun  organisasi
masyarakat dengan internal dan eksternal dengan harapan organisasi mampu mengatasi dua persoalan
ini secara baik.
Landasan & Tujuan pengorganisasian
  Landasan Pengorganisasian
Landasan  filosofis  dari  kebutuhan  untuk  membangun  organisasi  adalah  membangun
kepentigan  secara  bersama–sama  pada  seluruh  masyarakat,  karena  masyarakat   sendiri  yang
seharusnya berdaya dan menjadi penentu dalam melakukan perubahan sosial. Perubahan sosial yang
dimaksud  adalah  perubahan  yang  mendasar  dari  kondisi  ekonomi,  sosial,  politik  dan  kebudayaan.
Dalam  konteks  masyarakat,  perubahan  sosial  juga  menyangkut  multidemensional.  Dalam  demensi
ekonomi seringkali  ‘dimimpikan’   terbentuknya kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh warga
masyarakat . Dalam segi politik selalu diinginkan keleluasaan dan kebebasan bagi masyarakat untuk
berpartisipasi, berkompetisi serta diakui hak-hak sipil dan politiknya. Sedangkan  dalam sisi budaya,
dirasakan  ada  keinginan  untuk  mengekspresikan  kearifan  kebudayaan  lokal.  Landasan  filosofis
pengorganisasian lainnya adalah melakukan adalah pemberdayaan. Karena pada dasarnya  masyarakat
sendiri  yang  seharusnya  berdaya  dan  menjadi  penentu  dalam  melakukan  perubahan  sosial.
Pengorganisasian  masyarakat  bertujuan  agar  masyarakat  menjadi  penggagas,  pemrakarsa,  pendiri,
penggerak  utama  sekaligus  penentu  dan  pengendali  kegiatan-kegiatan  perubahan  sosial  yang  ada
dalam organisasi masyarakat .
  Tujuan Pengorganisasian 
Pengorganisasian  dalam  sebuah  organisasi  masyarakat   ditujukan  untuk  membangun  dan
mengembangkan  organisasi.  Pengorganisasian  mempunyai  peranan  yang  luar  biasa  bagi  organisasi
secara internal dan  eksternal. Secara internal tujuan pengorganisasian adalah  membangun  organisasi
masyarakat.  Secara  eksternal  tujuan  pengorganisasian  adalah  membangun  jaringan  antar  organisasi
masyarakat   untuk  menghadapi  masalah–masalah  bersama  atau  lebih  ditujukan  untuk  membangun
kekuatan  bersama  yang  lebih  besar  lagi.  Selain  itu,  tujuan  pengorganisasian  adalah  mnyelesaikan
konflik–konflik  atau  masalah  masalah  yang  terjadi  di  tengah  warga  masyarakat   yang  setiap  saat
muncul dan harus segera diselesaikan untuk menuju perubahan sosial yang lebih baik.
Manfaat Melakukan Pengorganisasian
Mengorganisir diri punya  manfaat janorganisir diri punya  manfaat janalam  jangka pendek,
mengorganisir  diri  adalah  suatu  alat  effektif  untuk  membuat  sesuatu  terlaksana;  memperbaiki
pelayanan  pada  masyarakat,  termasuk  pelayanan  dalam  bidang  ekonomi  (modal-teknologi),
menurunkan  beban  pajak,  memastika  jaminan  lapangan  kerja,  perubahan  kebijakan  di  tingkat
masyarakat   atau  di  luar,  memperbaiki  pelayanan  angkutan  umum  dan  kesehatan,  melindungi
lingkungan hidup dan alam sekitarnya, serta sebagainya. Intinya, banyak diantara masalah keseharian
yang kita hadapi saat ini dapat dipecahkan dan dirubah dengan cara mengorganisir diri.
Mengorgansir  diri  juga  punya  manfaat  jangka  panjang  yang  mungkin  jauh  lebih  penting.
Melalui  proses-proses  pengorganisasian,  masyarakat   bisa  belajar  sesuatu  yang  baru  tentang  diri
sendiri.  Masyarakat   akan  menemukan  bahwa  harga  diri  dan  martabat  mereka  selama  ini  selalu
diabaikan dan diperdayakan. Dengan pengorganisasian, masyarakat, warga dapat menemukan bahwa
kehormatan dan kedaulatan mereka selama ini justru tidak dihargai karena ketiadaan kepercayaan diri
di  antara  warga  masyarakat   sendiri.  Warga  masyarakat   dengan  demikian  akan  mulai  belajar
bagaimana caranya mendayagunakan semua potensi, kemampuan dan ketrampilan yang mereka miliki
dalam  proses-proses  pengorganisasian;  bagiamana  bekerja  bersama  dengan  warga  lain,  menyatakan
pendapat dan sikap  mereka secara terbuka, mempengaruhi kebijakan resmi,  menghadapi lawan atau
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
51
musuh bersama. Akhirnya,  melalui pengorganisasian, masyarakat mulai  mengenal  dan  menemukan
diri  mereka sendiri. Warga masyarakat akan bisa  menemukan siapa mereka sebenarnya selama ini,
berasal dari mana, seperti apa latar belakang mereka, sejarah mereka, cikal-bakal mereka, akar budaya
mereka  serta  kepentingan  bersama  mereka.  Warga  masyarakat   akan  menemukan  kembali  sesuatu
yang  bermakna  dalam  lingkungan  keluarga  mereka,  kelompok  suku  atau  bahasa  asal  mereka  yang
memberi mereka kembali martabat dan kekuatan baru.
Kerja Pengorganisasian (Pengorganisiran)
Salah satu kerja penting dari pengorganisasian adalah pengorganisiran. Hal menakjubkan
dalam  keseluruhan  proses  mengorganisir  adalah  tenyata  hal  itu  dapat  dilakukan  oleh  siapa  saja.
Pengorganisiran  seringkali  dikesankan  sulit  atau  bahkan  musykil.  Tetapi  dalam  kenyataannnya,
mengorganisir adalah suatu proses  yang sebenarnya tidak ruwet. Itu  tergantungan pada  ketrampilan
dasar yang sebagian besarnya sebenarnya sudah dimiliki oleh masyarakat dalam kadar yang sama dan
memadai. Salah stau contoh yang cukup relevan dengan hal ini adalah   ketrampilan sehari-hari untuk
hidup bersama yang sudah dimiliki oleh masyarakat . Pelembagaan kerja bersama sudah terwujudkan
ke  dalam berbagai  macam  kerja organisasi asli seperti  “upacara  “,  “gotong–royong”, dan sebagian.
Memang tidak ada resep serba jadi dalam proses pengorganisiran, ada beberapa langkah tertentu yang
perlu  dilakukan  dalam  keadaan  tertentu  pula.  Tetapi  semua  langkah  itu  sebenarnya  sederhana  dan
mudah dipelajari oleh warga sekalipun.   Dengan demikian, semua warga dapat mengorganisir. Semua
warga  dapat  belajar  tentang  asas-asas  pengorganisasian.  Tidak  ada  yang  lebih  hebat  dibandingkan
dengan yang lain.
Mengapa Warga Mengorganisir Diri atau Menolak untuk itu?
Warga-warga  masyarakat   mengorganisir  diri  karena  beberapa  alasan  yang  mungkin
berbeda. Adakalanya diperlukan pendekatan agar alasan yang beragam itu bisa dijadikan satu landasan
untuk  menghimpun  diri  bersama-sama.  Dengan  demikian  salah  satu  landasan  awal  dari  upaya
mengorganisir  diri  adalah  tersedianya  landasan  bersama  (common  platform),  baik  berupa  nilai,
institusi  dan  mekanisme  bersama.  Misalnya,  pengorganisasian  harus  jelas  visi  dan  misi  yang  ingin
dicapai dari upaya pengorganisasian itu. Visi dan Misi itulah kemudian diturunkan ke dalam strategi
dan program yang bisa menjawab kebutuhan anggota secara lebih jelas.
Mengapa sebagian warga tidak mengorganisir diri?  Tidak semua warga yang mempunyai
masalah  lantas mengorganisir diri. Beberapa warga   akan tetap berkutat mencoba menyelesaikannya
sendirian,  meskipun  sudah  terbukti  berkali-kali  gagal  atau  kurang  berhasil.  Ada  banyak  alasan
mengapa  warga  menolak  berhimpun  dengan  warga  lain:  ada  sebagin  warga  pengorganisasian
merupakan hal baru, merasa cemas karena akan dimintai sesuatu atau melakukan sesuatu yang mereka
yakini belum pasti, takut dimintai pertanggungjawaban atau menyatakan pendapatnya di depan umum.
Alasan  lain  adalah  takut  pada  apa  yang  bakal  terjadi  jika  pengorganisasi  itu  nanti  sudah  berjalan,
mereka  akan  mendapatkan  tantangan,  rintangan  ataupun  akibat-akibat  lain  yang  dirasakan
memberatkan. Karena alasan-alasan tersebut di atas menyebabkan banyak warga lebih memilih untuk
menggunakan  cara-cara pemecahan persoalan secara perwargaan, terhadap banyak persoalan yang
sebnarnya dirasakan oleh banyak warga.
Dimana melakukan Kerja–Kerja Pengorganisasian
Tempat terbaik untuk untuk memulai suatu pengorganisasian adalah   suatu pengorganisasian
adalah   berada, dengan  warga-warga yang ada di sekitar anda, tentang  masalah  yang  memang oleh
warga  diprihatinkan  bersama,  tentang  sesuatu  yang  oleh  warga  masyarakat   menginginkan  terjadi
perubahan  atasnya.  Mulailah  dengan  bekerja  dan  hidup  bersama  warga,  warga  masyarakat   seperti
anda  juga,  mereka  yang  membagi  minat  dan  perhatian  yang  sama  dengan  anda  dan  yang  lainnya.
Pengorganisasian  tidak  perlu  merupakan  sesuatu  yang  serba  besar  pada  awal  mulanya,  jika  ingin
berhasil. Pengorganisasian bisa dimulai dari sebuah kelompok yang kecil.
Apa yang harus Kita Kerjakan dalam Pengorganisasian ?
Langkah  Pertama,  salah  satu  yang  bisa  dilakukan  adalah  mempelajari  situasi  sosial
kemasyarakatan  di   masing-masing.   sebagai  entitas  politik,  ekonomi  bisa  dipilah  berdasarkan
kategori; region (dusun), profesi (petani-pengrajin-pengusaha), ataupun kekerabatan (trah). Di sebuah
masyarakat   yang  meletakkan  konteks  kewilayahan  sebagai  sesuatu  yang  penting,  maka
pengorganisasian  bisa  menggunakan  pemilihan  regional  yang  berbasisikan  dusun.  Demikianpula
apabila,  basis  pengorganisasian  lebih  tepat  menggunakan  kreteri  profesi  maka  strategi  yang  dipilih
bisa menyesuaikan dengan keadaan sosial tersebut.
Langkah Kedua,  pengorganisasian juga seharusnya memperhatikan titik masuk institusional
(kelembagaan).  Pertanyaan  yang  relevan  adalah  apakah  upaya  pengorganisasian  dilakukan  dengan
menggunakan  lembaga-lembaga  yang  sudah  ada,  seperti  kelompok  masyarakat  ,  assosiasi  lembaga
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
52
ekonomi atau  lembaga lain resmi yang seringkali dalam pembentukannya  ‘dibidani’  oleh pemerintah.
Atau upaya pengorganisasian dilakukan dengan membentuk wadah baru sama sekali. Tentu saja kedua
jalan itu mempunyai sejumlah kelebihan dan kelemahan. Kelebihan penggunaan  lembaga yang sudah
ada  adalah  relatif  tersedianya  prasarana  dan  sarana  bagi  kerja-kerja  pengorganisasian.  Kelamahan
jalan  ini  adalah  bentuknya  yang  sangat  kaku  karena  diin  dari  atas.  Sedangkan  jalan  pembentukan
wadah  baru  mempunyai  kelebihan  karena  relatif  lebih  mandiri  dan  partispatif  namun  mempunyai
kelemahan  yang  bersumber  dari  belum  terlembaganya  mekanisme  organisasi  sehingga  bersifat  trial
and error.
Langkah  Ketiga,  melakukan  dan  memperkuat  kerja-kerja  basis.  Yang  dimaksud  dengan
kerja-kerja basis adalah kerja-kerja yang dilakukan oleh kelompok inti (yang mengorganisir diri terus
menerus) secara internal berupa;
1.  Upaya  membangun  basis  warga  masyarakat  (melakukan  rekruitmen  dan  pendekatan  pada
komunitas yang senasib agar mau bergabung dalam pengorganisasian).
2.  Pendidikan  pada  anggota  mengenai  visi,  misi,  dan  kepentingan  bersama  dari  organisasi
masyarakat .
3.  Merumuskan strategi untuk memperjuangkan kepentingan bersama organisasi masyarakat .
Membangun Jaringan
Untuk mencapai tujuan bersama, sebuah pengorganisasian memerlukan keterlibatan banyak
pihak dengan berbagai spesifikasi yang berbeda dalam suatu koordinasi yang terpadu dan sistematis.
Tidak  ada  satupun   organisasi  yang  mampu  mencapi  tujuannya  tanpa  bantuan  dari  pihak-pihak  lain
yang  juga  mempunyai  perhatian  dan  kepentingan  yang  sama.  Semakin  banyak  warga  masyarakat
/organisasi menyuarakan hal yang sama maka, semakin kuat kepercayaan bagi timbulnya perubahan
yang diinginkan. Hal ini secara sederhana disebut sebagai kebutuhan untuk membangun jaringan.
Secara garis besarnya kerja-kerja jaringan dapat dipilah menjadi tiga bentuk:
1.  Kerja  Basis.  Kerja  basis  merupakan  kerja  yang  dilakukan  oleh  kelompok  inti  (pengorganisir)
dengan melakukan langkah-langkah; membangun basis masa, pendidikan dan perumusan strate gi.
2.  Kerja  Pendukung.  Kerja  pendukung  ini  dilakukan  oleh  kelompok-kelompok  sekutu   yang
menyediakan jaringan dana, logistik,  informasi data dan akses. Kelompok sekutu bisa berasal dari
kalangan  LSM,  kelompok  intelektual/  akademisi,  Lembaga  pendana  (donor)  dan  kelompokkelompok masyarakat yang mempunyai komitmen terhadap persoalan yang diperjuangkan.
3.  Kerja Garis Depan.  Kerja garis depan dilakukan terutama berkaitan dengan advokasi kebijakan,
mobilisasi massa, mempeluas jaringan sekutu, lobbi dan melaksanakan fungsi juru runding. Kerjakerja  garis  depan  bisa  dilakukan  oleh  kelompok  organisasi/invidual  yang  memiliki  keahlian  &
ketrampilan tentang hal ini.
4.  Dengan pembagian tugas maka akan terbentuk jaringan yang terdiri dari individu dan kelompok
yang  bersedia  membantu  warga   dalam  melakukan  perubahan  sosial,  baik  melalui  strategi
advokasi, maupun penguatan komunitas basis. Akhirnya, pembangunan jaringan merupakan salah
satu  cara  untuk  menambah  “kawan”,  sekaligus  mengurangi  “lawan”  dalam  memperjuangkan
perubahan yang diinginkan.[]
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
53
Hand-Out 04:
SEJARAH TEOLOGI PEMBEBASAN AMERIKA LATIN &
PEMIKIRAN TEOLOGI PEMBEBASAN ISLAM
Oleh: Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta & Pascasarjana Sosiologi Fisipol UGM,
Kader Kultural PMII Daerah Istimewa Jogjakarta. 085 647 634 312/ nuriel.ugm@gmail.com
A.  Prawacana
Berbicara tentang teologi pembebasan dalam diskusi-diskusi resmi atau tak resmi  memang
terasa  problematik.  Seringkali  diskusi  seperti  ini  dicurigai  sebagai  gerakan  pemikiran  kekiri-kirian
yang  diasosiasikan  dengan pendukung  komunisme atau dianggap  menyebarkan pemikiran subversif.
(khususnya pada era Orde Baru lalu). Setelah Orba jatuh dan kebebasan berpikir mulai terbuka diskusi
semacam ini juga dianggap tabu dan dipandang dengan mata sinis oleh sebagian kalangan.
Rupanya  persepsi  itu  disebabkan  oleh  beberapa  faktor.  Pertama,  adanya  kesalahpahaman
mengenai  term  teologi  pembebasan  (liberation  theology)  itu  sendiri.  Kedua,  karena  teologi
pembebasan  adalah  terminologi  yang  lahir  dari  tradisi  Kristiani,  khususnya  di  Amerika  Latin,  dan
tidak  pernah  dikenal  secara  eksplisit  dalam  khazanah  pemikiran  Islam.  Dan  ketiga,  karena  teologi
pembebasan  sedikit  banyak  diinspirasikan  oleh  ideologi  kiri  dari  pemikiran  Marxisme  yang  dalam
sejarah perpolitikan Indonesia dianggap memiliki cacat yang tak termaafkan setelah peristiwa G 30 S.
Tulisan reflektif ini dimaksudkan untuk sedikitnya mengklarifikasikan asumsi-asumsi yang
menjadi keberatan berbagai kalangan terhadap wacana teologi pembebasan. Dan untuk tujuan ini saya
berusaha menyelami sejarah sekaligus menemukan makna dan signifikansi teologi pembebasan bagi
pemahaman keagamaan kita ke arah pengertian yang lebih transformatif, rasional dan fungsional.
B.  Terminologi Teologi Pembebasan
Pada mulanya istilah teologi pembebasan atau liberation theology  diperkenalkan  oleh para
teolog Katolik di Amerika Latin pada pertengahan abad lalu. Para teolog ini mau membedakan antara
metode  teologi  pembebasan  dengan  teologi  tradisional.  Teologi  tradisional  adalah  teologi  yang
membahas  tentang  Tuhan  semata-mata,  sementara  teologi  pembebasan  adalah  cara  berteologi  yang
berasal  dari  refleksi  iman  di  tengah  realitas  konkrit  yang  menyejarah.  Yakni  teologi  yang
memprihatini nasib dan solider kepada mereka yang menderita ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas
dan menjadi korban sejarah; teologi yang mau mentransformasikan dunia.
Atau  dalam  ungkapan  Gustavo  Gutierrez:  This  is  a  theology  which  does  not  stop  with
reflecting  on  the  world,  but  rather  tries  to  be  part  of  the  process  through  which  the  world  is
transformed. It is theology which is open in the protest against trampled human dignity, in the struggle
against the plunder of the vast majority of humankind, in liberating love, and in the building of a new,
just, and comradely society to the gift of the Kingdom of God.  (Ini teologi pembebasan] adalah sebuah
teologi  yang  tidak  hanya  merefleksikan  dunia,  melainkan  juga  mencoba  melakukan  proses
transformasi  terhadapnya.  Ia  [teologi  pembebasan]  adalah  teologi  yang  berupaya  untuk  melawan
pelecehan  terhadap  martabat  manusia,  melawan  perampasan  oleh  mayoritas,  berupaya  untuk
membebaskan cinta dan membangun suatu masyarakat baru yang adil dan penuh persaudaraan untuk
meraih rahmat dari Kerajaan Tuhan)(Alfred T. Hennelly, SJ, 1995: 16)
Ada  banyak  macam  penamaan  yang  secara  subtansial  amat  dekat  dengan  gagasan  teologi
pembebasan  ini,  diantaranya:  teologi  pemerdekaan  (Romo  Mangun),  teologi  Kiri  (Kiri  Islam  ala
Hassan Hanafi), teologi kaum mustadh’afin, teologi kaum tertindas, dan lain-lainnya. Masing-masing
penamaan  ini  hendak  mengartikulasikan  suatu  cara  beragama  yang  otentik,  yang  lahir  dari  situasi,
sejarah  dan  keprihatinan  atas  penderitaan  kaum  miskin  dan  tertindas.  Oleh  karena  itu  dengan
pengertian  tersebut  jelas  sekali  teologi  pembebasan  sama  sekali  tidak  ada  sangkut  pautnya  dengan
bebas semau  gue atau sikap permisif sebagaimana  yang sudah  disalahpahami.  Anggapan seperti  itu
tentu saja salah alamat  dan  menunjukkan  kebodohan  saja. Untuk  lebih  jelas  mengenai  karakter  dan
jalan yang ditempuh teologi pembebasan, mari sejenak melihat teologi pembebasan Amerika Latin.
C.  Belajar dari Teologi Pembebasan Amerika Latin
Teologi  pembebasan  di  Amerika  Latin  merupakan  sebuah  entitas  gerakan  sekaligus  juga
doktrin.  Gerakan  ini  muncul  karena  perpaduan  dari  perubahan-perubahan  internal  dan  eksternal.
Secara  internal  gerakan  ini  muncul  berbarengan  dengan  perkembangan  aliran-aliran  teologis  dan
keterbukaan terhadap perkembangan sains sosial modern. Sementara secara eksternal ia didorong oleh
dua  situasi:  pertama  adalah  keterbelakangan,  ketergantungan,  keterpinggiranm  ketertindasan  dan
kemiskinan  yang  diakibatkan  oleh  proses  industrialisasi  sejak  tahun  1950-an  di  seluruh  benua  di
bawah  arahan  modal  multinasional;  dan  kedua  meningkatnya  perjuangan  sosial,  gerakan-gerakan
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
54
gerilya,  pergantian  pemerintah  melalui  kudeta  militer  dan  krisis  keabsahan  sistem  politik,  sejak
meletusnya revolusi Kuba tahun 1959.
Gerakan  teologi  pembebasan  ini  melibatkan  sektor-sektor  penting  gereja  (para  romo,
pengamal tarekat atau ordo-ordo, para uskup), gerakan keagamaan orang awam, keterlibatan pastoral
yang merakyat serta kelompok-kelompok basis masyarakat gereja yang menghimpun diri menentang
sebab-sebab penghisapan dan penindasan, atas dasar nalar moral dan kerohanian yang diilhami oleh
budaya  keagamaan  mereka.  Dorongan  moral  dan  keagamaan  inilah  yang  merupakan  faktor  hakiki
yang  menggerakkan  semangat  ribuan  aktifis  dalam  serikat-serikat  buruh,  kerukunan-kerukunan
tetangga, dan front-front kerakyatan untuk melawan penindasan dan kemiskinan.
Adapun doktrin atau ajaran-ajaran penting yang menggerakkan mereka di antaranya adalah:
pertama, gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan pada kapitalisme sebagai
suatu  sistem  yang  tidak  adil  dan  tidak  beradab,  sebagai  suatu  bentuk  dosa  struktural.  Kedua,
penggunaan  alat  analisis  Marxisme  dalam  rangka  memahami  sebab  musabab  kemiskinan,
pertentangan-pertentangan  dalam  tubuh  kapitalisme  dan  bentuk-bentuk  perjuangan  kelas.  Ketiga,
pilihan  khusus  bagi  kaum  miskin  dan  kesetiakawanan  terhadap  perjuangan  mereka  menuntut
kebebasan. Keempat, pengembangan basis kelompok-kelompok masyarakat agama di kalangan orangorang  miskin  sebagai  suatu  bentuk  baru  keagamaan  dan  alternatif  terhadap  cara  hidup  individualis
yang  dipaksakan  oleh  sistem  kapitalis.  Kelima,  suatu  penafsiran  baru  Kitab  Suci  yang  memberikan
perhatian  penting  pada  bagian-bagian  yang  mengusung  paradigma  perjuangan  pembebasan  rakyat
yang  diperbudak.  Keenam,  perlawanan  terhadap  permberhalaan  sebagai  musuh  utama  agama,  yakni
berhala-berhala baru: uang, kekayaan, kekuasaan, keamanan nasional, negara, militerisme, peradaban
Barat. Ketujuh, sejarah pembebasan manusia adalah antisipasi akhir dari Keselamatan. Dan kedelapan,
kecaman  terhadap  teologi  tradisional  yang  bercorak  platonik  yang  memisahkan  antara  sejarah
kemanusiaan dan ketuhanan (Michel Lowy, 1999: 25-30).
Dari susunan doktrin teologi pembebasan di atas nampak jelas sekali bahwa gerakan tersebut
tidak semata-mata diilhami oleh spirit  moral dan  keagamaan, melainkan  juga oleh  keterbukaan para
pemrakarsa  dan  aktivisnya  terhadap  pemikiran-pemikiran  filsafat  dan  ilmu-ilmu  sosial  modern,
khususnya Marxisme. Rupanya karena itulah dalam perjalanannya model teologi pembebasan ini juga
banyak  menerima  kritik  bahkan  cemoohan  dan  tentangan  dari  berbagai  kalangan.  Di  antara  para
pengkritik sendiri adalah para agamawan konservatif yang masih mempertahankan ortodoksi.
Mereka pada umumnya berada, berlindung dan mengambil untung dari kekuasaan yang ada
yang  justeru  lalim  dan  menindas,  dan  untuk  itu  mereka  menggunakan  dalil-dalil  keagamaan  untuk
mempertahankan  status  quo.  Para  pengkritik  lain  menganggap  teologi  pembebasan  cenderung
menggunakan jalan kekerasan sebagai alat perlawanan. Hal ini dipandang berkebalikan dengan  nilai
agama  yang  membawa pesan cinta kasih  dan perdamaian.Teologi pembebasan tentu sangat berbeda
dengan  pandangan  teologis  kaum  konservatif  di  atas  yang  menggunakan  agama  sebagai  instrumen
status quo. Kaum konservatif telah memperlakukan agama sebagai candu untuk mencapai kenikmatan
sesaat, seraya mengabaikan panggilan profetik kenabian yang bersolidaritas terhadap kaum miskin dan
tertindas. Di tangan kaum konservatif ini pulalah energi agama yang sesungguhnya menjadi kekuatan
untuk  melawan  kezaliman,  ketidakadilan  dan  penindasan  menjadi  susut  dan  akhirnya
musnah.Konservatisme biasanya juga selalu berkarakter sempit dalam cara berpikir dan tertutup dalam
wawasan.
Mereka  menolak  keterbukaan  karena  dianggap  mengurangi  kadar  keimanannya.  Sehingga
dalam beberapa kesempatan mereka menolak teologi pembebasan yang telah memakai analisis kelas
yang  dikembangkan  Marxisme.  Bagi  mereka  konflik  kelas  dalam  Marxisme  telah  menyebabkan
agama telah kehilangan  watak spiritualitasnya sekaligus  menjadi sekadar gerakan sosial  yang kerap
diperjuangkan dengan cara-cara kekerasan. Oleh pandangan-pandangan yang sempit inilah, lalu dalam
setiap  wacana  dan  gerakannya  teologi  pembebasan  banyak  disalahpahami  dan  dicibir.  Bukannya
menjadi sarana belajar dan refleksi kritis atas praksis untuk memperkaya pemahaman keagamaan yang
sudah usang.
Ada beberapa tokoh atau teolog di Amerika Latin yang mulai membangun dan merumuskan
teologi  pembebasan.  Di  antara  mereka  yang  berpengaruh  dan  sedikit  disinggung  di  sini  adalah
Gustavo  Gutierrez  dan  Joan  Luis  Segundo.  Gutierrez  dalam  bukunya  berjudul  A  Theology  of
Liberation  menyatakan:  If  faith  is  a  comitment  to  God  and  to  human  beings,  it  is  not  possible  to
believe  in  today  world  without  a  comitment  to  the  process  of  liberation.  (Bila  iman  adalah  suatu
komitmen  kepada  Allah  dan  umat  manusia,  maka  mustahil  keberimanan  kita  pada  hari  ini
mengabaikan  komitmen  kepada  proses  pembebasan  umat  manusia  (dari  segala  kemiskinan  dan
penindasan) (Alfred T. Hannelly, 1995: 11).
Di  sini  jelas  bagi  Gutierrez  bahwa  pembelaan  terhadap  kaum  miskin  dan  perlawanan
terhadap  para  penindas  sesungguhnya  adalah  konsekuensi  dari  iman  seseorang  kepada  Allah.  Iman
seseorang tidak bermakna apapun tanpa keterlibatan dirinya dalam praksis sosial dan sejarah. Karena
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
55
bagi Gutieres, makna teologi itu sendiri sebenarnya adalah suatu refleksi kritis terhadap praksis dalam
terang Kitab Suci. Oleh karena itu pula makna spiritualitas selalu terkait langsung dengan tindakan.
Gutierrez  menunjukkan  tiga  karakteristik  teologi  pembebasan  (Alfred  T.  Hannelly,  1995:
12).  Pertama,  teologi  pembebasan  adalah  pemahaman  yang  progresif  dan  terus  menerus  atas  dasar
komitmen  kemanusiaan  dan  keberimanan  yang  selalu  hidup.  Oleh  karena  itu  teologi  sesungguhnya
adalah praksis pembebasan  dari belenggu  ekonomi, sosial, politik, dan  dari sistem  masyarakat yang
mengingkari kemanusiaan dan dari kedosaan yang merusak hubungan manusia dengan Allah. Kedua,
teologi adalah sebuah refleksi yang lahir dari tindakan. Gutierrez menulis dalam sebuah paragraf yang
cantik:  Theology is a reflection that is, a second act, a turning back, a reflecting, that comes after
action. Theology is not first; the commitment is first. Theology is the understanding of commitment,
and  the  commitment  is  action.  The  central  action  is  charity,  which  involves  commitment,  while
theology  arrives  later  on.  (Teologi  adalah  sebuah  refleksi,  yakni  suatu tindakan  kedua,  suatu  gerak
balik,  sebuah  perefleksian  yang  dilakukan  setelah  bertindak.  Jadi  bukan  teologi,  melainkan
komitmenlah yang pertama. Teologi adalah hasil pemahaman dari komitmen, dan komitmen itu adalah
kesediaan untuk bertindak. Inti tindakan adalah  kemurahan hati  yang  disertai komitmen, setelah  itu
baru teologi hadir).
Oleh karena itu teologi harus menjadi kritis ketika berhadapan dengan masyarakat maupun
terhadap institusi keagamaan. Ia harus menjadi pembebas bagi kedua institusi sosial itu dari berbagai
macam  ideologi,  keberhalaan  dan  alienasi.  Sehingga  teologi  itu  sendiri  pada  akhirnya  akan
memberikan  orientasi  dan  inspirasi  bagi  aksi  tindakan  selanjutnya.  Inilah  yang  disebut  dengan
keberimanan dalam praksis sejarah, keberimanan yang transformatif. Dan ketiga, setiap tindakan kita
harus disertai dengan refleksi untuk memberi orientasi masa depan yang diyakini dan diharapkan dan
koherensi agar ia tidak jatuh pada aktivisme.
Meskipun Gutierrez telah memberikan ancangan rumusan metode teologi pembebasan, baru
kemudian  Juan  Luis  Segundo  yang  berhasil  mensistematisasi  rumusan  metodologi  teologi
pembebasan.  Sistematisasi  inilah  yang  nantinya  menjadi  acuan  berbagai  metode  teologi-teologi
pembebasan (liberation theologies) lainnya di dunia. Dalam salah satu tulisannya  Two Theologies of
Liberations,  ada  pernyataan  menarik  dari  Segundo  yang  dikutip  oleh  Michel  Lowy  (Michel  Lowy,
1999). Ia menyatakan, Jangan lupa kita hidup di tanah-tanah yang paling agamis dan di tanah-tanah
yang  paling  tidak  berprikemanusiaan.  Pernyataan  ini  tampaknya  menyembunyikan  tapi  sekaligus
menyingkap  suatu  ironi.  Bagaimana  mungkin  penindasan  justeru  terjadi  dalam  masyarakat  yang
mayoritas beragama yang meyakini bahwa ajaran agamanya melawan ketidakadilan dan penindasan.
Mengapa  tidak  ada  protes  atau  perlawanan  atas  kondisi  ini  dari  pihak  kaum  agamawan?
Apakah kaum agamawan buta atau membutakan diri terhadap situasi yang ada? Segundo menyadari
bahwa  ketidakmampuan  mengambil  sikap  yang  diperlihatkan  para  agamawan  itu  disebabkan
ketidakmampuannya melihat persoalan sosial dan menganalisis struktur-struktur penindasan yang ada.
Bukan  hanya  itu,  berlanjutnya  penindasan  karena  agama  mengalami  impotensi  karena  pemahaman
terhadap teologi  dan  kitab suci  didominasi  oleh tafsir yang justeru tidak sensitif terhadap persoalan
masyarakat  tertindas.  Oleh  karena  itu  menurutnya  perlu  dilakukan  deideologisasi  terhadap  realitas
sosial  dan  superstruktur  serta  deideologisasi  terhadap  interpretasi  kitab  suci,  agar  iman  kita  bisa
merespon situasi  konkrit penindasan  dan  ikut berjuang bersama-sama  kaum tertindas  melawan para
penindas.Kebekuan  agamawan  dalam  merespon  situasi  konkrit  ini  mendorong  Segundo  untuk
menawarkan metode berteologi yang bukan hanya sebagai usaha ortodoksi tapi juga suatu ortopraksis.
Yang dimaksud adalah bahwa berteologi bukan hanya untuk memperteguh dan memantapkan ajaran,
tapi juga menjadikan pengalaman konkrit sebagai basis menerapka n sebuah rumusan ajaran. Segundo
merumuskan hal ini dalam suatu bentuk lingkaran hermeneutik.
D.  Apakah yang Dimaksud dengan Lingkaran Hermeneutik?
Hermeneutika  adalah  proses  interpretasi  untuk  membuat  pesan  kitab  suci  relevan  dengan
zamannya, sedangkan lingkaran menunjukkan bahwa usaha interpretasi itu bertitik tolak pada realitas
baru  yang  lalu  menuntut  kita  menginterpretasikan  ajaran  kitab  suci  secara  baru  pula  dalam  rangka
mengubah realitas sebagaimana dituntutkan, dan akhirnya kembali kepada usaha menginterpretasikan
kembali  firman  Allah,  dan  seterusnya.  Menurut  Segundo,  lingkaran  hermeneutik  bisa  berlangsung
dengan  dua  syarat:  pertama,  kesangsian-kesangsian  atas  situasi  nyata  sungguh-sungguh  dalam
memperkaya,  dan  kedua,  interpretasi  atas  kitab  suci  juga  bersifat  sungguh-sungguh  dalam  dan
memperkaya (Fr. Wahono Nitiprawiro, 2000: 36-37).
Dalam  lingkaran  hermeneutik  ini  sang  penafsir  dituntut  untuk  terus  menerus  melakukan
kritik  terhadap  realitas  yang  ada  sekaligus  mengkritik  pula  pemahaman  teologis  terhadap  realitas
tersebut,  dan  lalu  menafsirkannya  kembali  demi  perubahan  realitas  tersebut.  Dengan  kata  lain,  di
belakang kritik tersebut sesungguhnya kita selalu dituntut untuk selalu mencurigai suatu tafsir. Atau
mencurigai  status  iman  seseorang  kepada  siapa  dia  mengabdikan  imannya.  Pengandaiannya  adalah
bahwa iman itu sendiri bersifat ideologis karena ia lahir dari tanggapan yang menyejarah dan subjektif
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
56
terhadap wahyu Allah. Oleh karena itu praksis iman seseorang harus senantiasa diberi kritik dengan
selalu membenturkannya dengan realitas konkrit. Baru dengan begitu, makna keberimanan seseorang
akan membawa transformasi bagi kehidupan ke arah yang lebih baik.
Dari model lingkaran hermeneutika tampak ada 4 langkah penafsiran yang diajukan Segundo
(Fr.  Wahono  Nitiprawiro,  2000:  36-37;  Alfred  T.  Hannelly,  1999:  28).  Langkah  itu  bisa  diuraikan
sebagai berikut:
Langkah pertama: cara kita mengalami realitas yang terumuskan mendorong kita pada posisi
kecurigaan  ideologis. Pada tahap ini, dalam pengamatan Segundo,  Harvey Cox  dalam bukunya The
Secular City (1966) gagal memasuki kesangsian ideologis karena ia bersikap anti pragmatisme sosial.
Cox terlalu sibuk pada langkah pertama yakni cara yang kaya dan mendalam mengalami realitas, dia
hanya  menyangsikan  cara  lama  mengalami  realitas  yang  bertumpu  pada  kaidah-kaidah  nilai
kemanusiaan  tertinggi,  dan  mengajukan  alternatif  cara  baru  mengalami  realitas  yang  menjunjung
tinggi nilai-nilai efisiensi teknologis tanpa menelisik kepentingan ideologis di balik realitas itu.
Langkah  kedua:  menerapkan  kecurigaan  ideologispada  seluruh  superstruktur  ideologis  dan
khususnya  pada  teologi.  Dalam  konteks  ini,  menurut  Segundo,  Marx  sukses  membongkar  ideologi
dalam  masyarakat,  tapi  gagal  membangun  transformasi  dalam  agama,  bahkan  tidak  menyentuh
sedikitpun. Marx sukses pada langkah pertama mengalami realitas sejarah sebagai perjuangan kelas. Ia
juga  memiliki  komitmen  mentranformasikan  dunia  dalam  konsepnya  tentang  materialisme  sejarah,
yakni  sebuah  patokan  bahwa  basis  hubungan  sosial  ekonomi  menentukan  superstruktur  ideologi,
budaya  dan  agama.  Oleh  karena  itu  dalam  rangka  menghilangkan  cengkeraman  penguasa  borjuis,
hubungan  sosial  ekonomi  itu  harus  diubah  dari  feodalisme  ke  kapitalisme,  dari  kapitalisme  ke
sosialisme  yang  akhirnya  ke  komunisme.  Letak  kesangsian  ideologis  Marx  adalah  keyakinannya
bahwa  ideologi  yang  berkuasa  selalu  merupakan  ideologi  dari  kelas  yang  sedang  berkuasa.  Namun
sayangnya  komitmen  transformasi  masyarakat  Marx  berhenti,  ia  tidak  melanjutkan
logikanyamengubah  superstruktur  untuk  pula  mengubah  agama  (sebagai  salah  satu  unsur
superstruktur).
Langkah ketiga: Dari cara baru mengalami realitas teologis mendorong kita pada kecurigaan
eksegesis. Kita mulai mengangsikan interpretasi Kitab Suci yang ada karena tidak mengikutsertakan
data  yang  penting.  Menurut  Segundo,  Max  Weber  dalam  The  Protestant  Ethic  and  the  spirit  of
Capitalism  (1904-1905)  sukses  melihat  peranan  agama.  Weber  secara  sosio-psiko-historis  berhasil
mencari  peranan  superstruktur  (agama,  etika  protestan)  terhadap  hubungan  sosial  ekonomi  (gairah
usaha  untuk  memperoleh  untung,  kerja  keras,  berhemat,  menabung  dan  menumpuk  harta  spirit
kapitalisme).  Tapi  sebagai  seorang  Calvinis  ia  tidak  memiliki  komitmen  terhadap  transformasi
masyarakat.
Langkah keempat: kita mencapai hermeneutika baru dengan menginterpretasikan Kitab Suci
secara  baru,  lebih  kaya  dan  mendalam.  Dengan  demikian  kita  juga  mengalami  realitas  secara  baru
pula.
Menurut  Segundo,  James  H.  Cone  adalah  seorang  teolog  asal  Arkansas,  negara  bagian
Amerika  Serikat  yang  dengan  komitmennya  terhadap  transformasi  pembebasan  manusia  berhasil
melalui  tahap-tahap  penafsiran  teologi  pembebasan  dalam  praksis  sosial  melalui  karyanya  A  Black
Theology  of  Liberation  (1970).  Cone  merumuskan  teologi  pembebasan  kulit  hitam  dalam  rangka
memberikan acuan teologis dan praktis untuk pembebasan warga kulit hitam yang miskin, tertindas,
dan terdiskriminasi. Ia bertolak dari praksis iman yang dialaminya yakni pembebasan kelas kulit hita m
di  Amerika  Utara,  yang  ditindas  oleh  kelas  kulit  putih  lengkap  dengan  ideologi  dan  teologi
pembenaran status quo-nya yang menindas.
Cone  mepresentasikan  Black  Theology-nya  ke  dalam  4  langkah.  Langkah  pertama  Cone
mengalami  realitas  di  Amerika  Utara  sebagai  perjuangan  pembebasan  kelas  kulit  hitam  dan  makna
ketuhanannya dihubungkan dengan solidaritas dengan mereka yang dibelenggu penindasan.
Langkah  kedua  setelah  melakukan  analisis  sosial  untuk  membongkar  sistem-sistem
dominasi,  seperti  rasisme,  seksisme,  kolonialisme,  kapitalisme  dan  militerisme,  Cone  sampai  pada
kecurigaan  ideologis  terhadap  pendapat  kelas  kulit  putih  bahwa  warna  kulit  jangan  dijadikan  titik
perbedaan demi kesatuan dan universalitas manusia.
Langkah  ketiga  Cone  mengalami kecurigaan  eksegesis terhadap cara berteologi kelas  kulit
putih yang berpusat pada universalitas konteks, yang menutup kemungkinan mendekati Kristus yang
terikat dengan kebudayaan tertentu. Dalam hal ini Cone berupaya menafsirkan kembali pesan-pesan
Kitab Suci yang sudah didistorsi dan menjadikan Allah menjadi spirit pemberdayaan masyarakat agar
lebih  manusiawi. Terakhir Cone  menekankan cara baru yang  kaya dan  mendalam  mengalami  Kitab
Suci  sebagai  wahyu  yang  relevan  bagi  perjuangan  kelas  kulit  hitam  untuk  pembebasan  zaman  kita
sekarang. Termasuk juga disini  kebutuhan terhadap bahasa teologi baru yang  hadir di  dalam  ceritacerita, dongeng-dongeng, nyanyian, kotbah, dan ajaran-ajaran yang lebih bernada membebaskan.Dari
uraian di atas, tampak sekali bahwa Cone benar-benar merumuskan  model  cara beragama sekaligus
penghayatan iman secara baru. Yakni iman yang diterangi oleh Kitab Suci yang senantiasa berdialog
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
57
dengan realitas. Hal ini juga menunjukkan bahwa teologi pembebasan bukanlah semacam teologi yang
sempit,  kolot,  dan  tertutup  yang  hanya  terkesima  oleh  warisan  masa  lalu.  Melainkan  teologi  yang
selalu berdialog dengan realitas yang membuatnya selalu relevan bagi pemeluknya.
Cara berteologi yang demikian itu menyadari betul bahwa iman sendiri sesungguhnya adalah
refleksi  individual  atau  penghayatan  terhadap  Firman  Allah  dala m  situasi  konkrit  dan  menyejarah.
Dengan  demikian,  berteologi  semacam  ini  sungguh-sungguh  akan  mendorong  untuk  lebih  bersikap
dewasa dan terbuka kepada realitas dan perkembangan pengetahuan yang bisa menjadi bahan untuk
memperkaya  keberagamaan  kita,  terutama  dalam  mengambil  sikap  terhadap  realitas  sejarah  yang
selalu bergerak dinamis.
E.  Teologi Pembebasan Islam, Adakah?
Sebelum  menjawab  pertanyaan  di  atas,  pertama-tama  kita  perlu  mengetahui  kenyataan
bahwa gema teologi pembebasan sejak lahirnya pada tahun 50-an dan 60-an abad lalu telah menjadi
inspirasi  berharga  bagi  perkembangan  teologi-teologi  pembebasan  lainnya.  Di  Amerika  Utara
misalnya  ada  teologi  pembebasan  feminis  yang  digerakkan  oleh  beberapa  tokoh  berpengaruh,
misalnya:  Elizabeth  Schussler  Fiorenza,  Rosemary  Radford  Ruether,  Elizabeth  Johnson,  Jacquelyn
Grant, dan lain-lain; lalu teologi kulit hitam dengan tokoh-tokohnya, seperti James H. Cone, Martin
Luther  King,  Jr,  Malcolm  X.,  dan  Delores  S.  Williams;  ada  teologi  pembebasan  Hispanik  dengan
tokoh-tokohnya  Allan  Figueroa  Deck,  dan  Mujesrista  Theology;  ada  teologi  pembebasan  Afrika
dengan  tokoh-tokohnya  Benezit  Bujo,  Mercy  Amba  Oduyoye;  dan  tak  ketinggalan  teologi
pembebasan Asia dengan beberapa tokohnya Aloysius Pieris, Raimundo Panikkar, dan Chung  Hyun
Kyung.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa semangat dan prinsip teologi pembebasan bisa tumbuh di
manapun dan dalam kebudayaan apapun ketika sistem dan struktur sosial dalam masyarakat berjalan
timpang, diwarnai dengan kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi, serta adegan penindasan kelompok
satu  atas  kelompok  lainnya.  Munculnya  spirit  pembebasan  ini  didorong  oleh  dua  kecenderungan.
Pertama,  dalam  diri  manusia  sebenarnya  menyimpan  potensi  fitrah,  yakni  kesadaran  akan
kemerdekaan diri. Potensi itu akan dirasakan dan tampak manakala manusia merealisasikan kebebasan
dirinya  dalam  tindakan-tindakan  konkrit.  Ketika  manusia  merasakan  dirinya  tertekan  oleh  beban
penindasan  maka  dalam  dirinya  muncul  resistensi  dan  kehendak  untuk  membebaskan  diri.  Kedua,
dalam sebuah  komunitas tertentu kesadaran pembebasan itu sudah ada dan tumbuh (minimal secara
potensial)  dalam  tradisi  budaya  atau  dalam  dunia  simbolik  yang  diyakini  kebenarannya  secara
kolektif.
Misalnya  dalam  dongeng,  cerita  sejarah,  mitos,  atau  dalam  teks-teks  Kitab  Suci.  Fakta
mengenai  tumbuh  suburnya  ragam  gerakan  pembebasan  di  Asia  dan  Afrika  di  atas  menunjukkan
sekali lagi bahwa ia tidak sekadar dipengaruhi oleh faktor eksternal, tetapi juga faktor internal dalam
budaya  itu  sendiri.  Oleh  karena  itu  jika  teologi  pembebasan  bisa  tumbuh  di  berbagai  kebudayaan,
maka  berdasarkan  kedua  hal  tersebut  di  atas  jawaban  mengenai  ada-tidaknya  teologi  pembebasan
dalam Islam tampaknya bisa diperoleh pula. Pertama berdasarkan kesadaran internal umat Islam yang
berkehendak mencari pembebasan dan melakukan transformasi sosial, dan kedua itu dilakukan melalui
reinterpretasi terhadap sejarah dan kebudayaan umat Islam atau dengan melakukan rekonstruksi atas
pesan-pesan normatif pembebasan dalam Islam sendiri.
Michael  Amaladoss  membuat  penelitian  yang  sangat  menarik  mengenai  berbagai  bentuk
teologi  pembebasan,  khususnya  di  Asia.  Setelah  mengkaji  berbagai  potensi  dan  watak  pembebasan
dalam agama-agama  di  Asia  yang  meliputi: agama Hindu, Buddha, Konghucu, Kristiani, Islam  dan
agama-agama  Kosmis,  Amaladoss  menyimpulkan  bahwa  berbagai  teologi  tersebut  menunjukkan
bahwa semua agama memiliki segi-segi yang membebaskan, dan para nabi telah berusaha menyoroti
unsur-unsur yang  membebaskan itu  dalam  menafsirkan kembali tradisi agama mereka secara kreatif
dan relevan (Michael Amaladoss, 2000: 270). Adapun untuk mengetahui lebih lanjut secara diskursif
wacana pembebasan dalam Islam, dalam bagian berikutnya kita akan melihat sekilas beberapa sarjana
muslim seperti Ali Syariati, Asghar Ali Engeneer  dan tentu saja Hasan Hanafi, yang telah mengangkat
elemen-elemen  pembebasan  dalam  Islam  baik  melalui  pendekatan  tekstual  maupun  pendekatan
rekonstruksi simbolis dalam sejarah Islam.
F.  Tentang Teologi Pembebasan Rasional
Sejak  lebih dari  dua dekade  yang  lalu  di kalangan umat Islam Indonesia  dihadapkan pada
gagasan  tentang  betapa  perlu  menghidupkan  kembali  “teologi  rasional”.  Usaha  menghidupkan
kembali  “teologi  rasional”  itu  dianggap  perlu  untuk  mengejar  keterbelakangan  umat  Islam  yang
diakibatkan, menurut penganjur gagasan tersebut, antara lain karena mereka terbelenggu oleh “teologi
tradisional”  yang mereka anut. Teologi ini terutama dikaitkan dengan paham jabariah atau fatalisme,
yang dianggap melahirkan sikap pasif, pasrah dan m.enyerah pada suratan takdir.
Prof.  Dr.  Harun  Nasution  adalah  salah  seorang  penganjur  utama  “teologi  rasional”  itu.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
58
Karena itu beliau dianggap sebagai pelopor kebangkitan apa yang disebut sebagai “Neo-Mu’tazilah”.
Tentu saja kita bisa mempertanyakan validitas konstatasi tersebut dilihat dari segi faktual. Bersamaan
dengan  itu  menyembul pula  gaga san tentang keperluan usaha pembaharuan dalam pemikiran umat
Islam.  Salah  seorang  penganjur  utamanya  adalah  Cak  Nur  (Dr.  Nurcholish  Madjid)  yang
mencanangkan  ide  “liberalisasi”  dan  ‘sekularisasi”.  Gagasan  pembaharuan  itu  rnakin  menggema
dengan lontaran-Iontaran ide Gus Dur (KH Abdurrahrnan Wahid).
Ia  menganggap  gerakan  “kultural”  yang  sibuk  dalam  tataran  ide  saja  belum  cukup,  akan
tetapi ia juga menentang gerakan  “politik”  yang cenderung mernanipulasi agarna untuk memperoleh
kekuasaan. Gus Dur lebih menekankan perhatian dan pemikirannya pada gerakan “sosio-kultural yang
bermuara  pada  transformasi  sosial  urnat  Islam  daIam  konteks  kehidupan  berbangsa  dan
bermasyarakat. Dalam perspektif ini terasa “teologi rasional”  saja tidak memadai dan tidak menjawab
tantangan  nyata  yang  dihadapi  umat  Islam.  Kontroversi  antara  “teologi  rasional”  versus  “teologi
tradisional”  bagi  kalangan  aktivis  yang  concern  pada  berbagai  fen  omena  ketidakadilan  dalam
kehidupan masyarakat tidaklah relevan.
Dirasakan  keperluan  untuk  merumuskan  sejenis  teologi  yang  lain,  “teologi  transformatif”.
Beberapa pemikir muslim mencoba menggali dan merumuskan “teologi transformatif”  itu. Kesadaran
tentang  keperluan  “teologi  transformatif”  itu  rupanya  tidak  hanya  muncul  di  Indonesia,  akan  tetapi
juga di  negeri-negeri  muslim lainnya. Kita bisa  menyebut Dr. Hassan Hanafi (Mesir)  yang terkenal
dengan gagasan AI-  Yasari ‘l-Islami (Kiri Islam) dan menulis karya monumental  “Mina ‘l-Aqidah ila
‘l-Thawrah”  (Dari Teologi ke Revolusi) sebanyak 5 jilid. Juga Ziaul Haque (Pakistan, bukan Zia ul
Haq yang rnantan Presiden) yang menulis tulisan yang cukup provokatif, “Revelation and Revolution
in Islam ” (Wahyu dan Revolusi dalam Islam).
Selain itu harus  pula disebut nama Asghar Ali Engineer (India), yang terjemahan tulisannya
“Islam and Its Relevance to Our  Age”  ada  di tangan  pembaea sekarang  ini. Berbeda dengan  kedua
nama yang disebutkan di atas, Asghar Ali Engineer bukan hanya seorang pemikir, tetapi juga seorang
aktifis.  Kebetulan,  ia  merupakan  pernimpin  salah  satu  kelompok  Syi’ah  Isma’iliyah,  Daudi  Bohras
(Guzare  Daudi)  yang  berpusat  di  Bombay  India.  MeIalui  wewenang  keagamaan  yang  ia  rniliki,
Asghar Ali berusaha menerapkan gagasan-gagasannya. Untuk itu ia harus menghadapi reaksi generasi
tua yang cenderung bersikap konservatif, mempertahankan kemapanan.
Untuk memahami latar belakang keagamaan Asghar AIi, ada baiknya diketahui sepintas laIu
kelompok Daudi Bohras ini. Para pengikut Daudi Bohras dipimpin oleh Imam sebagai pengganti Nabi
yang  dijuluki  Amiru1  Mukminin.  Mereka  mengenal  21  orang  Imam.  Imam  mereka  yang  terakhir
Mawlana  Abul-Qasim  al-Thayyib  yang  menghilang  pada  tahun  526  H.  Akan  tetapi  mereka  masih
pereaya bahwa ia masih hidup hingga sekarang. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh para Da’i (dari
perkataan  itu  berasal  ungkapan  Daudi)  yang  selalu  berhubungan  dengan  Imam  terakhir  itu.  Untuk
diakui sebagai seorang Da’i tidaklah mudah. Ia harus mempunyai 94 kualifikasi yang diringkas dalam
4  kelompok:  (1)  kualifikasi-kualifikasi  pendidikan;  (2)  kualifikasi-kualifikasi  administratif;  (3)
kualifikasi-kualifikasi moral dan teoritikal, dan (4) kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian.
Yang  menarik  adalah  bahwa  di  antara  kualifikasi  itu  seorang  Da’i  harus  tampil  sebagai
pembela  umat  yang  tertindas  dan  berjuang  meIawan  kezaIiman.  Asghar  Ali  adalah  seorang  Da’i.
Dengan memahami posisi Asghar di atas kita tidak heran mengapa Asghar Ali Engineer sangat vokal
dalam  menyoroti  kezaliman  dan  penindasan.  la  menganjurkan  bukan  sekedar  merumuskan  “teologi
transformatif”  akan  tetapi  lebih  dari  itu.  Asghar  Ali  menghimbau  generasi  muda  Islam  untuk
merekonstruksi”teologi  radikal  transformatif”.  Ketika  gagasan  TeoIogi  Pembebasan  muncuI  di
kalangan  gereja  Katolik  di  Amerika  Latin,  yang  temyata  tidak  direstui  Vatikan,  ia  menulis  artikeI
“Teologi Pembebasan daIam Islam”.
Tulisan-tulisan  daIam  tulisan  ini  sarat  dengan  analisa  filosofikal  dan  historikal  untuk
merumuskan  “Teologi  Pembebasan  dalam  konteks  modem”  seperti  diinginkan  oleh  Asghar  Ali
Berdasarkan  telaah  kesejarahan  terhadap  dakwah  dan  perjuangan  Nabi  Muhammad  SAW  di  masamasa  permulaan,  misaInya,  Asghar  Ali  sampai  pada  kesimpulan  bahwa  Nabi  Muhammad  adalah
seorang  revolusioner,  baik  dalam  ucapan  maupun  dalam  tindakan,  dan  beliau  berjuang  untuk
melakukan perubahan-perubahan seeara radikal dalam struktur masyarakat di zamannya. Bertolak dari
situ,  agaknya,  lalu  Asghar  Ali  Engineer  merevisi  konsep  dan  pengertian  mukmin  dan  kafir,  yang
berbeda dengan apa yang umum dipahami oleh umat Islam sekarang.
Ia menulis:  “  ... orang-orang kafir dalam arah yang sesungguhnya adalah orang-orang yang
menumpuk  kekayaan  dan  terus  membiarkan  kezaliman  dalam  masyarakat  serta  merintangi  upayaupaya  menegakkan  keadilan”.  Dengan  demikian  bagi  Asghar  Ali,  seorang  mukmin  sejati  bukanlah
sekedar orang  yang percaya kepada  Allah akan tetapi juga ia harus seorang  mujahid  yang berjuang
menegakkan keadilan, melawan kezaliman dan penindasan.
Jadi, kalau ia tidak berjuang menegakkan keadilan dan  meIawan kezaliman serta penindasan,
apaIagi  kalau  ia  justru  mendukung  sistem  dan  struktur  masyarakat  yang  tidak  adil,  walaupun  ia
pereaya  kepada  Tuhan,  orang  itu,  dalam  pandangan  Asghar,  masih  dianggap  tergolong  kafir.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
59
Pemahaman  dan penafsiran konsep  mukmin  dan  kafir ini, saya rasa, adalah kunci untuk  memahami
pemikiran Asghar Ali yang pasti, untuk banyak orang akan mengagetkan.
Dari situ ia menyodorkan reinterpretasi dan rekonseptualisasi tentang berbagai terma-terma
keagamaan, dan menawarkan reevaluasi  terhadap berbagai gerakan-gerakan umat Islam di masa lalu
dalam perspektif Teologi Pembebasan  yang  menuntut perubahan struktur sosial  yang tidak adil  dan
menindas.  Asghar  bahkan  memaksa  kita  untuk  mernikirkan  kembali  asumsi-asumsi  kepercayaan,
pemikiran  dan  sikap  keberagamaan  kita  secara radikal.  Tulisan  Asghar  disini  membantu  kita  untuk
melakukan pemikiran kembali itu.
G.  Analisis Pemikiran Tokoh Teologi Pembebasan Islam
1.  Ali Syariati dan Humanisme Islam
Ali Syariati adalah seorang sarjana muslim yang disebut-sebut sebagai seorang ideolog
revolusi  Islam  di  Iran.  Ia  melahap  habis  pemikiran  filsafat  dan  ilmu-ilmu  sosial  modern,  dan
secara  cerdik  menggunakan  hazanah  tersebut  secara  kritis  untuk  menganalisis  kondisi  sosial
politik umat Islam. Usaha besar Syariati  terletak pada upayanya untuk membeberkan kekhususan
ideologi  dan  kebudayaan  Islam,  yang  dengan  demikian  menunjukkan  terdapat  beberapa  asas
pokok pembebasan dalam agama Islam.
Ali  Syariati  menganalisis  bahwa  sesungguhnya  dalam  diri  manusia  terdapat  nilai-nilai
humanisme sejati yang bersifat ilahiyah sebagai warisan budaya moral dan keagamaan. Manusia
adalah makhluk yang sadar-diri, dapat membuat pilihan-pilihan dan dapat menciptakan, sehingga
di sepanjang sejarah umat manusia berusaha merealisasikan nilai-nilai humanisme tersebut meski
yang  didapatinya  adalah  kegetiran  dan  petaka  saat  melawan  kekuasaan  jahat  dan  penindas.
Mengenai  hal  ini Syariati  menyajikan tokoh-tokoh simbolik Kain  dan Habel untuk  menjelaskan
dan menganalisis sejarah kekuasaan.
Menurut  Qur’an  Kain  dan  Habel  mempersembahkan  kurban  kepada  Allah.  Hanyak
kurban  Habel  yang  diterima,  sementara  Kain,  karena  iri  hati,  membunuh  Habel.  Kain  adalah
petani dan Habel adalah gembala. Syariati melihat hal ini sebagai munculnya monopoli produksi
pertanian  dan  hak  milik  pribadi  yang  menyebabkan  munculnya  ketidaksamaan  ekonomis  dan
adanya dominasi kekuasaan. Dalam pandangan Syariati figur simbolis Kain dan Habel ini hadir di
tengah sejarah kita dalam tiga bidang: uang, kekuasaan dan agama. Fir’aun adalah tokoh simbolis
yang  melambangkan  kekuasaan,  Croesus  melambangkan  kekayaan,  dan  Balaam  memerankan
kaum  rohaniawan  dan  agamawan  yang  memonopoli  agama  sebagai  sistem  upacara  ritual.
Ketiganya  tak  henti-hentinya  berkolaborasi  satu  sama  lain  dalam  membangun  dan  melestarikan
kecenderungan  sejarah.Di  abad  Pertengahan,  manusia  dikurung  oleh  Gereja  Abad  Pertengahan
dan sistem teokrasi yang menindas, lalu di abad Modern yang menjunjung tinggi asas liberalisme
manusia dijanjikan demokrasi sebagai kunci pembebasan namun yang didapatinya adalah teokrasi
baru  di  tangan  kapitalisme.  Demikian  juga  komunisme  yang  menjanjikan  persamaan  dan
kesetaraan ternyata menghasilkan fanatisme kekuasaan yang sama mengerikannya dengan Gereja
Pertengahan. Di sisi  lain  kapitalisme telah  menjadi  imperialisme  dan terus berkembang  menjadi
sebuah sistem yang mendominasi ekonomi dan kebudayaan negara-negara dunia ketiga.
Kapitalisme  telah  menciptakan  kebudayaan  materialis  yang  seragam  dan  dalam  proses
melucuti akar-akar kebudayaan dan keagamaan rakyat, melucuti jati diri dan kemanusiaan mereka
sehingga menjadi  objek-objek  yang  mudah  dieksploitasi. Dan celakanya  dominasi budaya Barat
ini  dilestarikan  secara  sukarela  oleh  para  intelektual  setempat  tanpa  memahami  hakikat  baru
penjajahan  atas  negara-negara  dunia  ketiga  ini.  Dalam  pandangan  Ali  Syariati  semua  ideologi
dunia  ini  telah  gagal  membebaskan  manusia  dan  sebaliknya  menciptakan  bentuk-bentuk
ketidakadilan  baru  dan  penindasan  baru  pula  dalam  ungkapan  dan  sarana  yang  berbeda.
Karenanya untuk  mengatasi problem sosial ini harus dicari jalan baru, sebuah jalan  ketiga yang
menurut  Ali  Syariati  bisa  diperankan  oleh  Islam.Dalam  konteks  ini  Ali  Syariati  nampaknya
memimpikan  lahirnya  nabi-nabi  baru.  Nabi-nabi  baru  yang  diperankan  oleh  para  pemimpin
spiritual atau intelektual sebagai para pemikir bebas yang telah memperoleh pencerahan.
Menurut hemat penulis, gagasan Ali Syariati ini sangat dekat dengan gagasan Gramsci
yang  memberi  arti  penting  bagi  keberadaan  intelektual  organik.  Sebagaimana  Gramsci,  Ali
Syariati menggambarkan  nabi-nabi baru atau para pemikir bebas ini sebagai pemimpin spiritual
atau intelektual yang mampu berbahasa selaras dengan bahasa rakyat pada zamannya, juga mampu
merumuskan  pemecahan-pemecahan  masalah  sesuai  dengan  suara-suara  dan  nilai-nilai  budaya
masyarakatnya. Mereka membimbing dan bekerja demi keadilan, serta berjuang demi pembebasan
umat  manusia  dari  ketidakadilan,  penindasan,  pemiskinan  dan  penjajahan.  Inilah  makna
kesyahidan  menurut  Ali  Syariati,  yang  harus  dijalani  oleh  para  Nabi  yang  dalam  tradisi  Syiah
pernah dihadapi oleh Imam Husayn (Michael Amaladoss, 2000: 238-240).
Ali  Syariati  membubuhkan  spirit  pembebasan  Islam  dalam  sebuah  bait  doa  dalam
Martyrdom berikut ini: Ya Allah, Tuhan orang-orang yang terampas! Engkau hendak merahmati,
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
60
Orang-orang  yang  terampas  di  dunia  ini,  Orang  kebanyak  yang  bernasib  tak  berdaya,  Dan
kehilangan hidup, Orang yang diperbudak sejarah,Korban-korban penindasan, Dan penjarahan
waktu,  Orang-orang  celaka  di  atas  bumi  ini,  Menjadi  pemimpin-pemimpin  umat  manusia,  Dan
pewaris-pewaris bumi, Sekarang sudah tiba waktunya, Dan orang-orang terampas di atas bumi
ini, Merupakan pengharapan akan janji-Mu.
2.  Asghar Ali Engineer dan Elemen Pembebasan dalam Qur’an
Jika  Ali  Syariati  menggali  spirit  pembebasan  melalui  pemaknaan  atas  tokoh-tokoh
simbolis dalam hazanah kebudayaan Islam, maka Asghar Ali Engineer, seorang ahli teologi dan
aktivis  HAM  ini,  cenderung  menggunakan  pendekatan  tekstual  untuk  menggali  elemen-elemen
dan  prinsip-prinsip  pembebasan  dalam  Islam  yang  terangkum  dalam  penegasannya  mengenai
persamaan  dan  keadilan  (Michael  Amaladoss,  2000:  240-249).  Namun  demikian  rupanya
keduanya  juga  memiliki  kedekatan  konseptual.  Sebagaimana  Ali  Syariati,  Asghar  Ali  juga
menganggap  penting  peran  kenabian,  terutama  keberadaan  Nabi  Muhammad  SAW  dalam
pembaruan  sosial.  Nabi  Muhammad  bukan  sekadar  guru,  melainkan  juga  seorang  pejuang  dan
aktivis yang diutus untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan. Ia membebaskan
rakyat  Mekkah  dari  ketidakadilan  sosial  dan  ekonomi  serta  memberikan  inspirasi  pengikutnya
untuk  membebaskan  dirinya  dan  masyarakat  lain  dari  penindasan  oleh  kerajaan  Romawi  dan
Sassanid.
Lebih jauh secara doktriner, menurut Asghar Ali, ajaran tawhid yang disampaikan Nabi
tidak hanya mengandung makna teologis tentang konsep monoteisme Tuhan, tetapi juga memuat
makna  sosiologis  sebagai  kesatuan  sosial.  Argumentasi  ini  didasarkan  pada  firman  Allah
berbunyi:  Hai  manusia,  Kami  telah  menciptakan  kamu  semua  dari  seorang  laki-laki  dan
perempuan, dan telah membuat kamu menjadi bangsa-bangsa dan suku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang termulia dari antara kamu semua di mata Allah adalah
orang yang paling jujur (dan adil).  Lebih lanjut kesatuan sosial yang diajukan Qur’an ini bukan
hanya  bermatra  rasial  dan  etnis,  tetapi  juga  meliputi  penghapusan  ketidakadilan  akibat  dari
perbedaan  ekonomis.  Argumentasi  ini  didasarkan  pada  dua  kata  yang  digunakan  dalam  Qur’an
yang menyatakan keadilan, yakni adl dan qist. Adl bermakna ganda, bisa berarti keadilan juga bisa
berarti menyamakan atau meratakan. Lawannya adalah zulm yang berarti penindasan. Sedangkan
qist bermakna distribusi yang sama, yang adil, yang wajar, atau pemerataan. Distribusi yang sama
ini  juga  merujuk  pada  sumber-sumber  daya  jasmani,  yang  juga  meliputi  distribusi  kekayaan
sebagaimana dikukuhkan dalam Qur’an. Kekayaan tidak boleh  hanya beredar di kalangan kamu
orang-orang kaya (Qur’an, 59: 7).
Dari ayat tersebut dimaksudkan bahwa setiap orang tidak boleh menyimpan lebih banyak
dari  yang perlu, apalagi  ditujukan untuk hidup berlebihan, bermewah-mewah  dan berpamer ria.
Karena  cara  hidup  yang  demikian  itu  akan  mengantarkan  pada  kehancuran.Dan  bila  kami  akan
menghancurkan  sebuah  kota,  kami  mengirimkan  perintah  kepada  penghuninya  yang  hidup
bermewah-mewah,  dan  kemudian  mereka  melakukan  hal  yang  menjijikkan  di  dalamnya,  dan
dengan  demikian  dunia (terkutuk) terjadi padanya,  dan  kami  membinasakannya sampai  musnah
sama sekali. (Qur’an, 17: 16). Selain teks-teks di atas, Qur’an juga secara eksplisit menunjukkan
pembelaannya  terhadap  orang-orang  miskin  dan  tertindas  (kaum  mustadh’afin).  Berikut  ini
petikan ayat tersebut:Mengapa kamu tidak mau berjuang demi kepentingan Allah dan orang-orang
lemah  di  tengah-tengah  rakyat,  dan  demi  kepentingan  kaum  per empuan  dan  anak-anak  yang
berkata: Tuhan kami, keluarkanlah  kami dari kota yang  orang-orangnya penindas ini(Qur’an, 4:
75).   Juga:  Dan  kami  ingin  menunjukkan  perkenan  kepada  orang-orang  yang  tertindas  di  atas
bumi,  dan  menjadikan  mereka  pemimpin  dan  pewaris  (Qur’an,  28:  5).  Demikian  sentralnya
konsep  keadilan  ini  di  dalam  agama  Islam,  Qur’an  berungkali  menegaskan  perintah  dan  ajakan
untuk  bersikap  adil  dalam  segala  urusan  ketika  berhubungan  dengan  semua  orang  dengan  latar
belakang  apapun  dan  dalam  situasi  bagaimanapun.  Allah  berfirman:  Hai  orang-orang  yang
beriman jadilah saksi-saksi teguh akan Allah dalam keadilan, dan jangan kamu biarkan kebencian
akan orang-orang  manapun  membujuk  kamu sehingga kamu tidak berbuat adil. Berbuat adillah,
itu  lebih  dekat  dengan  kesalehan  (Qur’an,  5:  8)  Allah  juga  memberikan  penegasan  mengenai
larangan  berbuat  royal  dan  boros  yang  menunjukkan  hidup  bermewah-mewahan:  Perhatikan
perhiasanmu  di  setiap  tempat  ibadah  dan  makan  serta  minumlah,  tetapi  jangan  menjadi  orang
pemboros (peroyal) (Qur’an, 7: 31). Selain berbagai seruan untuk berbuat adil di atas, Islam juga
mencontohkan  bagaimana  mempraktekkan  tindakan  yang  adil  itu  dalam  kehidupan.  Melalui
konsep zakat yang merupakan salah satu dari rukun Islam, setiap individu umat Islam diwajibkan
untuk mendistribusikan kekayaannya kepada kaum miskin yang tidak bisa terlibat dalam prosesproses produksi. Allah berfirman:Dan  dalam kekayaan  mereka orang-orang yang berkekurangan
dan melarat (fakir miskin) mempunyai bagian semestinya (Qur’an, 51: 19) 
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
61
Dalam  bagian  lain  Allah  berkata:  Apakah  kamu  melihat  orang  yang  mendustakan
agama?  Dialah  yang  menyingkirkan  yatim  piatu  dan  tidak  mendesak  orang-orang  lain  untuk
memberikan makan orang-orang yang berkekuarangan. Celakalah orang-orang yang menjalankan
shalat  tapi  tidak  perduli  dengan  shalat  mereka:  yang  pamer  kesalehan  tetapi  tidak  memberikan
sedekah  kepada  orang-orang  yang  melarat  (Qur’an,  107:  1-7).  Demikianlah  prinsip-prinsip  dan
semangat  pembebasan  dalam  Islam  yang  dipantulkan  melalui  berbagai  ayat  dalam  Kitab  Suci
Qur’an.  Kenyataan  itu  semakin  meneguhkan  bahwa  dalam  tradisi  Islam  sendiri  sesungguhnya
memuat  spirit  pembebasan  yang  potensial  menjadi  suatu  gerakan  masif.  Yakni  suatu  gerakan
untuk  melawan  segala  bentuk  penindasan  dan  penjajahan  yang  membuat  rakyat  miskin  dan
terpinggirkan.  Bahkan  di  bawah  panji-panji  keadilan  dan  kesamaan,  teologi  pembebasan  dalam
Islam  melampaui  berbagai  ranah,  mulai  dari  bersikap  adil  terhadap  kaum  perempuan  sampai
penghormatan  dan  sikap  terbuka  serta  toleran  terhadap  agama-agama  dan  keyakinan  lain  yang
dianut oleh umat manusia.
3.  Hassan Hanafi dan Kiri Islam
Hassan  Hanafi  adalah  seorang  pemikir  revolusioner,  reformis  tradisi  intelektual  Islam
klasik,  dan  sekaligus  penerus  gerakan  Al-Afghani.  Ia  menyelesaikan  studi  doktoralnya  di
Universitas Sorbonne, Paris, pada 1966, dan menjadi guru besar pada fakultas Filsafat Universitas
Kairo. Ia menjadi terkenal setelah meluncurkan proyek pemikiran revolusionernya dalam sebuah
jurnal  Al-Yasar al-Islami: Kitabat fi Al-Nahdla Al-Islamiyah  (Kiri Islam: Beberapa Esei tentang
Kebangkitan Islam) yang terbit pada 1981 segera setelah kemenangan revolusi Islam di Iran.
Sejak saat itulah pemikiran Hassan Hanafi akrab diidentikkan  dengan Kiri Islam  yang
merupakan  manifesto  ideologi  pembebasan  dalam  Islam.  Seperti  apakah  konsep  Kiri  Islam  itu?
Dalam sebuah artikel panjang berjudul Madza yakni  al-yasar al-islami (Apakah Kiri Islam itu?)
yang dimuat dalam jurnal Al-Yasar al-Islami, Hassan Hanafi menegaskan bahwa Kiri Islam adalah
nama  ilmiah  atau  istilah  akademik  yang  menunjuk  pada  gagasan  yang  berpihak  kepada  orangorang  yang  dikuasai, kaum tertindas, dan  orang  miskin. Kiri Islam adalah gerakan transformasi
sosial  untuk  mengubah  kesadaran  individual  menjadi  kesadaran  kolektif  dalam  rangka
menyuarakan  mayoritas  yang  diam  di  antara  umat  Islam,  membela  kepentingan  seluruh  umat
manusia,  mengambil  hak-hak  kaum  miskin  dari  tangan  orang-orang  kaya,  memperkuat  orangorang yang lemah dan menjadikan manusia sama dan setara. Salah satu elemen revolusionernya
bisa  ditemukan  dalam  Qur’an  berbunyi:  Dan  Aku  menhendaki  kemenangan  orang-orang  yang
tertindas di bumi, dan menjadikan mereka pemimpin-pemimpin dan pewaris-pewaris (Qur’an, 28:
5) (Kazuo Shimogaki, 1993: 85-90).
Sebagaimana  Ali  Syariati,  Hassan  Hanafi  yang  memperoleh  pendidikan  Barat  di  Paris
memanfaatkan hazanah filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern untuk  menganalisis kondisi sejarah
dan realitas umat Islam  di  Arab dan  di bagian  dunia  lain  yang terpuruk dalam  kemisikinan  dan
penjajahan. Melalui analisisnya yang tajam terhadap imperialisme Barat dan kondisi internal umat
Islam inilah Hassan Hanafi akhirnya sampai pada gagasannya mengenai Kiri Islam. Hassan Hanafi
memperingatkan  pembacanya  akan  bahaya  imperialisme  kultural  Barat  yang  bisa  menghapus
kekayaan budaya bangsa-bangsa serta menciptakan keterbelakangan. Liberalisme dan kapitalisme
yang  telah  bermetamorfosis  menjadi  imperialisme  budaya  (pengetahuan)  dan  kapitalisme
multinasional  ternyata  didikte  oleh  kebudayaan  Barat  yang  berperilaku  seperti  kolonial  yang
hanya melayani kelas-kelas elit yang menguasai aset negara.
Sementara  di  sisi  lain  mayoritas  rakyat  tetap  tertindas,  miskin  dan  terpinggirkan  dari
proses-proses  sejarah  yang  menentukan  ini.  Celakanya,  menurut  Hassan  Hanafi,  pengaruh
eksternal  tersebut  memperoleh  dukungannya  dari  kondisi  internal  umat  Islam  sendiri.  Tendensi
keagamaan  umat  Islam  telah  terkooptasi  kekuasaan  yang  hanya  meletakkan  Islam  sebagai  ritus
dan  kepercayaan  ukhrawi.  Tekstualisme  dalam  penafsiran  Kitab  Suci  secara  dramatis  telah
menjauhkan umat Islam dari kondisi eksistensi realnya, berupa keterbelakangan, kemiskinan dan
ketertindasan. Alih-alih bisa membebaskan dari kondisi-kondisi ini, fenomena ritualisme itu telah
menjadi topeng yang menyembunyikan dominasi Barat dan kapitalisme nepotis. Selain kedua hal
di  atas,  bahaya  lain  juga  datang  dari  Marxisme  yang  berpretensi  mewujudkan  keadilan  dan
menentang  kolonialisme  ternyata  tidak  diikuti  dengan  pembebasan  rakyat  dan  pengembangan
khazanah mereka (yakni khazanah agama-agama) sebagai energi untuk mewujudkan tujuan-tujuan
kemerdekaan  nasional.  Sementara  nasionalisme  revolusioner  sendiri  yang  tampak  berhasil
membuat perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik dan ekonomi ternyata tidak berumur
lama. Karena  ia berhenti  hanya sebatas slogan sehingga tidak  mampu  mempengaruhi  kesadaran
mayoritas rakyat (Kazuo Shimogaki, 1993: 91-92).
Akhirnya berlandaskan analisis sosial politik inilah Hassan Hanafi menganggap penting
upaya  untuk  memperkuat  jati  diri  umat  Islam,  yakni  dengan  memasuki  medan  percaturan  yang
paling mendasar dalam kebudayaan dan kesadaran historis masyarakat. Dan Kiri Islam ditujukan
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
62
untuk kepentingan ini. Yakni membekali pribadi dan menggugah kesadaran untuk menyongsong
kebangkitan  rakyat  melalui  upaya  revitalisasi  pemikiran  keislaman  dengan  memantapkan  posisi
rakyat dalam sejarah (Shimogaki, 1993: 140).
Proyek  Kiri  Islam  Hassan  Hanafi  setidaknya  meliputi  dua  aspek  penting.  Pertama,
merevitalisasi  dimensi  revolusioner  dalam  khazanah  intelektual  Islam  klasik.  Kedua  menantang
peradaban  Barat  yang  hegemonik.Pada  aspek  pertama,  Kiri  Islam  telah  menggali  paradigma
independen  pemikiran  keagamaan  yang  menekankan  arti  penting  gerakan  rasionalisme,
naturalisme  dan  kebebasan  manusia.  Dalam  hal  ini  Hassan  Hanafi  menilai  mu’tazilah  telah
mewariskan  tradisi  yang  berharga  mengenai  kebebasan  dan  tanggung  jawab  manusia  atas
perbuataannya,  sehingga  manusia  menyadari  perannya  untuk  selalu  berusaha  mewujudkan
kebaikan  melalui  perbuatannya  yang  disertai  dengan  keyakinan  iman.  Dalam  hal  ini
kepemimpinan  umat  islam  harus  berdasarkan  pemilihan  demokratis  dan  amar  ma’ruf  nahi
mungkar  adalah  kewajiban  setiap  muslim.  Demikian  juga  sesuai  dengan  tanggung  jawabnya,
manusia  dituntut  teguh  untuk  merebut  hak-haknya  dan  mengembalikan  martabatnya  yang
dirampas. Kiri Islam juga juga memperhitungkan semangat kaum Syi’ah yang menancapkan harga
diri Islam melawan kolonialisme dan westernisme.
Dalam kehidupan sosial dan politik, Kiri Islam menggunakan pendekatan kemaslahatan
serta membela kepentingan rakyat dalam penetapan hukum. Ini dianut berdasarkan paradigma fiqh
dan usul-fiqh Malikiyah yang berasal dari tradisi Abdullah ibn Mas’ud yang dikembangkan dari
Umar ibn Khattab yang membela kemaslahatan umat secara realistis dan mengetahuinya meskipun
belum ada petunjuk wahyu  hingga datang  wahyu yang  membenarkan pendapatnya. Oleh  karena
itulah  dalam  menafsirkan  teks,  Kiri  Islam  senantiasa  menggunakan  akal  seoptimal  mungkin
sebagaimana yang dilakukan Hanafiyah dan memadukannya dengan cermin realitas sebagaimana
Syafi’iyah,  dengan  tanpa  meninggalkan  komitmen  pada  teks  itu  sendiri  sebagaimana  dilakukan
Hambaliyah.  Ini  karena  bagi  Kiri  Islam,  teks  adalah  refleksi  atas  realitas  itu  sendiri.Kiri  Islam
memperoleh akarnya  dari filsafat rasional  yang sudah dibangun  oleh  Al-Kindi  dan  Ibnu Rusyd,
juga  pada  ilmu-ilmu  rasional  murni  dalam  khazanah  klasik.  Kiri  Islam  berpretensi  untuk
mengangkat  kembali  ilmu-ilmu  klasik  sepertimatematika,  fisika,  arsitektur,  kimia,  kedokteran,
biologi, farmasi, dan sebagainya dalam pangkuan Islam.  Kiri Islam juga berakar pada ilmu-ilmu
kemanusiaan  yang  sudah  diletakkan  dasarnya  oleh  pendahulu  kita,  seperti  ilmu  bahasa,  sastra,
geografi, sejarah, psikologi dan sosiologi. Selain itu Kiri Islam juga memiliki akar pada ilmu-ilmu
normatif  tradisional  murni  (al-ulum  al-naqliyah  al-khalizhah),  yakni  ilmu  yang  pertama  kali
berkembang di sekitar wahyu seperti: ilmu-ilmu Qur’an, Hadist, Tafsir dan Fiqh.
Beberapa cabang itu bisa dikembangkan secara kontemporer. Misalnya asbab al-nuzuli
dalam ilmu-ilmu Qur’an dimaksudkan untuk mengutamakan realitas, ilmu nasikh wa al-mansukh
untuk  melihat  aspek  gradualisme  dalam  penerapan  syariah,  dan  lainnya.  Semua  ini  bisa
dikembangkan  menjadi  ilmu  eksperimental,  seperti  statistik,  sosiologi,  historiografi,  ideologi,
sistem politik dan ekonomi.Kiri Islam juga mengkaji kembali ajaran tentang ibadah yang selama
ini  menjadi  seolah-olah  tujuan  padahal  sesungguhnya  sebagai  sarana  untuk  mencapai  tujuan.
Menurut  Hanafi,  orang  yang  berhenti  pada  sarana  tanpa  pernah  sampai  tujuan  maka  ia
sesungguhnya  tak  pernah  shalat,  puasa,  haji  dan  syahadat.  Syahadat  tidak  semata-mata
mengucapkan  Asyhadu  an-la  Ilaha  Illa  Allah  wa  asyhadu  anna  Muhammad  Rasul  Allah.
Melainkan  sebuah  persaksian  yang  aktif,  yang  dimulai  dengan  bentuk  negatif  la  Ilaha  yang
bermakna negasi atas kekuatan penindas dan tuhan-tuhan palsu di sekitar kita, baik dalam bentuk
uang maupun kekuasan; lalu penetapan Illa Allah berarti hanya Allah yang Maha Perkasa (Kazuo
Shimogaki, 1993: 95-106). Demikianlah dengan merevitalisasi seluruh khazanah intelektual klasik
ini  hendak  ditunjukkan  bahwa  kebangkitan  masyarakat  Islam  akan  datang  dari  dalam,  yakni
melalui pengembangan dimensi internal umat Islam sendiri. Adapun aspek kedua dari proyek Kiri
Islam  adalah  melawan  hegemoni  kebudayaan  Barat. Dalam  konteks  ini  tugas  Kiri  Islam  adalah
menghadapi  ancaman  imperialisme  ekonomi  korporasi  multinasional  dan  imperialisme
kebudayaan  yang  menggerogoti  jati  diri  dan  kemandirian  umat.  Tugas  Kiri  Islam  adalah
melokalisir Barat, yakni mengembalikan Barat  kepada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos
bahwa  Barat  adalah  pusat  peradaban  dunia  yang  berambisi  menjadi  paradigma  kemajuan  bagi
bangsa-bangsa  lain.  Dengan  penolakan  ini  berarti  bangsa-bangsa  non-Barat  berusaha  melawan
dominasi dan hegemoni yang telah merenggut kemerdekaan dan kepribadian bangsa-bangsa lain,
sehingga bisa menentukan nasib dan kesejahteraannya sendiri (Kazuo Shimogaki, 1999: 106-108).
H.  Kongklusi
Dari paparan di atas, maka setidaknya dapat disimpulkan dalam catatan penutup ini bahwa
teologi  pembebasan  adalah  teori  ketuhanan  yang  berorientasi  pada  kemanusiaan  dan  pembebasan
kaum tertindas baik secara kultural maupun secara struktural.  Pertama, teologi pembebasan lahir dari
pembacaan  yang  kaya  terhadap  khazanah  pemikiran  maupun  kebudayaan  internal  masing-masing
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
63
agama  atau  tradisi  komunitas  tertentu.  Dengan  menyadari  ini  kita  akan  memperoleh  kesimpulan
bahwa  sesungguhnya  spirit  pembebasan  sudah  ada  dalam  pengalaman  dalam  tiap-tiap  agama  dan
kebudayaan, termasuk dalam agama Islam. Kedua, semangat pembebasan hanya mungkin manifes jika
perumusan  teologi  diorientasikan  pada  solidaritas  dan  pembebasan  terhadap  umat  manusia  yang
lemah.  Oleh  karena  itu  dibutuhkan  kehendak,  kesadaran  diri,  kebebasan  dan  tanggung  jawab  setiap
individu untuk bersama-sama melakukan transformasi sosial menuju kehidupan yang lebih adil, setara
dan  manusiawi.  Inilah  makna  teologi  pembebasan  dalam  masyarakat  Islam.  Praktek  ritual  adalah
penting namun ia memerlukan indikator sosial. Indikator material ibadah yang diterima Tuhan adalah
keberhasilannya menegakkan kebenaran dan keadilan (QS. Al Maidah; 8). Sedangkan indikator sosial
ibadah yang tidak diterima adalah membiarkan ketidakadilan, kemiskinan, dan ketertindasan di sekitar
kita.  (QS.  Al  Maa’un).  Akhirnya,  hadirnya  teologi  pembebasan  dalam  agama-agama  sesungguhnya
adalah cermin bagi diri umat beragama untuk selalu terbuka terhadap pengetahuan dan realitas alam
yang diwahyukan Tuhan. Karena realitas inilah yang ikut memperkaya wawasan kita tentang iman dan
cara berteologi  yang relevan  dengan  konteks zaman.  [Catatan tambahan: Dalam tulisannya berjudul
Al-din wa al-tsaurah  (Agama dan Pembebasan), Hassan Hanafi tidak saja mengakui bahwa Kiri Islam
diilhami  oleh  momentum  kesuksesan  Revolusi  Islam  Iran  dan  mengklaim  sebagai  kelanjutan  dari
jurnal  Al-Urwatul Wutsqa-nya Jamaluddin  Al-Afghani  yang  gigih  melawan  imperialisme  Barat dan
berobsesi mempersatukan umat islam. Kiri Islam juga diinspirasikan oleh revolusi agama-agama lain.
Seperti  revolusi  yang  terjadi  dalam  sejarah  Yudaisme  dan  Kristiani,  perlawanan  Ibnu  Uqaibah
melawan Romawi, pemberontakan petani di Jerman abad XVI, teologi pembebasan di Amerika Latin
dan revolusi Gereja Hitam di Amerika Utara. Selain itu juga revolusi di luar agama-agama monoteis
seperti revolusi Budhis di Vietnam, revolusi Konfusionisme di Cina dan revolusi agama-agama Afrika
melawan penjajah Kulit Putih di Afrika Utara.[]
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
64
Hand-Out 05:
TELAAH KRITIS PEMIKIRAN HASSAN HANAFI
Oleh: Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta & Pascasarjana Sosiologi Fisipol UGM,
Kader Kultural PMII Daerah Istimewa Jogjakarta. 085 647 634 312/ nuriel.ugm@gmail.com
A.  Riwayat Hidup dan Kondisi Sosio-Kultural Mesir
Hassan Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas  Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13
Februari  1935  di  Kairo,  di  dekat  Benteng  Salahuddin,  daerah  perkampungan  Al-Azhar.  Kota  ini
merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama
di  Universitas  Al-Azhar.  Meskipun  lingkungansosialnya  dapat  dikatakan  tidak  terlalu  mendukung,
tradisi  keilmuan  berkembang  di  sana  sejak  lama.  Secara  historis  dan  kultural,  kota  Mesir  memang
telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk
dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa modern. Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota
Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan.
B.  Hassan Hanafi Masa kecil
Hanafi  berhadapan  dengan  kenyataan-kenyataan  hidup  di  bawah  penjajahan  dan  dominasi
pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga
tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan
perang melawan Israel pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya
masih terlalu muda. Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin.
Ia  kecewa  dan  segera  menyadari  bahwa  di  Mesir  saat  itu  telah  terjadi  problem  persatuan  dan
perpecahan.  Ketika  masih  duduk  di  bangku  SMA,  tepatnya  pada  tahun  1951,  Hanafi  menyaksikan
sendiri  bagaimana  tentara  Inggris  membantai  para syuhada  di  Terusan  Suez.  Bersama-sama  dengan
para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir
tahun 1940-an hingga revolusi itu meletus padatahun 1952.
Atas  saran  anggota-anggota  Pemuda  Muslimin,  pada  tahun  ini  ini  pula  ia   tertarik  untuk
memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, di tubuhIkhwan; pun terjadi perdebatan yang
sama dengan apa yang terjadi di Pemuda Muslimin. Kemudian Hanaafi kembali disarankan oleh para
anggota  Ikhwanul  Muslimin  untuk  bergabung  dalam  organisasi  Mesir  Muda.  Ternyata  keadaan  di
dalamtubuh  Mesir  Muda  sama  dengan  kedua  organisasi  sebelumnya.  Hal  ini  mengakibatkan
ketidakpuasan Hanafi atas cara berpikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak. Kekecewaan ini
menyebabkan ia memutuskan beralih konsentrasi untuk mendalami pemikiran-pemikiran keagamaan,
revolusi, dan perubahan sosial. Ini juga yang menyebabkan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran
Sayyid Qutb, seperti tentang prinsip-prinsip Keadilan Sosial dalam Islam.
Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami
bidang filsafat. Didalam periode ini ia merasakan situasi yang paling burukdi Mesir. Pada tahun 1954
misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak
Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan  visi
keislaman  yang  jelas.  Kejadian-kejadian  yang  ia  alami  pada  masa  ini,  terutama  yang  ia  hadapi  di
kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis. Keprihatinan yang
muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi.
Tahun-tahun berikutnya, Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada
tahun 1956 sampai 1966.
Di  sini  ia  memperoleh  lingkungan  yang  kondusif  untuk  mencari  jawaban  atas  persoalanpersoalan  mendasar  yang  sedang  dihadapi  oleh  negerinya  dan  sekaligus  merumuskan  jawabanjawabannya.  Di  Perancis  inilah  ia  dilatih  untuk  berpikir  secara  metodologis  melalui  kuliah-kuliah
maupun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik,
Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi
dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bibingan penulisan tentang pembaharuan Ushul
Fikih  dari  Profesor  Masnion.  Semangat  Hanafi  untuk  mengembangkan  tulisan­tulisannya  tentang
pembaharuan pemikiran  Islam semakin tinggi sejak ia pulang  dari Perancis pada tahun 1966.  Akan
tetapi,  kekalahan  Mesir  dalam  perang  melawan  Israel  tahun  1967  telah  mengubah  niatnya  itu.  la
kemudian ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali semangat nasionalisme mereka.
Pada  sisi  lain,  untuk  menunjang  perjuangannya  itu,  Hanafi  juga  mulai  memanfaatkan  pengetahuanpengetahuan  akademis  yang  telahis  peroleh  dengan  memanfaatkan  media  massa  sebagai  corong
perjuangannya.  Ia  menulis  banyak  artikel  untuk  menangggapi  masalah-masalah  aktual  dan  melacak
faktor kelemahan umat Islam.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
65
Di waktu-waktu luangnya, Hanafi mengajar di UniversitasKairo dan beberapa universitas di
luar negeri. Ia sempat menjadi profesor tamu di Perancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian antara
tahun  1971  sampai  1975  iamengajar  di  Universitas  Temple,  Amerika  Serikat.  Kepergiannya  ke
Amerika,  sesungguhnya  berawal  dari  adanya  keberatan  pemerintah  terhadap  aktivitasnya  di  Mesir,
sehingga  ia  diberikan  dua  pilihan  apakah  ia  akan  tetap  meneruskan  aktivitasnya  itu  atau  pergi  ke
Amerika  Serikat.  Pada  kenyataannya,  aktivitasnya  yang  baru  di  Amerika  memberinya  kesempatan
untuk banyak menulis tentang dialog antar agama dengan revolusi.
Baru setelah kembali dari Amerika ia mulai menulis tentang pembaruan pemikiran Islam. la
kemudian  memulai  penulisan  buku  Al-Turats  wa  al-Tajdid.  Karya  ini,  saat  itu,  belum  sempat  ia
selesaikan  karena  ia  dihadapkan  pada  gerakananti-pemerintah  Anwar  Sadat  yang  pro-Barat
dan”berkolaborasi”  dengan  Israel.  la  terpaksa  harus  terlibat  untuk  membantu  menjernihkan  situasi
melalui tulisan-tulisannya yang berlangsung antara tahun 1976 hingga 1981. Tulisan-tulisannya itulah
yang kemudian tersusun menjadi buku  Al Din wa AI-Tsaurah. Sementara itu, dari tahun 1980 sampai
1983 ia menjadi profesortamu di Univer­sitas Tokyo, tahun 1985 di Emirat Arab. Ia pun diminta untuk
merancang berdirinya Universitas Fes ketika ia mengajar di sana pada tahun-tahun1983-1984.
Hanafi  berkali-kali  mengunjungi  negara-negara  Belanda,  Swedia,  Portugal,  Spanyol,
Perancis,  Jepang,  India,  Indonesia,  Sudan,  Saudi  Arabia  dan  sebagainya  antara  tahun  1980-1987.
Pengalaman  pertemuannya  dengan  para  pemikir  besar  di  negara-negara  tersebut  telah  menambah
wawasannya  untuk  semakin  tajam  memahami  persoalan-persoalan  yang  dihadapi  oleh  dunia
Islam.Maka,  dari  pengalaman  hidup  yang  ia  peroleh  sejak  masih  remaja  membuat  ia  memiliki
perhatian yang begitu besar terhadap persoalan umat Islam.
Karena  itu,  meskipun  tidak  secara  sepenuhnya  mengabdikan  diri  untuk  sebuah  pergerakan
tertentu, ia pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan pergerakan-pergerakan yang adadi
Mesir. Sedangkan pengalamannya dalam bidang akademis dan intelektual, baik secara formal maupun
tidak,  dan  pertemuannya  dengan  para  pemikir  besar  dunia  semakin  mempertajam  analisis  dan
pemikirannya  sehingga  mendorong  hasratnya  untuk  terus  menulis  dan  mengembangkan  pemikiranpemikiran baru untuk membantu menyelesaikan persoalan-persolan besar umat Islam.
C.  Perkembangan  Pemikiran dan Karya-karyanya
Untuk  memudahkan  uraian  pada  bagian  ini,  kita  dapat  mengklasifikasikan  karya-karya
Hanafi dalam tiga periode seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa penulis yang telah lebih dulu
mengkaji pemikiran tokoh ini: Periode pertama berlangsung pada tahun-tahun 1960-an; periode kedua
pada tahun-tahun 1970-an, dan periode ketiga dari tahun-tahun 1980-an sampai dengan 1990-an.
Pada  awal  dasawarsa  1960-an  pemikiran  Hanafi  dipengaruhi  oleh  faham-faham  dominan
yang  ber­kembang  di  Mesir,  yaitu  nasionalistik-sosialistik  populistik  yang  juga  dirumuskan  sebagai
ideologi  Pan  Arabisme,  dan  oleh  situasi  nasional  yang  kurang  menguntungkan  setelah  kekalahan
Mesir  dalam  perang  melawan  Israel  pada  tahun1967.  Pada  awal  dasawarsa  ini  pula  (1956-1966),
sebagaimana telah dikemukakan, Hanafi sedang beradadalam masa-masa belajar di Perancis.
Di Perancis inilah, Hanafi lebih banyak lagi menekuni bidang-bidang filsafat dan ilmu sosial
dalam kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam. Untuk
tujuan rekonstruksi itu, selama berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, terutama, metod e
interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul fikih (teori hukum Islam,  Islamic legal theory)
dan  tentang  fenomenologi  sebagai  metode  untuk  memahami  agama  dalam  konteks  realitas
kontemporer.  Penelitian  itu  sekaligus  merupakan  upayanya  untuk  meraih  gelar  doktor  pada
Universitas Sorbonne (Perancis), dan ia berhasil menulis disertasi yang berjudul Essai sur la Methode
d’Exegese (Esai tentang Metode Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan
sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya yaitu jelas Hanafi berupaya
menghadapkan ilmu ushul fikih pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.
Pada  fase  awal  pemikirannya  iru,  tulisan-tulisan  Hanafi  masih  bersifat  ilmiah  murni.  Baru
pada akhir dasawarsa itu ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan
kehidupan  yang progresif  dan berdimensi pembebasan (taharrur, liberation). Ia  mensyaratkan fungsi
pembebasan jika memang itu yang diinginkan Islam agar dapat membawa masyarakat pada kebebasan
dan  keadilan,  khususnya  keadilan  sosial,  sebagai  ukuran  utamanya.  Struktur  yang  populistik  adalah
manifestasi kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya. Hanafi sampai
pada kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistik yang ada. Pada
akhir  periode  ini,  dan  berlanjut  hingga  awal  periode  1970-an,  Hanafi  juga  memberikan  perhatian
utamanya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967.
Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal periode 1970-an, ia banyak menulis
artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikral-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam.
Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul  Qadhaya
Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Buku ini memberikan deskripsi tentang realitas dunia Arab saat itu,
analisis  tentang  tugas  para  pemikir  dalam  menanggapi  problema  umat,  dan  tentang  pentingnya
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
66
pembaruan  pemikiran  Islam  untuk  menghidupkan  kembali  khazanah  tradisional  Islam.  Kemudian,
pada tahun 1977, kembali  ia  menerbitkan  Qadhaya  Mu`ashirat fi al Fikral-Gharib. Buku  kedua ini
mendiskusikan  pemikiran  parasarjana  Barat  untuk  melihat  bagaimana  mereka  memahami  persoalan
masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan. Beberapa pemikir Barat yang ia singgung itu
antara lain Spinoza, Voltaire, Kant, Hegel, Unamuno, Karl Jaspers, Karl Marx, Marx Weber, Edmund
Husserl, dan Herbert Marcuse.
Kedua  buku  itu  secara  keseluruhan  merangkum  dua  pokok  pendekatan  analisis  yang
berkaitan  dengan  sebab-sebab  kekalahan  umat  Islam;  memahami  posisi  umat  lslam  sendiri  yang
lemah,  dan  memahami  posisi  Barat  yang  superior.  Untuk  yang  pertama  penekanan  diberikan  pada
upaya  pemberdayaan  umat,  terutama  dari  segi  pola  pikirnya,  danyang  kedua  ia  berusaha  untuk
menunjukkan  bagaimana  menekan  superioritas  Barat  dalam  segala  aspek  kehidupan.  Kedua
pendekatan inilah yang nantinya melahirkan dua pokok pemikiran baru yang tertuang dalam dua buah
karyanya, yaitu Al-Turats wa al-Tajdid (Tradisi dan Pembaruan), dan Al-Istighrab (Oksidentalisme).
Pada periode ini, yaitu antara tahun-tahun 1971-1975, Hanafi juga menganalisis sebab-sebab
ketegangan antara berbagai kelompok kepentingan  di Mesir, terutama antara kekuatan Islam radikal
dengan  pemerintah.  Pada  saat  yang  sama  situasi  politik  Mesir  mengalami  ketidakstabilan  yang
ditandai dengan beberapa peristiwa penting yang berkaitan dengan sikap Anwar Sadat yang pro-Barat
dan  memberikan  kelonggaran  pada  Israel,  hingga  ia  terbunuh  pada  Oktober  1981.  Keadaan  itu
membawa  Hanafi  pada  pemikiran  bahwa  seorang  ilmuan  juga  harus  mempunyai  tanggung  jawab
politik  terhadap  nasib  bangsanya.  Untuk  itulah  kemudian  ia  menulis  Al-Din  waal-Tsaurah  fi  Mishr
1952-1981. Karya ini terdiri dari 8 jilid yang merupakan himpunan berbagai artikel yang ditulis antara
tahun 1976 sampai 1981 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1987.  Karya itu berisi pembicaraan
dan analisis tentang kebudayaan  nasional  dan  hubungannya  dengan agama, hubungan antara agama
dengan  perkembangan  nasionalisme,  tentang  gagasan  mengenai  gerakan  “Kiri  Keagamaan”  yang
membahas  gerakan-gerakan  keagamaan  kontemporer,  fundamentalisme  Islam,  serta  “Kiri  Islam  dan
Integritas Nasional”. Dalam analisisnya Hanafi menemukan bahwa salah satu penyebab utama konflik
berkepanjangan di Mesir adalah tarik-menarik antara ideologi Islam dan Barat dan ideologi sosialisme.
Ia juga  memberikan bukti-bukti penyebab munculnya berbagai tragedi politik dan, terakhir,
menganalisis penyebab munculnya radikalisme Islam. Karya-karya lain yang ia tulis pada periode ini
adalah  Religious Dialogue and Revolution  dan  Dirasat al-Islamiyyah.    Buku  pertama berisi pikiranpikiran yang ditulisnya antara tahun 1972-1976 ketika ia berada di Amerika Serikat, dan terbit pertama
kali  pada  tahun1977.  Pada  bagian  pertama  buku  ini  ia  merekomendasikan  metode  hermeneutika
sebagai  metode  dialog  antara  Islam,  Kristen,  dan  Yahudi.  Sedangkan  bagian  kedua  secara  khusus
membicarakan  hubungan  antara agama  dengan  revolusi,  dan  lagi-lagi  ia  menawarkan  fenomenologi
sebagai metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas umat Islam.
Sementara  itu  Dirasat  Islamiyyah,  yang  ditulis  sejak  tahun  1978  dan  terbit  tahun  1981,
memuat  deskripsi  dan  analisis  pembaruan  terhadap  ilmu-ilinu  keislaman  klasik,  seperti  ushul  fikih,
ilmu-ilmu  ushuluddin,  dan  filsafat.  Dimulai  dengan  pendekatan  historis  untuk  melihat
perkembangannya,  Hanafi  berbicara  tentang  upaya  rekonstruksi  atas  ilmu-ilmu  tersebut  untuk
disesuaikan  dengan  realitas  kontemporer.  Periode  selanjutnya,  yaitu  dasawarsa  1980-an  sampai
dengan awal 1990-an,  dilatarbelakangi  oleh  kondisipolitik  yang relatif lebih stabil  ketimbang  masamasa sebelumnya.
Dalam  periode  ini,  Hanafi  mulai  menulis  Al-Turats  wa  al-Tajdid  yang  terbit  pertama  kali
tahun  1980.  Buku  ini  merupakan  landasan  teoretis  yang  memuat  dasar-dasar  ide  pembaharuan  dan
langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al-Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih
merupakan  sebuah  “manifesto  politik”  yang  berbau  ideologis,  sebagaimana  telah  saya  kemukakan
secara singkat di atas. Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan
rincian  dari  program   pembaruannya,  buku  Min  Al-Aqidah  ila  Al-Tsaurah  (5  jilid),  yang  ditulisnya
selama  hampir  sepuluh  tahun  dan  baru  terbit  pada  tahun  1988.  Buku  ini  memuat  uraian  terperinci
tentang  pokok-pokok  pembaruan  yang  ia  canangkan  dan  termuat  dalam  kedua  karyanya  yang
terdahulu.  Oleh  karena  itu,  bukan  tanpa  alasan  jika  buku  ini  dikatakan  sebagai  karya  Hanafi  yang
paling  monumental.  Satu  bagian  pokok  bahasan  yang  sangat  penting  dari  buku  ini  adalah  gagasan
rekonstruksi ilmu kalam.
Pertama-tama ia  mencoba  menjelaskan seluruh  karya dan aliran  ilmu  kalam, baik  dari sisi
kemunculannya,  aspek  isi  dan  metodologi  maupun  perkembangannya.  Lalu  ia  melakukan  analisis
untuk melihat kelebihan dan kekurangannya, terutama relevansinya dengan konteks modernitas. Salah
satu kesimpulannya adalah bahwa pemikiran kalam klasik masih sangat teoretis, elitis dan statis secara
konsepsional. Ia merekomendasikan sebuah teologi atauilmu kalam yang antroposentris, populis, dan
transformatif.
Selanjutnya,  pada  tahun-tahun  1985-1987,  Hanafi  menulis  banyak  artikel  yang  ia
presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda,
Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu kemudian disusun menjad isebuah
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
67
buku  yang  berjudul  Religion,  Ideology,  and  Development    yang  terbit  pada  tahun  1993.  Beberapa
artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2 jilid). Selain
berisi  kajian-kajian  agama  dan  filsafat,  dalam  karya-karyanya  yang  terakhir  pemikiran  Hanafi  juga
berisi  kajian-kajian  ilmu sosial, seperti  ekonomi  dan teknologi. Fokus pemikiran Hanafi pada karya
karya  terakhir  ini  lebih  tertuju  pada  upaya  untuk  meletakkan  posisi  agama  serta  fungsinya  dalam
pembangunan  di  negara-negara  dunia  ketiga.  Pada  perkembangan  selanjutnya,  Hanafi  tidak  lagi
berbicara tentang ideologi tertentu melainkan tentang paradigma baru yang sesuai dengan ajaran Islam
sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum muslimin. Sublimasi pemikiran dalam diri Hanafi ini antara
lain  didorong  oleh  maraknya  wacana  nasionalisme-pragmatik  Anwar  Sadat  yang  menggeser
popularitas  paham  sosialisme  Nasser  di  Mesir  pada  dasawarsa  1970-an.  Paradigma  baru  ini  ia
kembangkan sejak paroh kedua dasawarsa 1980-an hingga sekarang.
Pandangan  universalistik  ini  di  satu  sisi  ditopang  oleh  upaya  pengintegrasian  wawasan
keislaman  dari  kehidupan  kaum  muslimin  ke  dalam  upaya  penegakan  martabat  manusia  melalui
pencapaian  otonomi  individual  bagi  warga  masyarakat;  penegakan  kedaulatan  hukum,  penghargaan
pada  HAM,  dan  penguatan  (empowerment)  bagi  kekuatan  massa  rakyat  jelata.  Pada  sisi  lain,
paradigma universalistik yang diinginkan Hanafi harus dimulai dari pengembangan epistemologi ilmu
pengetahuan baru. Orang Islam, menurut Hanafi, tidak butuh hanya sekadar menerima dan mengambil
alih  paradigma  ilmu  pengetahuan  modern  Barat  yang  bertumpu  pada  materialisme,  melainkan  juga
harus  mengikis  habis  penolakan  mereka  terhadap  peradaban  ilmu  pengetahuan  Arab.  Seleksi  dan
dialog konstruktif dengan peradaban Barat itu dibutuhkan untuk mengenal dunia Barat dengan setepattepatnya.  Dan  upaya  pengenalan  itu  sebagai  unitkajian  ilmiah,  berbentuk  ajakan  kepada  ilmu-ilmu
kebaratan  (al-Istighrab,  Oksidentalisme)  sebagai  imbangan  bagi  ilmu-ilmu  ketimuran  (al-Istisyraq,
Orientalisme). Oksidentalisme dimaksudkan untuk mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya,
sehingga dari pendekatan  ini akan  muncul  kemampuan  mengembangkan  kebijakan  yang  diperlukan
kaum muslimin dalam ukuran jangka panjang.
Dengan pandangan ini Hassan Hanafi memberikan harapan Islam untuk menjadi mitra bagi
peradaban-peradaban lain  dalam penciptaan peradaban  dunia baru dan universal. Sekitar Pandangan
Hassan Hanafi tentang  Teologi Tradisional Islam  di muka telah kita lihat, meskipun dalam beberapa
hal menolak dan mengkritik Barat, Hanafi  banyak menyerap dan mengonsentrasikan diri pada kajian
pemikir Barat pra-modern dan modern. Oleh karena itu, Shimogaki mengkatagorikan Hanafi sebagai
seorang  modernis-liberal,  karena  ide-ide  liberalisme  Barat,  demokrasi,  rasionalisme  dan  pencerahan
telah banyak mempengaruhinya.
Pemikiran  Hanafi  sendiri,  menurut  Isaa  J.  Boulatta  dalam  Trends  and  lssues  in
Contemporary Arabs Thought  bertumpu pada tiga landasan: 1) tradisi atau sejarah Islam; 2) metode
fenomenologi,  dan;  3)  analisis  sosial  Marxian.  Dengan  demikian  dapat  dipahami  bahwa  gagasan
semacam  Kiri  Islam  dapat  disebut  sebagai  pengetahuan  yang  terbentuk  atas  dasar  watak  sosial
masyarakat  (socially  contructed)  berkelas  yang  merupakan  ciri  khas  tradisi  Marxian.  Dalam
gagasannya tentang rekonstruksi teologi  tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi
perangkat  konseptual  sistem  kepercayaan  (teologi)  sesuai  dengan  perubahan  konteks  ssosial-politik
yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem
kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama.
Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya.
Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan
dialektika  kata­kata,  bukan  dialektika  konsep-konsep  tentang  sifat  masyarakat  atau  tentang  sejarah.
Sementara itu konteks sosio-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di
berbagai  medan  pertempuran  sepanjang  periode  kolonisasi.  Karena  itu,  lanjut  Hanafi,  kerangka
konseptual  lama  masa-masa  permulaan,  yang  berasal  dari  kebudayaan  klasik  harus  diubah  menjadi
kerangka  konseptual  baru,  yang  berasal  dari  kebudayaan  modern.  Teologi  merupakan  refleksi  dari
wahyu yang memanfaatkan kosa kata zamannya dan didorong oleh kebutuhan dan tujuan masyarakat;
apakah  kebutuhan  dan  tujuan  itu  merupakan  keinginan  obyektif  atau  semata-mata.manusiawi,  atau
barangkali hanya merupakan cita-cita dan nilai atau pernyataan egoisme murni.
Dalam  konteks  ini,  teologi  merupakan  hasil  proyeksi  kebutuhan  dan  tujuan  masyarakat
manusia  ke  dalam  teks-teks  kitab  suci.  Ia  menegaskan,  tidak  ada  arti-arti  yang  betul-betul  berdiri
sendiri untuk setiap ayat Kitab Suci. Sejarah teologi, kata Hanafi, adalah sejarah proyeksi keinginan
manusia kedalam Kitab Suci itu. Setiap ahli teologi atau penafsir melihat dalam Kitab Suci itu sesuatu
yang  ingin  mereka  lihat.  Ini  menunjukkan  bagaimana  manusia  menggantungkan  kebutuhan  dan
tujuannya  pada  naskah-naskah  itu.  Teologi  dapat  berperan  sebagai  suatu  ideologi  pembebasan  bagi
yang  tertindas  atau  sebagai  suatu  pembenaran  penjajahan  oleh  para  penindas.  Teologi  memberikan
fungsi  legitimatif  bagi  setiap  perjuangan  kepentingandari  masing-masing  lapisan  masyarakat  yang
berbeda. Karena itu, Hanafi menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdiri
sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
68
Kebenaran  teologi,  dengan  demikian,  adalah  kebenaran  korelasional  atau,  dalam  bahasa
Hanafi, persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu
berupa  nilai-nilai  manusiawi  yang  universal.  Sehingga  suatu  penafsiran  bisa  bersifat  obyektif,  bisa
membaca  kebenaran  obyektif  yang  sama  pada  setiap  ruang  dan  waktu.  Hanafi  menegaskan  bahwa
rekonstruksi  teologi  tidak  harus  membawa  implikasi  hilangnya  tradisi-tradisi  lama.  Rekonstruksi
teologi  untuk  mengkonfrontasikan  ancaman-ancaman  baru  yang  datang  ke  dunia  dengan
menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan
lebih  banyak  lagi  pengaktifan  untuk  dituangkan  dalam  realitas  duniawi  yang  sekarang.  Dialektika
harus  dilakukan  dalam  bentuk  tindakan-tindakan,  bukan  hanya  terdiri  atas  konsep-konsep  dan
argumen-argumen antara individu-individu, melainkan dialektika berbagai masyarakat dan bangsa di
antara  kepentingan-kepentingan  yang  bertentangan.  Rekonstruksi  itu  bertujuan  untuk  mendapatkan
keberhasilan  duniawi  dengan  memenuhi  harapan-harapan  dunia  muslim  terhadap  kemendekaan,
kebebasan,  kesamaan  sosial,  penyatuan  kembali  identitas,  kemajuan  dan  mobilisasi  massa.  Teologi
baru itu harus mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai tujuan perkataan (kalam) dan sebagai
analisis percakapan. Karena itu pula harus tersusun secara kemanusiaan.
Asumsi  dasar  dari  pandangan  teologi  semacam  ini  adalah  bahwa  Islam,  dalam  pandangan
Hanafi, adalah protes, oposisi  dan revolusi.  Baginya,  Islam  memiliki  makna  ganda.  Pertama, Islam
sebagai  ketundukan;  yang  diberlakukan  oleh  kekuatan  politik  kelas  atas.  Kedua,  Islam  sebagai
revolusi, yang  diberlakukan  oleh  mayoritas yang tidak berkuasa dan  kelas orang  miskin. Jika untuk
mempertahankan status-quo suatu re­zim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk
memulai suatu perubahan sosial politik  melawan status-quo,  maka  harus menafsirkan Islam sebagai
pergolakan.
Secara  generik,  istilah  aslama  adalah  menyerahkan  diri  kepada  Tuhan,  bukan  kepada  apa
pun  yang  lain.  Pengertian  ini  secara  langsung  menyatakan  sebuah  tindakan  ganda;  Yaitu  menolak
segala kekuasaan yang tidak transendental dan menerima kekuasaan transendental. Makna ganda dari
kata  kerja  aslama  dan  kata  benda  Islam  ini,  menurut  Hanafi,  dengan  sengaja  disalahgunakan  untuk
mendorong  Islam  cenderung  pada  salah  satu  sisinya,  yakni  tunduk.  Maka  rekonstruksi  teologi
tradisional  itu  berarti  pula  untuk  menunjukkan  aspek  lain  dari  Islam  yang,  menurutnya,  sengaja
disembunyikan,  yakni  penolakan,  oposisi  dan  pergolakan  yang  merupakan  kebutuhan  aktual
masyarakat muslim. Di dalam hal ini, karena selalu terkait dengan masyarakat, refleksi atas nilai-nilai
universal  agama  pun  mengikuti  bentuk  dan  struktur  kemasyarakatan,  struktur  sosial  dan  kekuatan
politik.[]

Cilacap, Februari-Maret 2013
Ponpes Al-Madaniyyah As-Salafiyyah Al-Islamiyyah
Cilumpang-Gumilir-Cilacap-Jateng
Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
69
REFERENSI
Arif, Saiful, Menolak Pembagunanisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I., 2000).
Al-Jabiri,  M.  Abed,  Al-Aql  Al-Siyasi  Al-Arabi:  Muhadidah  wa  Tajalliyatuh  (Nalar  Politik  Arab),
Beirut, Markaz Dirasah Al-Wihdah  Al-Arabiyah, 1995.
_____, Post Tradsionalisme Islam, Yogyakarta, LKiS, 2000.
Aron, Raymond,  Main Currens in Sociological Thought, 2 Jilid-1965  (Anchor Book Edition 1968) h.
83-84. dalam  Veeger,  Realitas Sosial; Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu dalam
Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: Gramedia, Cet. IV., 1993)
Brewer,  Anthony,  Kajian  Kritis  Das  Kapital  Karl  Marx,  Judul  Asli:  A  Guide  to  Marx’s  Capital,
Penerjemah: Joebaar Ajoeb (Jakarta: Teplok Press, Cet. III., 2000).
Budiman,  Arif,  Teori  Negara;  Negara,  Kekuasaan  dan  Ideologi  (Jakarta:  PT.  Gramedia  Pustaka
Utama, Cet. III., 2002).
Burnell & Morgan, Sociological Paradigms & Organizational Analysis London: Heinemann, 1979.
Engineer,  Asghar  Ali,  Islam  and  Liberation  Theology:  Essai  on  Libetive  Elements  individu  Islam,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Esack,  Farid,  Membebaskan  yang  Tertindas:  Al-Qur’an,  Liberalisme,  Pluralisme,  Bandung,
Kelompok Penerbit Mizan, 2000.
Faqih, Mansour, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Insist
Press, Cet. I., 2001).
Freire,  Paulo,  Pedagogy  of  the  Oppressed.  New  York:  Praeger,  1986.  Pendidikan  Kaum  Tertindas
(Jakarta: LP3ES, Cet. III., 2000).
_____,  Pedagogi  Pengharapan,  Menghayati  Kembali  Pedagogi  Kaum  Tertindas  (Yogyakarta:,
Kanisius, Cet. I., 2001).
_____, Pendidikan Sebagai Proses (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,. I., 2001).
Giddens, Anthony,  Capitalism and Modern Social Theory: an Analysis of Writing of Marx, Durkheim
and Max Weber, Cambidge University Press, Cambridge CB2 1 RP, London NW1 2DB (Edisi
Inggris), Penerjemah: Soeheba Kramadibrata (Jakarta: UI-Press, Cet. I., 1986)
Hanafi, Hasan, Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah, (Dari Teologi Ke Revolusi) Vol. I-IV., Kairo,
Maktabah, Madbuli, 1988.
_____, Dirasat Falsafiyah, Maktabatu Al-Anjalu al-Misriyyah, Qahira, 1987.
_____, Kiri Islam dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme & Postmodernisme,
Telaah Kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi, Yogyakarta, LKiS, 1993.
_____, Al-Turats wa al-Tajdid, Mauqifuna min al-Turats al-Qadim, Al-Muassasah al-Jami’iyyah li alDirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, Beirut, Cet. IV., 1992.
_____, Perlunya Oksidentalisme, Jurnal Ulumul Qur’an, No.5-6, Vol. IV, 1994.
Hardiman, Franscisco Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif (Yogyakarta: Kanisius, 1993)
_____, Kritik Ideologi; Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (Yogyakarta: Kanisius, 1990).
Inglehart,  R.  1995.  Changing  Values,  Economic  Development  and  Political  Change.  International
Social Sciences Journal no. 145. September 1995.
Jurgen Habermas, Legitimation Crisis (Boston: Beacon Press, 1973).
Johnson,  Doyle  Paul,  Sociological  Theory:  Classical  Founders  and  Contemporary  Perspective,
Penerjemah: Robert M.Z. Lawang (Jakarta: Gramedia, Cet. II., 1988).
Kuhn, Thomas, The Structures of Scientific Revolutions. Chicago:  Univ. Chicago Press, 1970.
Kristeva, Nur Sayyid Santoso, Negara Marxis & Revolusi Proletariat (Jogjakarta: Puspel, 2010)
Kristeva,  Nur  Sayyid  Santoso,  Manifesto  Wacana  Kiri:  Membentuk  Solidaritas  Organik  (EDISI
REVISI, 2012) Buku Panduan Pelatihan Basis 1.
Kristeva, Nur Sayyid Santoso, Teori Analisis Geo-Ekosospol (2009) Buku Panduan Pelatihan Basis 2.
Kristeva, Nur Sayyid Santoso, Marxisme untuk Revolusi Demokratik (2007). Sekolah Marxis 1.
Kristeva,  Nur  Sayyid  Santoso,  Pemikiran  Marx  Tentang  Kritik  Ekonomi-Politik;  Melacak  Gagasan
Dasar Kapitalisme (2009) Buku Panduan Sekolah Marxis 2.
Kristeva, Nur Sayyid Santoso, Seri Ideologi Dunia (2008) Buku Panduan Sekolah Ideologi 1.
Kristeva,  Nur  Sayyid  Santoso,  Manifesto  Ideologi  kiri:  Melacak  Akar  Ideologi  Dunia  dan
Epistemologi Perubahan Sosial Revolusioner-Subversif (2007) Panduan Sekolah Ideologi 2.
Kristeva, Nur Sayyid Santoso,  Refleksi Paradigma Pendidikan Kritis; dari Tatanan Ekonomi Global
Sampai Kapitalisasi Pendidikan (2007) Buku Panduan Pelatihan Pendidikan Kritis.
Kristeva,  Nur  Sayyid  Santoso,  Paradigma  dan  Sosiologi  Perubahan  Sosial  (2007)  Buku  Panduan
Sekolah Analisis Sosial.
Kristeva,  Nur  Sayyid  Santoso,  Merebut  Alat  Produksi  Pengetahuan;  Transformasi  dari  Student
Movement Menuju Social Movement (2008) Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial.
Kristeva, Nur Sayyid Santoso, Paradigma Sosiologi dan Perubahan Sosial, Modul Pelatihan Analisis
Sosial pada acara Short Course od Core Cader, PC PMII Purwokerto, Tahun 2007.
nur sayyid santoso kristeva/ hand-out discussion
70
Lowy, Michael, Teologi Pembebasan, Yogyakarta, INSIST, 1999.
Mendel,  Ernes,  Tesis-tesis  Pokok  Marxisme,  Penerjemah:  Ing.  Mahendra  K.,  (Yogyakarta:  Resist
Book, Cet. I., 2006).
Mills, C. Wright,  Kaum Marxis; Ide-ide Dasar dan Sejarah Perkembangan,  Judul Asli: The Marxists,
Penerjemah: Imam Muttaqien (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I., 2003).
Marcuse,  Herbert,  Rasio  dan  Revolusi;  Menyuguhkan  Kembali  Doktrin  Hegel  untuk  Umum,  Judul
Asli:  Reason  and  Revolution;  Hegel  and  The  Rise  of  Social  Theory,  Penerjemah:  Imam
Baehaqie (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I., 2004).
Mustafid,  Muhammad,  Kerangka  Analisa  Sosial  Kemasyarakatan,  Outline  Pelatihan  BEM  UGM,
Authior 15 September 2008.
Nasution,  Harun,  Pembaharuan  dalam  Islam,  Jakarta;  Bulan  Bintang,  1978.  serta  majalah  ulasan
tentang “Gerakan Pembaharuan Islam” dalam Ulumul Quran tahun 1993.
_____, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah, Analisis Perbandingan, Jakarta, Universitas Indonesia
Press, 1972.
Nasr, Sayyid Husein, Knowledge & the Sacred, Suhail Academi, Lahore, Pakistan, 1998.
_____,  Three  Moslem  Seges:  Avicenna  Shuhrawadi—Ibnu  Arabi,  Harvard  University  Press,
Cambridge, 1964.
_____,Tradition Islam in the Modern World, Foundation for Traditional Studies, Kuala Lumpur,
1978.
Patton,  Michael  Quin,  Alternative  Evaluation  Research  Paradigm.  Grand  Forks:  University  North
Dakota, 1970.
Popkewitz,  Thomas,  Paradigm  and  Ideology  in  Educational  Research.  New  York:  Palmer  Press,
1984.
Patria, Nezar dan Arief, Andi, Antonio Gramsci; Negara dan Hegemoni (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Cet. II., 2003).
Rakhmat,  Jalaluddin,  Rekayasa Sosial; Reformasi atau Revolusi  (Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet.
I., 1999)
Ritzer, George,  “Sociology: A Multiple  Paradigm Science”  dalam Jumal The  American Sociologist
No. 10, 1975.
Ramly,  Andi  Muawiyah,  Peta  Pemikiran  Marx:  Materialisme  Dialektis  dan  Materialisme  Historis,
(Yogyakarta: LKiS, Cet. IV., 2004).
Robert H, Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial (Jakarta: Rineka Cipta, Cet. II, 1993).
Smith,  Themaning  of  Conscientacao:  The  Goal  of  Paulo  Freire’s  Pedagogy  Amherst:  Center  for
International Education, UMASS, 1976.
Suhelmi,  Ahmad,  Pemikiran  Politik  Barat;  Kajian  Sejarah  Perkembagan  Pemikiran  Negara,
Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001).
Sritua, Arif, Pembangunaisme dan Ekonomi Indonesia, Pemberdayaan Rakyat dalam Arus Globalisasi
(Bandung: CPSM, Cet. I., 1998).
Stalin, Joseph, Dialectical and Historical Materialism (New York: International Publisher, 1950)
Sztompka,  Piotr,  Sosiologi  Perubahan  Sosial,  Judul  Asli:  The  Sociology  of  Social  Change,
Penerjemah: Alimandan (Jakarta: Prenada, Cet. III., 2007)
Soedjatmoko, Etika Pembebasan, LP3ES, Jakarta, 1988.
Suseno,  Franz Magnis,  Hegel, Filsafat Kritis dan Dialektika,  dalam Driyarkara Tahun XVIII No. 3.
Disadur dari makalah, Proses Perubahan Sosial dalam Konteks Global, Slamet Widodo (Tahun
2008).
_____,  Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis sampai ke Perselisihan Revisionisme  (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, Cet. IV., 2000).
Schoorl,  J.W.  1980.  Modernisasi;  Pengantar  Sosiologi  Pembangunan  Negara-Negara  Sedang
Berkembang.  Jakarta.  PT.  Gramedia.  Seabrook,  J.  1998.  Para  Perintis  Perubahan.  Jakarta.
Yayasan obor Indonesia.
Smith,  Themaning  of  Conscientacao:  The  Goal  of  Paulo  Freire’s  Pedagogy  Amherst:  Center  for
International Education, UMASS, 1976.
Taufiqurrahman, Mengintegrasikan Analisa Sosial dalam Gerakan Sosial, Makalah yang disampaikan
pada Pelatihan Da’i Mahasiswa VII KORDISKA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. tanggal 3-11 Oktober 1999.
Titus  Smith  Nolan,  Persoalan-persoalan  Filsafat,  Judul  Asli:  Living  Issues  in  Philosophy,  Seven
Edition,  D.  Van  Nostrand  Company,  New  York,  1979.  Penerjemah:  Prof.  Dr.  H.M.  Rasjidi
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
Veeger,  Realitas Sosial; Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu dalam Cakrawala Sejarah
Sosiologi (Jakarta: Gramedia, Cet. IV., 1993)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar