Cerpen: Wildan
Yatim
PADA
kedua sisi jalan berderet teratur kelapa sawit. Kadang kelapa sawit itu
diseling dengan rumah penduduk yang berdinding papan dan beratap seng. Waktu
lain mobil lewat pundak bukit yang ditumbuhi semak belukar atau padang lalang. Sebelah
kiri jalan, dekat-dekat di atas rimbunan pohon hutan dan di balik unggukan
embun, samar-samar tampak membiru Gunung Pasaman.
Beberapa
kali mobil berpapasan dengan truk besar yang baknya penuh buah sawit atau truk
tanki berisi minyak kasar. Sesekali lain kami melewati petani bersepeda. Din
membawa mobil menyimpang ke jalan tanah, lalu berhenti di depan sebuah dangau.
Sekeliling bertebar kelapa sawit yang batangnya baru beberapa puluh senti dari
tanah.
”Sudah
berbuahkah sawitmu ini?"
"Yang
dekat sini belum. Tapi yang di dalam sana
sudah panen pertama bulan lalu."
"Wah,
sebentar lagi kau jadi kaya!"
"Sulit
sekali bagi orang macam kita yang hanya punya satu-dua hektar. Buah masuk
pabrik dan pemasaran minyak ditentukan oleh toke-toke yang punya kebun ribuan
hektar. Banyak petani yang membawa buah sawitnya ke pabrik harus menunggu
giliran berhari-hari agar dapat diproses. Alasannya buah sawit mereka sendiri
masih bertimbun. Tak sedikit yang membawa truknya kembali lalu membuang isinya
ke bawah jembatan."
"Kenapa
tidak diusulkan kepada pemerintah agar dibangun pabrik baru untuk menampung
kebutuhan kalian petani plasma?"
"Permainan
orang kapitalis itu semua, Bang. Yang menyedihkan kapitalisnya itu ada dari
negeri jiran. Ayo kita terus."
Din
melekatkan kaca mata hitam. Tampak matahari menyorot miring dari balik daham
belinjo. Mobil bergerak pula. Kini kami lewat jalan yang di masa darurat
beberapa kali aku lewati jalan kaki bersama Ayah atau teman untuk sekolah di
Talu. Jalan ini disebut "Lebuh Lurus", karena lurus saja sepanjang lima km. Pada kedua sisi
jalan berderet kapuk dengan mangkuk isolasi kawat telepon. Di balik deretan
kapuk terbentang kebun jeruk yang luas, buahnya yang kekuningan bertebar di celah
daunan. Di pinggir jalan antara sebentar tampak dangau beratap lalang, dan pada
meja yang terbikin dari bambu teronggok buah jeruk. Sesewaktu ada mobil
berhenti di salah satu dangau itu dan orang berkerumun belanja.
"Kau
coba dulu jeruk sini, dan rasakan manisnya." Din menepikan mobil di depan
sebuah dangau. Ia menawar, penjual menimbang dan memasukkannya ke kantung
plastik. Lalu kami duduk makan jeruk di bangku panjang yang terbuat dari bambu.
"Inilah
yang disebut jeruk Pasaman. Jeruk sini dipasarkan sampai ke Padang, Bukit Tinggi, Sidempuan, dan Medan."
Agak
di kedalaman pohonan tampak rumah pemilik kebun yang dikapur putih, bingkai
pintu serta jendela dicat merah, dan atap sengnya memantulkan cahaya matahari.
Din mengajak berangkat pula sambil kami terus makan jeruk. Kaca mata hitamnya
dilekatkan, menunjuk.
"Di
sana ada jalan
ke dalam. Beberapa puluh meter dari situ tinggal Kak Salmah. Ingat siapa dia?
Boru Mak Suki 'kan?"
"Punya
kebun jeruk juga dia?"
"Punya
sedikit. Beberapa tahun setelah suami pertama meninggal ia kawin lagi dengan
orang sini. Kurang jelas kenapa bisa berkenalan dan tinggal di sini. Suaminya
penjahit."
"Berapa
anaknya sekarang?"
"Dengan
yang pertama dua, dengan yang sekarang juga dua."
Teringat
ketika masih duduk di kelas 5 di Ujung Gading aku dengar dari Mak Suki bahwa
Salmah sudah kawin dengan anak mamak sendiri yang bernama Burhan. Orangtua
suaminya berlepau dekat pasar.
"Mak
Suki sendiri di mana sekarang?"
"Nanti
kutunjukkan."
Salmah
lebih tua dari aku lima
tahun. Waktu aku duduk di kelas tiga dan mau menyambung sekolah ke Ujung Gading
ia sudah remaja. Aku sering datang ke rumahnya, dan jika ia menyuruh mengambil
sesuatu aku senang sekali. Sekali aku pulang kehujanan. Ia berteriak, lalu
cepat-cepat melap muka dan kepalaku dengan anduk. Jika ia menumbuk padi dan
menampi, tak puas-puasnya aku memperhatikan hidungnya yang bangir, rambut
perunggunya yang dijalin dua hingga di pinggang, dan mulutnya yang melengkung
indah.
Jika
ia merasa diperhatikan, ia akan bilang, "Kenapa kau perhatikan terus aku,
Tam!"
Bagaimanakah
tampangnya sekarang? Tentulah tetap cantik. Sayang orang secantik itu jadi
istri penjahit!
Di
suatu simpangan mobil membelok ke jalan lebih kecil. Meski lebih kecil tapi
jalan itu diaspal tebal dan rapi. Itulah jalan menuju desaku. Jalan lebih lebar
ke kanan menuju Ujung Gading, lalu terus ke perbatasan Tapanuli. Beberapa puluh
km dari sana
terdapat Kota Natal.Kini mobil berjalan lebih pelan menerobos celah hutan
rimba. Dekat-dekat di kanan jalan menjulang bukit barisan dan ketika mobil
lewat di persawahan tampak Gunung Tuleh membiru.
Din
menepikan mobil di belakang sepasang suami-istri yang mau menyimpang menuju
sebuah pondok. Padi di persawahan sini tampaknya sedang berisi. Si suami
bertopi pandan, si istri menekukkan kain panjang di kepala sebagai ganti topi.
Mereka membalik. Si suami menurunkan pacul dari bahu dan membuka topi.
"Bo
ro ho?" kata si istri dalam bahasa Mandailing.
"Ise
don?" Mereka menatap aku yang mengikuti Din mendekat.
"Ini
Bang Tamrin," kata Din
"Bo!
Dot ko? La ilaha illallah!" tukas si suami.
“Orang
Bandung masih
ingat rupanya kampung kita!" Kami bersalam-salaman."Berapa hari di
sini?" tanya si istri.
"Besok
kembali."
"Kenapa
sebentar?" kata si istri sambil mengusapi tanganku.
Din
mengajak ikut pulang ke desa, tapi mereka bilang mau sembahyang lohor dulu di
pondok. Kami pun kembali masuk mobil dan melambai. Teringat si suami yang kami
salami tadi di masa Jepang pernah agak miring akibat ditempeleng Kempei Jepang.
Ia berkeliaran dari desa ke desa sambil menyandang buntil jaring pakaian,
persis seperti buntil laskar Gyugun. Persis seperti buntil Gyugun, buntilnya
juga berisi sepatu lars, senter, buku notes, dan potlot pendek.
Ada anaknya yang sebaya
dengan aku yang jadi selapik seketiduran kalau aku pulang libur. Aku pun
leluasa membongkar simpanan buku dan majalah bapaknya. Bapaknya seniman. Ia
pernah menulis buku roman dan sudah dikirim ke penerbit di Medan. Belum sempat
terbit tentara Jepang masuk.
Aku
respek padanya, dan ketika senewennya kambuh dan anak-anak lain bersembunyi
jika ia datang, aku sendiri yang berani menyapanya dan mengajaknya
bercakap-cakap. Dia pintar pidato, kata orang ia bakal jadi saingan berat Ir
Sukarno kelak jika negeri ini merdeka seperti dijanjikan Jepang. Ketika jadi
juga merdeka, sayang ia tidak kemana-mana. Ia hanya jadi pegawai jawatan
penerangan di Padang.
Mungkin
betul akibat tempelengan Kempei dulu ada satu sektor sirkuit sarat dalam
otaknya yang korsluit, sehingga ia kurang bisa berkonsentrasi dalam
pekerjaan.Tiba di desa mobil langsung dibawa Din menuju rumah kami di lembah.
Ibu rupanya baru mengambil kayu api ke kebun para. Ia mengusapi keringat yang
mengucur di kepala dan leher. Kata Ibu, Ayah sedang bekerja di sawah. Din
bilang kami akan balik besok pagi, dan habis makan kami akan terus menjenguk
Mak Panto di Solo Godang.
Mak
Panto adalah adik Ibu. Ketika baru diajak makan, tampaknya seperti dapat
firasat, Ayah pulang dari sawah. Tampak segar dia habis mandi dan sembahyang
lohor. Aku memeluknya rapat-rapat. Terasa kini ia lebih rendah dari aku. Masa
kecil dan tinggal di desa atau di huma dengan dia, menurut perasaanku ia orang
berbadan tinggi dan tegap. Sekarang tampak ia jadi kecil dan kurus.
Kami
makan berempat di meja dapur. Bulu hitam yang lebat masih memenuhi punggung
tangannya. Kumis dan berewoknya sudah berhari-hari tak dicukur, dan uban
memutih di sana-sini. Ia sudah pensiun sebagai guru SD, tapi masih mengajar
satu mata pelajaran di Ibtidaiyah. Teringat masa kecil sekitar rumah kami
banyak rumah pondok yang dihuni murid Ayah. Di masa Belanda kudengar ia sudah
mengajarkan lagu Indonesia Raya dalam bahasa Arab. Ketika suatu malam Ayah akan
membuka rapat organisasi Kepala Negeri datang menyuruh batalkan. Pemerintah
takut Ayah dapat mengganggu ketenteraman. Ayah punya banyak buku dan majalah,
sebagian besar sudah aku baca. Yang sisa hanya buku dan majalah dalam bahasa
Arab dan Belanda. Aku lihat isi lemari-lemarinya kini tinggal yang berbahasa
Arab dan sudah pada lapuk. Tentulah semua buku dan majalah yang berbahasa
Melayu sudah habis dipinjami dan tidak dikembalikan.
Sebelum
berangkat aku pergi ke belakang rumah. Cepat-cepat aku coba raup kembali masa
kecil ketika tinggal bersama ayah-ibu dan adik-adik di kampung-halaman. Dari
bawah pohon kepundung tampak terbentang sawah. Pada berbagai tempat di tengah
persawahan itu ada tumpukan pohon dan dangau menyembul dari situ. Gunung Tuleh
menjulang dekat-dekat, dan batang pohon menyembul memutih di celah kehijauan.
Terdengar
suara dendang kawanan siamang, dilatari oleh desah sungai yang kadang keras
kadang pelan dibawa angin. Suara itulah dulu tiap hari menemani aku jika sedang
berada di sini. Di kebun samping rumah tidak begitu banyak yang berubah. Pohon
sirsak, nangka, dan salak, masih yang dulu, dan tidak begitu banyak lebih
tinggi dari masa aku kecil.Aku kembali ke depan. Rupanya Ayah ikut ke mudik.
Aku persilakan dia duduk di sebelah Din.
Tampak
kasar jemari ayah. Kukunya tebal dan ujungnya kehitaman karena sering kemasukan
lumpur. Kain sarung disampirkan di bahu. Ingat ketika Ayah dan Ibu datang ke Bandung dua tahun lalu
Ibu ada menyiratkan alangkah bagus jika bisa naik haji sebelum terlalu tua.
Siratan itu tentu untuk mengharapkan bantuanku sebagai anak sulung, sebagai
anak yang paling banyak dan paling lama dikirimi uang sekolah ke rantau, dan
sebagai anak yang kini sudah jadi pegawai tinggi pula. Mereka tak mengerti
kenapa pegawai tinggi di negeri ini selalu bergaji rendah.
Tiba
di jalan besar ada beberapa orang tua duduk mencangkung mengobrol di bangku
panjang depan rumah, dan ketika melihat Din mereka melambai. Sesewaktu mobil
ditepikan, kami turun, dan menyalami orang-orang.
"Sedang
di sini rupanya beliau, Labai," kata mereka, sambil melihat aku yang
berdiri di samping Ayah.Beberapa lama mobil lewat kebun para, pada beberapa
tempat merimbun pohon kejai.
Kejai
adalah sejenis beringin. Sebelum para, kejai ini dikebunkan penduduk sebagai
sumber karet. Sebelum kejai sebetulnya ada sumber karet lain, yaitu perca.
Bibit ketiga jenis pohon berlateks ini konon dibawa orang Belanda dari Amerika
Selatan. Kebun para itu tampak sudah pada tua, karena bendar-bendar sadapan
getahnya sudah dekat ke tanah. Rupanya penduduk sedang bimbang untuk
meremajakan atau menggantinya dengan kelapa sawit. Kasihan kebun para itu.
Mungkin karena sejak kecil aku sudah biasa bergaul dengan mereka, sayang
rasanya jika itu digantikan kelapa sawit. Di hilir tadi, sekitar 30 km dari
desa sawit itu sudah diperkebunkan sejak masa Belanda, dan pekerjanya
didatangkan dari Jawa. Aku juga pernah melihatnya sepanjang pinggir jalan
antara Medan
dan Prapat. Aku belum pernah dengar ada penduduk Sumatra
yang bisa kaya oleh kebun sawit.
Beda
sekali dengan kebun para, yang di masa Belanda hampir semua membuat rakyat
makmur. Apalagi di musim kupon karet dibuka, kebanyakan petani karet dapat uang
banyak. Waktu pasar kupon itu banyak mobil mewah datang ke desa, dan para
petani saling menraktir membelikan kacang goreng atau kue bagi anak-anak yang
berkerumun. Tapi kelapa sawit, aku belum pernah dengar ada petani yang jadi
hidup senang, apalagi jadi kaya. Dalam hati aku berharap agar kebun para itu
tidak akan digantikan kebun sawit, dan pohon kejainya tetaplah menjulang
meneduhi alam desa.
Sekitar
seperempat jam meninggalkan desa Din menunjuk ke kiri. "Nanti pulangnya
kita mampir beli durian," katanya.
Sepuluh
menit kemudian sampailah kami di kampung Mak Panto. Rumahnya bertiang tinggi,
lantai dan dinding dari papan, dan atapnya seng. Buru-buru tikar dibentangkan,
dan Mamak diberi baju bersih, lalu dibawa duduk di ujung tikar.
"Ini
Tam datang, Mak! Ayah kami juga ikut," kata Din.
Kami
pun menyalami dia, istri, dan tiga orang anaknya yang sudah pada beristri. Uci,
istri mamak, bilang anaknya yang sulung tinggal di kampung lain. Aku mendengar
Mak Panto kini jadi rabun ketika aku baru tiba di Padang untuk menghadiri kongres. Sambil
pulang menengok orangtua kuajak Din menengok mamak sebentar. Jalan adik yang
jadi dokter di kota
itu pun meminjamkan mobilnya. Aku ingat Mamak berjasa besar bagiku pribadi,
karena malaikat pernah masuk kedalam tubuhnya untuk menolong aku yang sedang dilanda
lapar.
Waktu
itu kedua orangtua dan saudara-saudara sedang mengungsi ke gunung dengan
berhuma. Aku sendiri saja yang tinggal di desa sepanjang bulan, karena sedang
sekolah. Meski umurnya enam tahun lebih tua, tapi aku suka dibawanya bepergian
ke mana-mana. Jaga durian waktu malam, main domino di lepau, dan mencari buah
manggis, duku, atau ringkanang ke hutan. Badannya besar dan tinggi, berkulit
kuning seperti Ibu. Waktu Jepang pernah dipanggil masuk tentara Heiho. Entah
kenapa baru sekitar dua bulan pergi ia sudah kembali lagi. Kata Jepang matanya
kurang bagus untuk dilatih pergi berperang.
Kini
kuperhatikan matanya yang menatap kosong. Selaput beningnya ditutupi lapisan
berlemak, yang dalam bahasa ilmiahnya disebut pterygium. Jika dioperasi di Medan kata mereka matanya
bisa melihat lagi. Tapi mereka tidak punya biaya, dan aku yang pernah
diselamatkan jiwanya olehnya tidak bisa membantu. Kurangkul dia, matanya
berkaca-kaca, lalu kuselitkan selembar sepuluh ribuan ke tangannya. Ketika uci
bilang supaya masak nasi dulu, kubilang tak usah. Lalu kami pamit.Di tempat
yang ditunjuk Din tadi mobil pun ditepikan.
Kami
melangkah pada jalan setapak yang kedua sisinya berpagar. Di balik pagar
menjulang rumpun jagung yang sedang berbuah muda. Rambut buahnya berjuraian
seperti rambut perempuan Belanda. Di balik kebun ada sebatang pohon durian, dan
buahnya bergelantungan. Waktu kecil aku ingat pohon itu masih rendah. Kini
sudah tinggi sekali dan batangnya besar. Kami disongsong seorang bapak yang
umurnya lebih muda beberapa tahun dari Ayah. Ia tidak berbaju, hanya memakai
celana sontok yang lusuh.
Setelah
menyalam Din dan Ayah, ia tertegun menatapku. "Bo ro ho?"
Baru
ingat bahwa dia tak lain tak bukan adalah Mak Suki, panggilan sehari-hari Mamak
Marzuki. Aku terkejut, ia juga terkejut dan agak tersipu. Aku menyalami,
badannya kutarik lalu kupeluk. Ia menepuki punggungku. Istrinya datang dan
menyalami pula. Segera teringat Salmah yang jadi istri penjahit di kebun jeruk.
Mak Suki bergegas naik pondok lalu keluar dengan baju bersih dan bersarung.
Gigi mamak dan uci sudah banyak yang tanggal. Aku berharap gigi Salmah belum
begitu.
"Berapa
lama di kampung? Besok kembali ke Padang?
Lalu terus pulang ke Jawa? Uh, janganlah ikut-ikutan terburu dengan Din. Ia
sendiri hampir tiap bulan datang ke sini. Tapi Mamak antara beberapa tahun baru
bisa pulang. Sudah ada lima
tahun kan?
Tinggallah beberapa hari di sini!"
Mak
Suki membuka dua durian sekaligus. Kami duduk di bangku panjang di depan
pondok. Rupanya di pondok itulah Mak Suki tinggal. Semua anaknya tinggal di
hilir, dan hanya berdua dengan uci tinggal di sini. Kami pun makan durian.
Inilah jenis durian yang berdaging tebal, kuning, dan lezat. Tiap membuka satu
ruang tampak deretan bijinya seperti anak tikus tidur.
Di
tempat duduk mendadak aku terpana ketika memandang ke barat. Di sana tampak laut seperti
pita biru di atas kehijauan hutan. Sesekali angin menderu di pucuk pohon para,
dan mendesah lebar di lembah. Ada
tekukur berteguran jauh di tengah hutan sana.
Aku merenungi laut itu sambil mulutku mengecap-ngecap. Dari sini sampai ke tepi
laut berjejer bukit yang makin jauh makan rendah, seolah semua itu bisa
ditempuh dengan melangkah panjang-panjang dan beberapa puluh menit akan tibalah
di sana. Kini
aku pun sadar bahwa itulah pelukisan lanskap ilahi, bahwa perjalanan hidup
seseorang kebanyakan tak sesuai dengan harapan. Laut itu sendiri adalah ujung
rantau yang mengendapkan onggok hasrat tak sampai.Selesai makan duren kami pun pamit dan
kuulurkan uang Rp 5.000. Mak Suki menolak dengan menggeleng-geleng berat. Uang
itu aku letakkan di bangku panjang.
"Itulah
ganjaran orang yang suka judi dan banyak utang," kata Din, lalu melekatkan
kaca mata hitam.
Ayah
diam saja.
"Rumah
besar di hilir dijual, dari saudagar kain kaya jadi petani jagung miskin."
Teringat
jika datang berpekan ke Ujung Gading dan menyampaikan uang belanja mingguan
dari Ayah, ia selalu menambahnya beberapa rupiah. Sebagai layaknya kaya aku
lihat ia selalu muncul dengan sepatu mengkilat, sisiran klemis, dan bicara
riang.Dari jendela mobil aku masih sempat melihat sekali lagi laut yang seperti
pita biru di barat. Di atas pita biru itu awan kini seperti corat-coretan
potlot merah jingga.***
0 komentar:
Posting Komentar