BAB I
PENDAHULUAN
Persyarikatan Muhammadiyah adalah
organisasi yang didirikan pada tahun 1912. Organisasi ini berdiri pada mulanya
karena kegelisahan seorang Ahmad Dahlan melihat kondisi masyarakat pada saat
itu yang keberagamaannya menurutnya sangat jauh dari nilai-nilai islam. Ia
melihat sinkretisme dalam tubuh masyarakat, hal tersebut disebabkan berbagai
faktor dari situasi dan kondisi yang melatarbelakangi pada saat itu. Keilmuan
yang dimilikinya kemudian memberikan kontribusi yang signifikan bagi lahirnya
Muhammadiyah serta proses gerakannya hingga hari ini.
Sampai saat ini warga Muhammadiyah telah
tersebar diseluruh nusantara.Doktrin keagamaan Muhammadiyah termaktub dalam
Himpunan tarjih Muhammadiyah.Himpunan ini merupakan pendapat Muhammadiyah
mengenai berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan yang muncul ditengah
masyarakat.Himpunan ini dalam praktiknya telah menjadi rujukan Muhammadiyah
dalam mengimplementasikan ajaran agama sesuai paham yang di anut Muhammadiyah.
Namun Himpunan ini rupanya belum mengakomodasi warga Muhammadiyah sebab
-menurut Al-Hafidzi dalam artikelnya Menggagas Fikih Muhammadiyah- belum
terkodifikasikan dengan baik dan sosialisasi yang kurang maksimal dikalangan
warganya, akibatnya, praktik keagamaan di akar rumput warga Muhammadiyah
cendrung menunjukkan variasi yang beragam.
Sebuah penelitian yang dilakukan
Abdul Munir Mulkhan untuk disertasi doktornya Gerakan Pemurnian Islam di
Pedesaan (Kasus Muhammadiyah) menunjukkan temuan yang mengejutkan: bahwa tidak
seperti yang diduga selama ini, Muhammadiyah ternyata bukanlah entitas yang
homogen. Ada empat varian anggota Muhammadiyah menurut temuannya. Pertama,
kelompok Mukhlisun (Islam murni yang puritan); kedua, kelompok Kiyai Dahlan
(Islam murni tapi toleran terhadap praktik TBC (takhayul, bid’ah, dan khurafat)
yang dilakukan kelompok lain; ketiga, kelompok Manu (Muhammadiyah-NU atau
neotradisionalis); dan keempat, kelompok Munas (Muhammadiyah nasionalis) atau Marmud
(Marhaenis-Muhammadiyah).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah
berdirinya muhammadiyah di Indonesia
Muhammadiyah
didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18
Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal
dengan KH Ahmad Dahlan. Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta
sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada
waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang
bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada
ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu
beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai
Khatib dan para pedagang.
Mula-mula
ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat
sambutan dari keluarga dan teman dekatnya.Profesinya sebagai pedagang sangat
mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke
luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa.Untuk
mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah.Dan
kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.Disamping memberikan
pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada
kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut “Sidratul Muntaha”.Pada siang
hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan.Pada malam hari untuk
anak-anak yang telah dewasa.
2.1.1
Latar belakang kelahiran
Muhammadiyah merupakan gerakan umat Islam yang
lahir di Yogyakarta pada tanggal 8 Djulhijah 1330 H, atau tanggal 18 Nopember
1912 M. Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab “Muhammad” yaitu nama nabi
terakhir, kemudian mendapatkan ‘ya nisbiyah’ yang artinya menjeniskan. Jadi
Muhammadiyah berarti umatnya Muhammad atau pengikutnya Muhammad.Tujuan :
menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat
Islam yang sebenarnya.Berdasarkan situs resmi Muhammadiyah, Muhammadiyah
didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk
mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap
banyak dipengaruhi hal-hal mistik.
Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan
(1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti:
Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang.
Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada
tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke
Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam.Dalam tempo yang
relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera
Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh
Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar
keseluruh Indonesia.Terdapat pula organisasi khusus wanita bernama
Aisyiyah.Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar bersumber
pada Al-Qur’an dan Hadist.
2.2 Tradisi fiqih Muhammadiah
Secara
umum Muhammadiyah tidak memiliki fiqih yang baku sebagaimana dianut oleh NU.
Dalam tradisi NU misalnya, pada bidang fiqih mereka memiliki buku-buku yang dikenal
dengan sebutan kitab kuning seperti Path al-Qarib, Path al-Mu’in, Fanah
at-Thalibin, Ihya Ulumuddin dan sebagainya.Sehingga mereka terorganisir dan
diajarkan secara ketat dikalangan Nadliyyin melalui madrasah-madrasah dan
pengajian (muslimat) rutin. NU telah menclaim bahwa ia adalah bermadzhab
syafi’ie.
Namun
di Muhammadiyah fiqih tidak dikenal.Sebab tidak ada rujukan kitab fiqih
sebagaimana ditradisikan NU.Bahkan pada lembaga pendidikan formal Muhammadiyah
Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tidak diajarkan.Meski Muhammadiyah dalam ibadah
dan muamalah menggunakan hasil keputusan majelis tarjih, dikalangan
Muhammadiyah sendiri masih berbeda rupa terutama dalam menyangkut Muamalah.Hal
tersebut menjadi indikasi bahwa HPT masih belum mengikat secara penuh terhadap
warganya. Oleh karenanya menjadi benar apa yang pernah diungkapkan oleh Abdul
munir Mulkhan dalam penelitiannya. Dalam gagasan dasar Muhammadiyah mengklaim
sebagai gerakan pembaharuan yang tidak mau terjebak pada polarisasi
madzhab.Oleh karenanya Muhammadiyah kemudian membuat rumusan metodologi manhaj
tarjih.Metodologi manhaj tarjih yang dirumuskan dan diimplementasikan oleh
Muhammadiyah tentu meliputi seperangkat metode, pendekatan atau kerangka
berpikir.Maka dengan sendirinya apa yang dilakukan olehMuhammadiyah
mengarah pada pembentukan madzhab barutapi sampai saat ini secara organisasi
Muhammadiyah tidak pernah menyatakan bermadzhab.Meski Muhammadiyah secara
idiologis memiliki kesamaan dengan Madzhab hambali tapi menyangkut fiqih
Muhammadiyah tidak bermadzhab Hambali. Namun demikian, bagi warga Muhammadiyah
yang merujuk pada pemikiran Madzhab Hambali dalam Ibadah atau Muamalah tidak
menjadi persoalan.
2.2.1 Titik Temu
antara NU dan MUHAMMDIYAH
Muhammadiyah
dan NU adalah organisasi bukan masalah fiqih.Hanya dalam konteks Indonesia
Muhammadiyah dan NU adalah mewakili dua golongan besar ummat Islam.Secara fiqih
Muhammadiyah mewakili kelompok “modernis”(begitu ilmuan menyebut), yang
sebenarnya ada beberapa organisasi yang memiliki pandangan mirip seperti
Persis(Persatuan Islam), Al-irsyad, Sumatra Tawalib. Sedang NU (Nahdhatul
Ulama) mewakili Kelompok “tradisional”, selain Nahdhatul Wathan, Jami’atul
Washliyah, Perit dan lain-lain.
Kedua
organisasi memiliki berbagai pebedaaan pandangan.Dalam masyarakat perbedaan
paling nyata adalah dalam berbagi masalah furu’ (cabang). Misalnya Muhammadiyah
melarang (bahkan membid’ahkan) bacaan qunut diwaktu shubuh, sedang NU
mensunnahkan , bahkan masuk dalam ab’ad yang kalau tidak dilakukan harus
melakukan sujud sahwi, dan berbagai masalah lain. Alhadulillah perbedaan
pandangan ini sudah tidak menjadikan pertentangan lagi, karena kedewasaan dan
toleransi yang besar dari keduanya.
Pandangan
antara keduanya memang berasal dari “madrasah”(school of thought)
berbeda, yang sesungguhnya sudah sangat lama. Muhammadiyah (lahir 1912,
didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan) adalah lembaga yang lahir dari inspirasi
pemikir-pemikir modern seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid
Rida (yang sangat rasional) sekaligus pemikir salaf (yang literalis) seperi
Ibnu Taimiyyah, Muhamad Abdul Wahab. Wacana pemikran modern misalnya membuka
pintu ijtihad kembali ke al-qur’an dan sunnah, tidak boleh taqlid, menghidupkan
pemikiran islam.
Sedang wacana
salaf adalah bebaskan takhayyul, bid’ah, dan khurafat (TBC).Tetapi dalam
perkembangan yang dominan terutama di grass rootnya adalah wacana
salaf.Sehingga Muhammadiyah sangat bersemangat dengan tema TBC. Yang menjadi
masalah, banyak kategori TBC tersebut justru diamalkan dikalangan NU, bahkan di
anggap sunnah. Karena sifatnya yang dinamis, praktis, dan rasional, Muhammdiyah
diikuti kalangan terdidik dan masyarakat kota.
Disisi lain NU
(Nahdhatul Ulama), didirikan antara lain oleh KH. Hasyim Asy’ari, 1926, lahir
untuk menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. sedikit banyak
kelahiran Muhammadiyah memang memicu kelahiran NU. Beda dengan Muhammadiyah,
pengaruh NU lebih nampak dipedesaan. Sebenarnya KH. Ahmad Dahlan dan KH.Hasyim
Asy’ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, ulama
besar madzhab Syafi’I di Mekkah.ketika bergaung pemikiran Abduh dan muridnya
Rasyid Ridha di Mesir, KH. Ahmad Dahlan sangat tertarik dan mengembangkan di
Indonesia.sedangkan KH. Hsyim Asy’ari justru kritis terhadap pemikiran mereka.
Berikut secara ringkas perbadaan pandangan
antara keduanya:
MASALAH
|
NU
|
MUHAMMADIYAH
|
Aqidah (Keduanya masih dalam bingkai Ahlu
sunnah)
|
Mengikuti paham Asy’ariyah/Maturidiyah
|
Mengikuti paham salaf/wahabi* (Ibnu Taimiyah,
Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim)
|
Fiqih
|
Keharusan mengikuti salah satu madzhab
|
Langsung kepada Alqur’an dan Sunnah, dan
Tarjih(memilih pendapat yang terkuat)
|
Tasawwuf/thariqah
|
Menerima tasawwuf, dan thariqah yang
mu’tabar(diakui)
|
Menolak tasawwuf dan thariqah(tetapi banyak
yang apresitif secara individual dan selektif, missal HAMKA dengan tasawwuf
modernya)
|
Pemikiran yang dominan
|
Pemikir Klasik: Asy’ari, Al-Ghazali dan
Nawawi, dan lain-lain
|
Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu
Qoyyim, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
|
*Istilah wahabi diberikan oleh kelompok lain,
meraka sendiri lebih menyukai disebut muwahhdin(orang yang mengesakan).
1.2
Marojih
Muhammadiah
Di dalam beristidlal, dasar
utamanya adalah al Qur‟an
dan al Sunnah al shohihah. Ijtihad dan
istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash,
dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidangta‟abbudi,
dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidupmanusia. Dengan
perkataan lain, Majlis Tarjih menerima Ijitihad, termasukqiyas, sebagai cara
dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secaralangsung.Majlis tarjih di
dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad: Pertama, Ijtihad
Bayani: yaitu (menjelaskan teks Al-Quran dan hadits yang masih mujmal, atau
umum, atau mempunyai makna ganda, atau kelihatan bertentangan, atau
sejenisnya), kemudian dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah Ijtihad
Umar untuk tidak membagi tanah yang di taklukan seperti tanah Iraq, Iran ,Syam,
Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan tetapi dijadikan Khoroj’dan
hasilnya dimasukkan dalam baitul mal muslimin, dengan berdalil Q.S Al-Hasyr
ayat 7-10.
Kedua, Ijtihad Qiyasi. Yaitu
penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak di jelaskan
oleh teks Al- Quran maupun Hadist, diantaranya : meng-qiyas-kan zakat tebu,
kelapa, lada ,cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat gandum, beras dan makanan
pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak ( 7,5 kwintal )Ketiga, Ijtihad
Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan
berdasarkan illat, demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti; membolehkan
wanita keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf
yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dll.
Dalam memutuskan sesuatu keputusan,
dilakukan dengan cara musyawarah.Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan
sistem ijtihad jama‟i. Dengandemikian pendapat
perorangan dari anggota majlis, tidak dipandang kuat. Manhaj ini sebagaimana
halnya pendapat salah satu anggota Majlis Tarjih Pusat yang pernah dimuat di
dalam majalah Suara Muhammadiyah, bahwa dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan
Syawal hendaknya menggunakan Mathla‘ Makkah. Pendapat ini hanyalah pendapat
pribadi sehingga tidak dianggap kuat. Yang diputuskan dalam Munas Tarjih di
Padang Oktober 2003, bahwa Muhammadiyah menggunakan Mathla‘ Wilayatul Hukmi.
Tidak mengikatkan diri kepada suatu
madzhab, akan tetapi pendapat-pendapat madzhab, dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam menentukan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Qur‟an
dan al – Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.Hal tersebut seperti
halnya ketika Majlis Tarjih mengambil pendapat Mutorifbin Al Syahr di dalam
menggunakan Hisab ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal bulan
Ramadlan. Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan:
Rumusan di atas, menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri untuk
tidak terikat dengan suatu madzhab, dan hanya menyandarkan segala
permasalahannya pada Al-Qur‘an dan Hadits saja. Namun pada perkembangannya,
Muhammadiyah sebagaiorganisasi keagamaan yang mempunyai pengikut cukup banyak,
secara tidak langsung telah membentuk madzhab sendiri, yang disebutmadzhab
Muhammadiyah, ini dikuatkan dengan adanya buku panduan seperti HPT (Himpunan
keputusan Tarjih).
Berprinsip terbuka dan toleran dan
tidak beranggapan bahwa hanya majlisTarjih yang paling benar.Keputusan diambil
atas dasar landasan dalil- dalil yang dipandang paling kuat, yang di dapat
ketika keputusan diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang
dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat.Dengan demikian, Majlis Tarjih
dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.Seperti halnya
pencabutan larangan menempel gambar KH.Ahamd Dahlan karena kekawatiran
tejadinya syirik sudah tidak ada lagi, pencabutan larangan perempuan untuk
keluar rumah dll.
Di dalam masalah aqidah (Tauhid),
hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir.Keputusan yang membicarakan tentang
aqidah dan iman ini dilaksanakan pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di Solo
pada tahun 1929.Namun rumusan di atas perlu ditinjau ulang.Karena mempunyai
dampak yang sangat besar pada keyakinan sebagian besar umat Islam, khususnya
kepada warga Muhammadiyah.Hal itu, karena rumusan tersebut mempunyai arti bahwa
Persyarikatan Muhammadiyah menolak beratus-ratus hadits shohih yang tercantum
dalam Kutub Sittah, hanya dengan alasan bahwa hadits ahad tidak bisa dipakai
dalam masalah aqidah. Ini berarti juga, banyak dari keyakinan kaum muslimin
yang selama ini dipegang erat akan tergusur dengan rumusan di atas, sebut saja
sebagai contoh : keyakinan adanya adzab kubur dan adanya malaikat munkar dan
nakir, syafa‘at nabi Muhammad saw pada hari kiamat, sepuluh sahabat yang
dijamin masuk syurga, adanya timbangan amal, (siroth) jembatan yang membentang
di atas neraka untuk masuk syurga, (haudh) kolam nabi Muhammad saw, adanya
tanda-tanda hari kiamat sepeti turunnya Isa, keluarnya Dajjal. Rumusaan di atas
juga akan menjerat Persyarikatan ini ke dalam kelompok Munkiru al-Sunnah ,
walau secara tidak langsung.
Tidak menolak ijma‟
sahabat sebagai dasar suatu keputusan. (Ijma‘ dari segikekuatan hukum dibagi
menjadi dua, pertama: ijma‘ qauli, seperti ijma‘ para sahabat untuk membuat
standarisasi penulisan Al Qur‘an dengan khot Utsmani, kedua : ijma‘ sukuti.
Ijma‘ seperti ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma‘ dibagi menjadi dua :
pertama : ijma‘ sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah.Kedua ; Ijma‘
setelah sahabat). Terhadap
dalil-dalil yang nampak mengandung ta‟arudl,
digunakan cara “aljam‟u
wa al taufiq“. Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih.Cara-cara
melakukan jama‘ dan taufiq, diantaranya adalah :
1.
Dengan menentukan macam
persoalannya dan menjadikan yang satu termasuk bagian dari yang lain. Seperti
menjama‘ antara QS Al Baqarah 234 dengan QS Al Thalaq 4 dalam menentukan
batasan iddah orang hamil ,
2.
Dengan menentukan yang satu sebagai
mukhashis terhadap dalil yang umum, seperti : menjama‟
antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali Imran 89, dalam menentukan hukum orang
kafir yang bertaubat, seperti juga menjama‘ antara perintah sholat tahiyatul
Masjid dengan larangan sholat sunnah ba‘da Ashar,
3.
Dengan cara mentaqyid sesuatu yang
masih mutlaq, yaitu membatasi pengertian yang luas, seperti menjama; antara
larangan menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang
mengambil upah dari pekerjaanya.
4.
Dengan menentukan arti
masing-masing dari dua dalil yang bertentangan, seperti : menjama‘ antara
pengertian suci dari haid yang berarti bersih dari darah haid dan yang berarti
bersih sesudah mandi. Kelima : Menetapkan masingmasing pada hukum masalah yang
berbeda, seperti larangan sholat di rumah bagi yang rumahnya dekat masjid
dengan keutamaan sholat sunnah di rumah.
Menggunakan asas “saddu al-dara”)untuk
menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.Saddu al dzara‘‘i adalah perbuatan
untuk mencegah hal-hal yang mubah, karena akan mengakibat kepada hal-hal yang
dilarang. Seperti : Larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri
Muhammadiyah, karena dikawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan. Walaupun
akhirnya larangan ini dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di Sidoarjo, karena
kekawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh lain adalah larangan menikahi
wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia, karena akan menyebabkan finah dan
kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan pada Muktamar Tarjih di Malang 1989.
Men-ta‟lil
dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al Qur’an dan al
Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syare‟ah.
Adapunqaidah: “ al hukmu yaduuru ma‟a
„ilatihi wujudan wa‟adaman” dalam hal-haltertentu ,
dapat berlaku “Ta‘lil Nash adalah memahami nash Al-Qur‘an dan hadits, dengan
mendasarkan pada illah yang terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap
arah Masjid Al Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah ka‘bah, juga
perintah untuk meletakkan hijab antara lakilaki dan perempuan, yang dimaksud
adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang pada Muktamar
Majlis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa pelaksanaannya mengikuti
kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak, selama aman dari fitnah )
Pengunaaan dalil- dalil untuk
menetapkan suatu hukum , dilakukan dengan cara konprehensif utuh dan bulat.
Tidak terpisah. Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq
yang bernyawa,jika dimaksudkan untuk disembah atau dikawatirkan akan
menyebabkan kesyirikan )Dalil –dalil umum al Qur‟an
dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah.Dalam mengamalkan
agama Islam, mengunakan prinsip “Taisir“Di antara contohnya adalah: dzikir
singkat setelah sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 rekaat)Dalam bidang
Ibadah yang diperoleh ketentuan- ketentuannya dari Al Qur‟andan
al Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjangdapat diketahui
latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui ,akal bersifat nisbi,
sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memilikikelenturan dalam
menghadapai situsi dan kondisi.Contohnya, adalah ketika Majlis Tarjih
menentukan awal Bulan Ramadlan dan Syawal, selain menggunakan metode
Rukyat,juga menggunakan metode al Hisab. Walaupun pelaksanaan secara rinci
terhadap keputusan ini perlu dikaji kembali karena banya menimbulkan problematika
pada umat islam di Indonesia.
Dalam hal- hal yang termasuk “al
umur al dunyawiyah” yang tidak termasuktugas para nabi, penggunaan akal sangat
diperlukan, demi kemaslahatan umat.Untuk memahami nash yang musytarak, paham
sahabat dapat diterima.Dalam memahani nash , makna dhahir didahulukan dari ta‟wil
dalam bidangaqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima.
Seperti dalam memahami ayat-ayat dan hadist yang membicarakan sifat-sifat dan
perbuatan Allah swt,seperti Allah bersemayam d atas Arsy, Allah turun ke langit
yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir malam dll )
Dalam perjalanannya Majlis Tajrih
mengalami perkembangan. Salah satunya adalah dengan penambahan terhadap tiga
bentuk Ijtihad yang digunakan Majlis Tarjih (Yaitu Ijtihad Bayani, Qiyasi dan
Istishlahi ) dengan ditambah tiga pendekatan baru ,yaitu Pendekatan “Bayani”,
“Burhani” dan “Irfani”. Tiga pendekatan tersebut diputuskan pada MUNAS Tarjih
di Malang, tahun 2000.Kemudian disempurnakan pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang,
Oktober 2003.Walaupun telah dilakukan beberapa kali sidang, tiga pendekatan
tersebut masih belum tuntas pembahasannya.Perjalan Majlis Tarjih yang sudah
berdiri selama 77 tahun, memang penuh dengan tantangan dan cobaan. Tugas yang
diembannya untuk membimbing masyarakat Islam Indonesia, pada umumnya dan warga
Persyarikatan Muhammadiyah pada khususnya dalam masalah keagamaan dan
pengembangan pemikiran Islam, nampak begitu berat dan menuntut adanya kesabaran
dan perjuangan, serta pencarian yang tiada kenal putus asa. Sehingga perbaikan,penyempurnaan
serta pengembangan Majlis tarjih ini sangat mutlak diperlukan,guna memberikan
konstribusikonstribusi yang bermanfaat bagi umat Islam Indonesia.Adapun
cara-cara pengistinbathan hukum dalam Lembaga Tarjih Muhammadiyah, sebagaimana
ditulis Ma‘rifat Iman di antaranya sebagai berikut:
A.
Nash yang qath‟i.
Mengenai hal ini tidak ada masalah. Tidak boleh diperdebatkan lagi, tidak ada
lapangan ijtihad padanya.
B.
Terdapat nash, namun saling
diperselisihkan, atau nash itu satu dengan yang lain saling bertentangan, atau
nash itu mempunyai nilai yang berbeda, maka Lembaga Tarjih Muhammadiyah
menempuh cara:
1.
Tawaqquf, yaitu bersikap membiarkan
tanpa mengambil keputusan, karena kedua dalil atau lebih yang saling
bertentangan tersebut tidak lagi dapat dikompromikan dan tidak dapat dicarikan
alternatif mana yang dianggap terkuat.
2.
Tarjih, yaitu mengambil jalan yang
lebih kuat di antara dalil-dalil yang bertentangan (memilih satu alternatif
dalil yang dianggapnya lebih kuat). Dalam hal bertarjih ini cara yang ditempuh,
yaitu:
a.
Jarh (cela) itu didahulukan
daripada ta‟dil sesudah keterangan yang jelas
dan sah menurut anggapan syara‘.
b.
Riwayat orang yang telah terkenal
suka melakukan tadlis dapat diterima bila ia menerangkan bahwa apa yang ia
riwayatkan itu bersanad sambung, sedang tadlisnya itu tidak sampai tercela.
c.
Pendapat sahabat akan perkataan
musytarak, pada salah satu artinya wajib diterima.
d.
Penafsiran sahabat antara arti kata
yang tersurat dengan yang tersirat, arti kata yang tersurat itu yang
diutamakan/diamalkan.
C.
Jam’u, yaitu menjama‘ atau
menggabung atau menghimpun antara kedua dalil atau lebih yang saling
bertentangan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Misalnya jika ada Hadis
ahad yang shahih namum bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam, maka
bisa jadi atau ada kemungkinan Hadis itu bersifat insidental atau anjuran yang
tidak mengikat.Mengenai masalah-masalah yang tidak ada nashnya, sedangkan
terhadapnya diperlukan ketentuan hukumnya dalam masyarakat.
Dalam hal semacam ini Lembaga
Tarjih Muhammadiyah berusaha mengeluarkan hukum atau menetapkan dengan jalan
ijtihad dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip ajaran Islam, seperti prinsip
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan.Memberikan atau menetapkan sesuatu hukum
dengan beralasan adanya darurat yang dapat menimbulkan kemudharatan.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Muhammadiyah organisasi yang pada
awalnya didirikan untuk mengembalikan keyakinan (agama) masyarakat kepada agama
yang sesungguhnya.Yang terbebas dari singkretisme, terutama dari Tahayyul,
bid’ah dan khurafat yang telah menyebabkan masyarakat terbelakang pada saat itu.Selain
itu dengan tujuan untuk mencerahkan masyarakat, oleh karenanya Muhammadiyah
pada mulanya lebih aktif bergerak pada bidang pendidikan.Konsep perjuangan
Muhammadiyah seutuhnya merupakan pemikiran KH. Ahmad Dahlan. Dan merupakan
‘warisan’ dari Hambali, Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh dari waktu
kewaktu warga Muhammadiyah semakin bertambah dan hampir ada diseluruh pelosok
negeri.
Semakin banyaknya warga Muhammadiyah
ini menyebabkan semakin banyaknya persoalan yang dialami masyarakat.Maka untuk
menampung dan mencarikan jalan keluar atas segala persoala tersebut-terutama
dalam akidah dan syariat, maka dibentuklah Majelis Tarjih pada tahun 1961.Sejatinya
Majelis tarjih diperuntukkan untuk memberikan tuntunan amalan islam murni
kepada warga Muhammadiyah, adapun tuntunan itu terformulasikan pada Himpunan
Putusan tarjih yang dapat diamalkan setelah di-tanfidzkan oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah.
Namun HPT ternyata masih belum
mengakomodasi seluruh kepentingan warga Muhammadiyah.oleh karenanya dikalangan
Muhammadiyah muncul beragam variasi menyangkut syariah. Sehingga mengamalkan
HPT menjadi semacam ‘Sunnah’ dan warga Muhammadiyah ‘boleh’ mengambil pendapat
lain yang sejalan dengan al-Qu’an dan al-hadis.
0 komentar:
Posting Komentar